Jumat, 31 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #95 Belum Tamat

Sebuah akhir adalah sebuah awal.
Ada doa pada “selamat tinggal”.
Ada tujuan pada “sampai jumpa lagi”.
Ada harapan pada “semoga bahagia”.
Ada keyakinan pada “kita pasti bertemu lagi”.
Ya. Rindu sebelum waktunya adalah hanya bila rasa ada tenggatnya.
Dan “kita” sama sekali belum tamat.

Kamis, 30 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #94 Untuk Waktu

Bertambah usia bertambah lupa.
Seandainya bisa memilih yang membuat luka yang tersisihkan saja
mungkin kita tidak akan menghargai anugerah kesembuhan dan kembali tertawa.
Seinginnya menghapus seseorang dari kehidupan,
ingatlah bahwa dia pernah jadi bagian dari perjalanan yang membawa kita ke tempat sekarang,
tak peduli lama membekas atau hanya sebentar lalu hilang.
Waktu yang terbilang dalam hitungan kadang berlalu sambil berlari
kadang merangkak tiap berdetak.
Tetapi orang-orang yang meninggalkan jejak melewati batas-batas masa,
lalu abadi dalam memori.

Untuk yang pernah, atau selalu membenci: terima kasih telah membuatku lebih kuat lagi.
Untuk yang pernah, atau selalu mencinta: terima kasih telah membuatku merasa berharga.
Untuk yang meninggalkan: terima kasih telah mengingatkan, bahwa tak bisa selalu kudapat yang kuinginkan.
Untuk yang tetap tinggal: terima kasih telah memilih, bahwa kebersamaan adalah awal wujudkan khayal yang meskipun tidak kekal.

Satu Puisi Satu Hari: #93 =

Menjadi bahagia itu sederhana.
Namun menjadi sederhana itu bukan tanpa usaha.
Mensyukuri hal-hal sederhana itu langkah pertama.
Senyum dia = sederhana.

Selasa, 28 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #92 Dalam Hati

Hadiah terindah untukku pagi ini adalah pelukan serta-merta dalam lelapmu –
pertanda di bawah sadar kamu (tetap) merinduku.

Satu Puisi Satu Hari: #91 Sepertinya

Aku mencintaimu seperti sendok yang merasa dilengkapi oleh garpunya.
Seperti gembok yang rela ditusuk kunci yang meneguhkan fungsinya.
Seperti seprai yang enggan diganti karena nyaman memeluk kasurnya.
Seperti udang yang lelah bersembunyi di balik batu lalu bersatu dengan bakwannya.
Seperti metafora tentang romansa yang tak terbatas imajinasinya.

Satu Puisi Satu Hari: #90 Busuk

Seorang pembohong buang air besar lewat mulutnya,
atau setidaknya menelurkan kata-kata yang sama busuknya dengan ampas makanan setelah lewat proses cerna.
Setelah itu ia cuci tangan.
Heran.
Kenapa bukan mulutnya yang dibasuh untuk bicara kebenaran?

Minggu, 26 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #89 Natal

Aku mengenal Dia yang mencintai segala bangsa segala usia segala warna;
Bapa yang mendengar semua doa semua pinta semua kecewa;
Raja Mulia sekarang dan selamanya.

Tuhan yang kuajak bicara dalam setiap sujud ragawi
dalam kepercayaan dan iman untuk wujud surgawi,
aku mengingat Engkau yang Mahamencintai
dan layak atas segala puja-puji.

Aku yang di hadirat-Mu bahkan tiada debu sebutir,
kendatipun penuh kasih di tiap tanyaku Engkau hadir.
Tak sampai akal pikir,
tak sampai puisi ini pada akhir.
Terlampau agung Tuhan untuk sekedar jadi catatan pinggir.

Satu Puisi Satu Hari: #88 Rumah

Kamu adalah rumahku.
Aku rindu kembali ke kamarku di situ –
di antara dua kakimu.
Siap-siap, sebentar lagi aku pulang,
Masuk tanpa ketuk pintu.

Kamis, 23 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #87 Berani?

hari ini saya menantang hati
sedalam apa ia bisa mencintai lelaki
karena saya tahu ia mau –
mau mencintai sedalam yang ia mampu

Satu Puisi Satu Hari: #86 Pedang

Tidak perlu pedang panjang untuk menang, memang.
Biar pendek asal penuh teguh kaubawa ke medan perang.
Namun Pangeran, jangan dulu keburu senang.
Tuan Putri lebih suka pedang panjang yang menantang.

Selasa, 21 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #85 Ya, Saya Ingin

Saya menginginkannya.
Di atas meja, di ruang makan, ditonton lemari, disaksikan jam dinding.
Di depan cermin, di kamar mandi, dilihat keran air, diamati keramik dingin.
Di balik selimut, di kamar pengantin, diintip bulan, disenyumi matahari.
Sekarang juga, bukan nanti.

Satu Puisi Satu Hari: #84 Geram

Semoga dendammu padam
Semoga riakmu diam
Semoga dia yang dalam pelukmu bahagia
Semoga akulah dia, dia yang tak pernah beram
Semoga ditelan malam hangatmu bersemayam
Semoga, malam

Syairmu mengalun di kamar sepiku, denting senarnya terekam di telinga. Telinga yang kemarin subuh kaubisikkan kata-kata cinta sebelum dihunus kalimat perpisahan. Aku diterlantarkan oleh malam, karena dendammu pada siang tak jua padam.

Satu Puisi Satu Hari: #83 50 Tahun Lagi

Dengarlah, Cu. Ini cerita Nenek tentang lelaki yang selalu terlambat.
Bukan tidak bisa tepat waktu, namun ia suka berlambat-lambat.
Waktunya dinikmati mandam demi mandam. Menikmati ketertinggalan.
Sudah terlalu lewat ketika ia berusaha mengejar kenyataan.
Kekasih hatinya sudah terlalu lelah berlari dengan beban,
berusaha menyeret-nyeret dirinya yang tidak maju-maju ke depan.
Mimpi berlama-lama menundanya untuk terbangun dan melihat hartanya yang dirampas orang.
Terlambat ia menyadari yang sesungguhnya berharga sudah banjir keringat membuang kasih sayang.
Dan akhirnya lelaki itu kembali terlambat. Terlalu lambat menyadari kerusakan yang terjadi.
Terlambat menyelamatkan hubungan kami.

Sabtu, 18 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #82 Dasar Babu!

Terlambat pulang, Si Upik Abu.
Kereta kudanya keburu jadi labu.
Pulang diantar lelaki, ia lalu dimarahi Ibu.
Ditempeleng pakai kasutnya yang penuh debu.
“Dasar babu!”

Satu Puisi Satu Hari: #81 Menulis dalam Gelap

Jarum pendek mulai bergerak menuju angka yang ke-sebelas. Satu demi satu mereka melangkah masuk lewat pintu kaca yang mengundang datang penikmat malam. Mereka, para pelacur berkaki tidak terlalu jenjang dengan kulit kurang mulus tersamar pupur dan lampu redup.

Potongan gaun melekat erat mengikuti lekuk, panjangnya tak jauh dari pangkal paha -- seadanya menutup.



Leher-leher terbuka digelayuti perhiasan yang berlomba paling berkilau, menemani belahan dada yang dijajakan sepanjang mata masih belum lelah membuka.

Berbagi sesap cairan yang tak berhenti dituangkan dalam gelas-gelas tinggi segitiga, mereka menabur feromon yang lalu lahap ditangkap testosteron. Tawa yang semakin malam semakin jujur, sapaan yang semakin menjelang fajar semakin turun harga.



Di antara mereka yang meliuk ikuti dentuman irama yang semakin lama semakin mengantar jiwa keluar dari badannya, wajah-wajah kian akrab berbagi senyum. Geligi mulai menggigiti bibir lantaran menahan-nahan gemas.

Jarum panjang sudah berkali-kali menyinggahi angka ke-dua belas. Minumku masih ada sisa setengah gelas.

Kamis, 16 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #80 Jajah

Dia (terjajah)
Serupa perawan yang bernas
Menyerahkan sebagian saja
Apabila enggan dijamah seluruhnya
Organ badan yang secercah tersingkap

Dia (menajajah)
Seperti pejantan beringas
Menjarah apa yang tersedia
Apabila mungkin terampas seluruhnya
Aurat yang teraba dalam gelap

Satu Puisi Satu Hari: #79 Malu Bertanya Sesat di Jalan

Asumsi itu seperti racun yang membusukkan hatimu kata demi kata.
Menggali pikiran terburuk, menimbun logika, dan mengesampingkan fakta.
Membentuk prasangka dari kesimpulan sendiri berdasarkan curiga yang hiperbola.
Semoga kalau tentang aku, kamu lebih dulu akan bertanya.
Karena dengan senang hati akan kujawab yang sesungguhnya sebelum asumsimu mencemari aura.

Rabu, 15 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #78 Saya Tidak Suka Tidur Sendirian

Bulan meninggi sedang mencatat menu
untuk bunga tidur aku dan kamu.
Tunggu ya, Sayang,
nanti aku mampir dalam mimpimu.
Jangan lupa bukakan pintu hati,
atau aku menyelinap saya dari jendela berahi?
Mimpi -- tentang aku -- yang indah
belum tentu selalu yang basah,
ya kan, Sayang?
Mari pejamkan mata, koneksi rasa.
Kejora akan mengayunku ke sana.

Senin, 13 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #77 Pensil

Bermain dengan pensil seperti reuni dengan sahabat lama.
Kebolehannya menari di atas kertas masih memukau.
Aroma kayunya teraut masih membangun imajinasi.
Ampas yang sama yang menyegarkan memori.
Teringat seperti masa lampau –
Ia menunjukkan ketangkasan pada dinding rumah tua.

Namun manusia-manusia yang dahulu tergambar dengan tangkai lurus dan lingkaran bersahaja telah tumbuh jadi dewasa.
Mereka punya bobot, rambut, kerut, dan dimensi ke-tiga.
Grafit menurut jemari saya yang bertambah usia.
Abrasinya dengan medium suka-suka terelakan juga.
Pensil. Warnanya yang lemah dan pecah memang tak sepekat tinta.
Tak apa. Karena sampai sekarang pun saya masih belum berhasil menggambar cinta.

Minggu, 12 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #76 Kabar Burung

Burung kecil itu berkicau menyebar kabar.

Masih juga belum menolehkan muka?
Masih berbangga menenggak bahagia yang pura-pura atau apalah itu namanya pil kecil-kecil yang katamu membawa surga?
Begitu aku mundur dari duniamu itu yang penuh tipu daya, sepertinya aku baik-baik saja.
Terhindar dari luapan curiga dan ratusan tanda tanya.
Ya Tuhan, tenang sekali rasa –
Menjadi kekasih baru yang disuapi kepercayaan diri dan kejujuran apa adanya.

Burung kecil mematuk biji yang kutebar. Ayo sana, terbang lagi mencari kabar.


Sabtu, 11 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #75 Perkosaan Ibu

Kenapa lagi engkau bersungut kali ini?
Mengapa terbangun dari lelapku disapa lagi
oleh air mata surya yang belum pun gosok gigi?
Basuh dulu wajahmu, Ibu Bumi,
lalu ceritakan padaku lewat siul buluh perindu
siapa yang kali ini memperkosa ranahmu?
Mencabuti dedaun hijaumu satu-satu?
Meracuni sungai nan bening jadi keruh begitu?
Menghitamkan samuderamu?
Membakar hutanmu, Ibu?
Meniup asap pekat hingga sesak nafasmu?
Oh, tak perlulah berkata lagi.
Memang pantas engkau menangis, Ibu Bumi.
Pagi ini aku kembali berselimut dalam-dalam.
Sepertinya Ibu akan berkeluh kesah sampai malam.

Jumat, 10 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #74 Liang dan Panjang

Liang:

Bagaimana bila tidak ada nafsu membara? Bagaimana bila benar-benar hanya mencari pendamping, tanpa kepuasan daging? Bisakah kita bertahan, Sayang? Aku bilang tidak dengan lantang.

Bagaimana bila tidak ada romantisme, hanya teman bicara sampai tua? Tanpa ada kejutan-kejutan manis dan saling menggoda? Tidak bisa, kurasa.

Aku bersyukur kita sudah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sebelum memutuskan untuk menikah di hari Kamis. Kalau tidak, percumalah berjanji sehidup semati pakai cincin di jari manis.

Panjang:

Aku mau meniduri kamu setiap hari sampai akhir hidupku. Menikmati dadamu yang bulat sampai waktunya tergantung sampai perutmu. Melayanimu dengan batangku yang berdiri kekar sampai waktunya tertunduk layu.

Aku akan membuatmu jatuh cinta setiap hari. Walaupun untuk itu harus kubaca semua buku dan kuuji semua teori.

Terima kasih sudah menerima pinanganku, berjanji sehidup semati pakai cincin di jari manis.

Kamis, 09 Desember 2010

Sang Penggetar (2)

Catatan: kalau berkenan, boleh baca dulu Sang Penggetar


V

Pssst, jangan bilang-bilang B kalau aku cerita sama kamu ya. Aku kemarin habis diajak jalan-jalan sama A dan B. Awalnya aku curiga waktu B memasukkan aku ke dalam tas kecil berbulu warna merah jambu. Kupikir dia cuma mau memanjakanku dengan membelikan tempat penyimpanan baru. Tapi ternyata setelah itu dimasukkannya aku ke dalam ranselnya yang besar itu.

Tadinya aku kuatir, berpikir akan dikembalikan ke tempatku dulu dibeli. Tapi sepertinya nggak mungkin. Barang yang dikembalikan itu biasanya karena rusak atau tidak memuaskan, dan aku tahu aku bukan keduanya. Mungkin sering habis baterai, tapi itu juga karena sering dipakai. Dan kalaupun B tidak puas, itu karena dia kurang konsentrasi waktu main-main denganku.

Aku semakin yakin diajak jalan-jalan karena aku kenal ransel besar itu, yang selalu dibawa B setiap bepergian ke luar kota itu. Kadang-kadang malah ke luar negeri. Lihat, di tali bahunya masih terlingkar potongan kertas putih bertuliskan CGK. Dulu pun waktu habis dibeli, aku langsung dimasukkan ke dalam sini. Nah, jadi benar kan, aku diajak jalan-jalan.

Sepertinya aku tertidur di perjalanan, karena sadar-sadar aku sudah ada di dalam kamar. Kamarnya rapi, tidak seperti kamar tidur A dan B. Tidak banyak barang berceceran di mana-mana. Ranjangnya lebih lebar, bantalnya dari bulu angsa. Jendela besar yang tirainya terbuka memajang pemandangan lampu kota dan kolam renang di bawah sana. Sepertinya kamar ini tinggi sekali di lantai ke-sekian. Oh, ini pasti kamar hotel bukan sembarangan.

Malam itu aku diajak main hanya sekali. Sisanya hanya menunggu di bangku cadangan, nggak terpakai lagi karena sepertinya stamina A sedang di puncaknya. Waktu sekali itu dipakai pun hanya sebagai pancingan sepertinya. B pakai high-heels, diminta A, tapi tidak pakai baju. Aneh-aneh saja. Lalu perempuan itu duduk di kursi dekat jendela, menghadap lelakinya yang berbaring telanjang di atas ranjang. Kakinya satu diangkatnya ke meja, memberikan A pemandangan luar biasa, sementara satu tangannya bermain di dada dan satunya lagi memainkan aku di kelentitnya. Jangan tanya aku dari mana tahu sebutan ‘kelentit’. Minggu lalu aku sempat lupa dimasukkan lemari dan semalaman tergeletak bersama kamus di samping ranjang.

Sepertinya A dan B sedang saling melampiaskan rindu setelah tidak ketemu berminggu-minggu. Akhir-akhir ini A sering sekali tugas keluar kota. Makanya aku dan B makin akrab saja. Makin akrab sehingga aku makin kenal tabiatnya. Seperti malam itu, aku tahu B sedang manja-manjanya pada A. Dan kalau sedang begini, kalau tidak dituruti, lelakinya itu harus hati-hati.

Awalnya ketika A minta waktu menonton bola, dia mengalah saja. Sampai akhirnya ketiduran karena sebelumnya mereka sempat menghisap lintingan ganja. Esok paginya, B sempat merajuk karena A tidak mau bangun untuk sarapan bersama.

“Kamu kan udah janji!” katanya kesal. Sementara A masih menutup mata, meringkuk di dalam selimut. “Ya udah, aku sarapan sendiri aja!” sentak B sambil berlalu keluar kamar. A membuka mata, langsung meraih ponselnya dan menelepon perempuannya yang sedang naik darah itu. “Iya aku ikut. Balik sini, tunggu aku,” katanya.

Mereka kembali ke kamar setelah sarapan dengan muka berseri. Ah, sudah baikan lagi, pikirku. Betul kan, mereka mesra-mesraan lagi pelukan di balik selimut. “Udah harus mandi nih, Sayang. Siapin bathtub-nya ya,” pinta A. B menurut dengan penuh kepatuhan terhadap pasangan hidupnya itu. Dia melangkah menuju kamar mandi, mulai menuangkan cairan sabun busa, dan menyalakan kucuran air hangat dari keran. Tak lama setelah air dan busa memenuhi setengah bak mandi, B mulai menanggalkan bajunya dan memanggil A, “Ayo Sayang, udah siap nih!”. “Iya, kamu masuk duluan aja,” sahut A dari ranjang. B curiga A ketiduran lagi, tapi lagi-lagi menurut saja dia berendam duluan.

Lima menit berlalu, A tak muncul juga di kamar mandi. B meraih BlackBerry-nya.
PING!!!
Pssst
Sini dong


Sepuluh menit, masih belum dibalas.
PING!!!
Dingin nih mandi sendirian
Temenin dong istrinya
Sombong ih


Masuk menit ke-limabelas:
PING!!!
Sayaaaanggg
Aku keburu masuk angin tau!


A masuk kamar mandi, akhirnya, sambil mengumpat, “Aku kurang tidur tau”. “Ah, selalu alasannya kurang tidur. Padahal emang doyan tidur aja kamu,” B ngambek, keluar dari bak mandi. “Eh, jangan dong, sini masuk lagi temenin aku,” A memohon. B diam tidak bergerak, menatap mata lelakinya itu tajam-tajam. “Pliiiiss,” mohon A lagi. B melunak dan bergabung berendam bersama dalam air hangat.

“Sambil dipijetin kayaknya enak nih,” pinta A sambil menyodorkan punggungnya. “Lihat tuh, busanya sampe abis!” seru B dengan nada masih ngambek, tapi tetap melayani A dengan pijatan lembutnya. Baikan lagi. Mesra lagi.

Sehabis mandi, B langsung bersiap-siap pergi. Dandan, lalu mengemas lagi pakaian ke dalam ranselnya. Sementara A, tiduran di atas ranjang tak berkedip menatap layar televisi.

“Tuh kan, Sayang, tadi aku disuruh buru-buru udah harus check out. Sekarang kamu santai-santai. Gitu deh kalo udah nonton film lupa semuanya,” sindir B.

“Iya, iya,” jawab A singkat.

“Sayang.”

“Hmm..”

“Sayang!”

“Apa sih?” akhirnya A menoleh juga.

“Aku mau ewi lagi dong,” B meminta dengan wajah memelas.

Akhirnya A beranjak dari ranjang. “Yah Sayang, udah nggak sempat. Udah harus buru-buru kita. Nggak apa-apa ya?”. Dipeluknya B, sambil dikecup keningnya.

“Huh, kalau nonton masih ada waktu ya, santai-santai aja. Ya udah, aku tunggu di luar ya. Buruan!” B ngambek lagi. Memakai ransel dan sepatunya, lalu menuju pintu kamar.

“Eh, tunggu dong. Hey! Nih, vibrator-nya ketinggalan!” seru A sambil menunjuk aku yang tergeletak di meja dekat jendela.

B mengambilku dan menyumpalku ke dalam ranselnya dengan posisi seadanya. Hup! Aku tahan napas, tiba-tiba berdesakan dengan pakaian dalam yang kotor.

“Aku gak suka kamu ngambek melulu begini ah,” kata A.

“Aku juga ngga suka kamu janji-janji palsu!”

“Janji palsu apa sih?”

B diam, kembali menuju pintu kamar, hendak keluar.

“Hey! Janji palsu apa?” A mulai terpancing, nadanya ikut meninggi.

“Mana? Katanya mau buka kamar mau ewi seharian? Kemarin aja janji dinner kamu malah nonton bola sampai aku ketiduran! Arrggh!” B membanting ranselnya. Melempar sepatunya. Lalu menghempaskan dirinya ke atas ranjang. Meringkuk menahan isak tangis.

Tapi A tertawa. “Hey,” katanya menghampiri B, “Sayang, kita sama-sama puas kan semalam. Sayang-sayangan seharian. Kamu mau apa sih?”

Perempuan itu masih diam meringkuk. A membalikkan badannya, menghapus air mata di pipinya. “Sayang,” katanya lembut, “kita gak apa-apa kok. Lihat, kita sempurna kok. Sini, cium aku.”

Sinar mata B terlihat berubah waktu A menyebut kata ‘sempurna’. Ya, mereka sempurna. Butuh apa lagi? Kenapa sedikit-sedikit B merasa masih kurang? Ia menyambut bibir A dan mengecupnya pelan-pelan. Lalu lagi-lagi mereka berpelukan.

“Yuk kita cabut,” ajak A sambil mengambilkan ransel B yang terguling di lantai. “Eh, Sayang, kok ransel kamu bergetar?”

B membuka ranselnya dan menemukan aku dalam keadaan tombol terpasang di posisi menyala. “Oh, ini ngga sengaja kali tadi nyala pas aku masukin.”

Bukan. Mereka nggak tahu, kalau aku waktu itu ikut terangsang melihat kemesraan seperti itu.

Pssst, jangan bilang-bilang B kalau aku cerita sama kamu ya, nanti aku nggak diajak jalan-jalan lagi.


Satu Puisi Satu Hari: #73 Bila Berang

Mana yang lebih diingat orang?
Engkau berbicara kencang-kencang
atau tulisanmu dengan tinta merah terang?
Lebih baik menulis puisi dengan diksi tajam tapi tenang.

Satu Puisi Satu Hari: #72 Enak Sekali

kamu menyukai ranjang di kamar hotel ini
katamu, enak sekali kalau punya yang begini di rumah sendiri
kusahuti, tapi buat apa kalau tetap saja tidur tidak ada yang menemani
kamu mengamini
lalu kita kembali menikmati – menekuni
betul, enak sekali ranjang ini
*gantung tanda “mohon jangan diganggu” di pintu kamar kami*

Satu Puisi Satu Hari: #71 Tanggal Merah

Mari buat Selasa ini menyenangkan!
Biasanya ia kurang perhatian –
karena datang setelah Senin yang banyak dibenci
dan masih jauh dari libur akhir minggu.
Ayo tersenyum, Selasa! Pancarkan harimu secerah-cerahnya.
Walaupun aku tahu, gerimis pun kamu tetap manis.

Satu Puisi Satu Hari: #70 Syarat

Cinta tanpa syarat itu bukan “mencintai karena”, melainkan “mencintai walaupun”.
Jaraknya sejauh apa engkau bersedia menyentuh hati dengan segala kerelaan yang kauhimpun.
Sementara syarat tanpa cinta itu cuma syahwat.
Jaraknya hanya selemparan cawat.

Satu Puisi Satu Hari: #69 Bangsat!

Kata-kata umpatan, makian, dan sumpah serapah tidak membuatmu terlihat tegar.

Tidak pula pintar.

Hanya kasar.

Sabtu, 04 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #68 260908-041210

Ya, sejak awal kamu sudah menjelaskan dan aku sudah cukup mengerti.
Ini bukan perkara tidur bersama hanya semalam, tapi juga bukan cinta yang abadi.
Cinta yang kamu punya ini manusiawi, akan kaucoba rawat selama-lamanya sampai kamu mati.
Dan karena kamu tidak bermulut manis mengucap janji, kepadamu aku berikan seluruh hati.
Jadi tunggu, waktu aku bertanya apakah kamu sungguh pasangan jiwaku itu bukannya aku ragu.
Hanya manja ingin mendengarnya keluar dari mulut kamu.

Satu Puisi Satu Hari: #67 Ckckckck

Malam mencuri celana dalamku.
Bulan sembunyi di balik awan, tak mau mengaku.
Burung Hantu tertawa: kuu kuu kuu.
Cicak tak pernah memihak, tak pernah berkomentar -- hanya berdecak.

Kamis, 02 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #66 Jawaban

Bunda Mata Hari mengetuk pintu kamarku.
Sudah hampir siang, aku tahu.
Tapi, ah, nanti dulu.
Masih ada waktu untuk tidak terburu-buru.
Walaupun begitu, kubuka sajalah pintu.
Oh, kutemukan kejutan, bingkisan menanti di kaki.
Dan aku akhirnya mengerti:
Tuhan menjawab doaku agak lama
karena dibungkus dulu pakai kertas kado aneka warna
dan hiasan pita-pita.
Kalau kita sabar, hadiahnya lebih bagus ya ternyata.
Tuhan bisa saja
kasih jawaban waktu tak diduga.

Rabu, 01 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #65 Kemarau

Lihat, Baskara tiba dengan dandanan mentereng.
Jubahnya kuning menyala mencolok mata,
kerahnya gemerlapan bertatahkan permata.
Wajahnya, oh, wajahnya!
Sejak kapan ia mulai bersolek demikian rupa?
Hey, Baskara! Hendak bertandang kemana?
Masakan ada pesta dan aku tak turut digandeng?
Hari ini aku mengundang semua
karena penghujan telah berlalu.
Semalam angin berbisik lewat tangkai-tangkai bambu
dan pagi ini kupancarkan cahaya seterik-teriknya.

Sebentar, biar kupilih dulu gaun terbuka
punyaku yang paling menganga
biar seluas-luasnya bidang kulitku
terbelai surai-surai sinarmu.
Lalu tetes-tetes keringatku akan berkilau.
Turut berbahagia untukmu, Baskaraku, selamat kemarau.

Satu Puisi Satu Hari: #64 12

Selamat datang, bulan ke-dua belas!
Semoga masih memberi kesempatan
bermain kata-kata untuk pekerjaan
yang kusebut kesenangan
dan berkarya untuk diri sendiri
yang kusebut rekreasi.
Semoga menjadi hitungan terakhir
untuk lepas landas di dua ribu sebelas.

Senin, 29 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #63 Bersenang-senang di Ranjang

Mari menyusup di atas ranjang, masih cukup ruang.
Selimut ini terlalu lebar untuk dipakai sendiri. Mubazir nanti.

Liangku selalu menunggu dijelajahi kejantananmu.
Sekujur badan sudah berserah untuk dijajah tanpa ragu.

Mari bercinta lalu tidur berdampingan sampai fajar menerang.
Aku ingin kamu jadi yang pertama ucapkan selamat pagi, Sayang.

Satu Puisi Satu Hari: #62 Selamat Menikmati

Membaca, seperti menyantap makanan, itu sesuai selera.
Saya hanya koki kata-kata yang suka bermain rempah nafsu. Masih belajar pula.
Suap, kulum, telan, biarkan kalimat lewati kerongkongan.
Biarkan gizinya mengarungi urat malumu dan berikan kenikmatan.

Satu Puisi Satu Hari: #61 Mimpi Basah

Embun sudah mengecup pucuk daun
tapi Bidadari masih enggan bangun,
masih ingin larut dalam mimpi semalam
tentang rindu yang menahun.
Terasa nyata saat digauli tubuhnya nan resah
oleh sentuhan basah penuh gairah
dari lelaki yang menancapkan tombak tajam
dalam hingga mandi darah.
Alangkah sulit melupakan
ketika justru dipertemukan
dalam angan-angan yang justru enggan dibuang,
hingga rancu tersimpan.
Semakin sulit sayap terbang menghindari,
semakin terbakar lelaki mencari-cari.
Tak perlu mengatup selangkangan,
Bidadari, nanti ia jua lelah sendiri.

Satu Puisi Satu Hari: #60 Teman

Kamar beku masih terlalu dingin, sama seperti dulu.
Kita jadi daging yang disimpan, diawetkan untuk disajikan.
Percakaan dengan uap yang terhembus dari terucapnya kehangatan
jadi perekat persahabatan, jadi bedil berpeluru.
Kita masih berperang melawan masa lalu. Sampai nanti, sampai mati, teman.
Sejak kita dikuliti sampai waktunya daging tercacah di atas talenan
lalu mendidih dalam panci di atas bara.
Kau dan aku tetap saudara.

Jumat, 26 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #59 Memaafkan Bukan Melupakan

Minggu lalu saya tersentil oleh masa kecil
Ketika masih belum malu-malu mengupil
Mencoba mengorek memori yang menyempil
Tentang perlakuan-perlakuan tidak adil
Ke mana mereka yang dulu semena-mena
Yang dulu tertawa di atas siksa
Lihatkah mereka sekarang jadi apa
Dan siapa yang terbahak akhirnya
Dari kita yang sempat tertindas
Yang sekarang jadi kuat jadi keras
Berterimakasih dijejal pedas
Sudah terangkat derajat ke atas

Kamis, 25 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #58 Benih-Buah

Upik terbuang merasa terabaikan. Malu.
Ternilai di bawah candu-candu bermadu.
Peduli setan dengan mata sayu.
Tenggat pun terlewat, upik terlambat menurut waktu.
Ia bukan lagi seorang satu.
Padahal inginnya kejujuran dahulu.
Walau setajam sembilu, tapi tak menyimpan bangkai berbau.
Mempersilakannya menyemai rasa percaya, menyiraminya dengan berbagi bersama, dipupuki waktu sendiri-sendiri. Menunggu bunga gelebah lalu berbuah.
Upik ingin memetik setia.

Selasa, 23 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #57 Proses

Puisiku pakai kalimat panjang-panjang karena ditulis sambil menyeruput mi instan. Ini baru kenikmatan makanan, disantap pada momen tepat sendirian.

Bukan tak ingin berbagi, tapi porsinya memang hanya segini. Kucingku pun di bawah meja menatap penuh iri. Maaf ya Pus, kamu harus belajar tahu diri.

Satu saat nanti kalau sudah mahir mamasak yang lain, saya berjanji akan meramu puisi penuh bumbu dan kaya cita rasa. Lengkuas, kemiri, bahkan daun ganja akan pesta pora dalam wajan dan terlukiskan dalam tulisan, seperti mengawinkan resep dengan prosa.

Tetapi itu masih lama akan terjadi, jangan menahan nafas menunggu prosesnya. Mangkuk di depan mata masih berusaha saya bikin licin, dan sebentar lagi harus minum obat sakit kepala. Karena mi instan walau enak namun terlalu banyak penyedap rasa, ya, yang cepat saji memang kurang baik biasanya.

Satu Puisi Satu Hari: #56 Setelah Reda

Langit patah hati karena gerhana siang tadi.
Ia menangis deras, keras sekali.
Curahnya bagai tanpa letih teteskan pedih.
Meremas awan sampai pipih. Sampai bersih.
Berhenti menyesali diri yang terjatuh lagi.
Separuh kesalahan milik mereka yang menyakiti.
Sandarkan lelah pada pilar-pilar guntur,
wahai kalian yang terluka goresan asa.
Sebentar lagi kelabu akan luntur
menenung pundi-pundi di kaki pelangi sudut Utara.
Biarkan, biarkan yang lajak berdusta
tertimbun sendiri oleh jamaknya tipu daya.
Buang-buang waktu menunggu sesal mereka.
Permohonan maaf itu layak diniatkan, bukan diharapkan. Seharusnya.

Senin, 22 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #55 Ilmu

Ajarkan padaku caranya membuka jendela untuk maaf dan membersihkan gudang untuk melupakan.
Sementara kuajari kamu caranya memberi tanpa meminta atas nama tulusnya perasaan.
Mari saling berbagi ilmu manajemen hati.

Kenalkan, Ini Teman Saya SITTI

Ini bukan #SajaXXX atau #FiksiPendeXXX seperti yang biasa saya tulis di sini. Tapi tak kalah istimewa, ini adalah titik terang bagi blogger seperti saya. Blogger? Ah, menyebut diri sebagai blogger saja sebenarnya saya masih malu-malu. Karena masih merasa sebagai pemain baru. Mulai bikin blog saja baru Februari lalu. Belum setahun.

Saya suka bermain kata-kata. Menulis dan bermain diksi saat siaran adalah manifestasinya. Saya cinta Bahasa Indonesia. Kosakata dan metafora yang bisa tercipta membuat saya tergila-gila. Kamu boleh cek rapor saya, sejak SD nilai pelajaran Bahasa Indonesia saya hampir selalu 9. Paling rendah 8. Itu juga kalau dapat guru yang pelit. (Silakan isi tawa Anda di jeda ini bila bersedia).

Di saat profesi menuntut saya untuk menulis dan/atau menyusun kata-kata sesuai pesanan dan keinginan orang yang mempekerjaan saya, blog menjadi oase tempat saya menghilangkan dahaga akan pengekspresian diri secara kreatif. Semua dalam Bahasa Indonesia. Ya, saya ingin sekali satu saat nanti bisa menerbitkan buku antologi puisi atau cerita pendek. Tapi sebelum itu semua terjadi, menulis di blog adalah cara untuk cek ombak paling efektif. Inilah yang kemudian mengantar saya berkenalan dengan SITTI.

Datuk Maringgih, dan juga kamu, mungkin sebentar lagi akan ikut jatuh cinta dengan SITTI yang ini. SITTI, sebuah pelantar iklan kontekstual berbahasa Indonesia. Saya ini peduli detil. Termasuk dalam menjalankan blog. Kalau bisa, saya akan menghindari pemasangan iklan yang tidak sesuai dengan konteks tulisan saya. Boleh kan, saya (sedikit) jual mahal? Di sinilah SITTI menjadi jawabannya.

Andi Sjarif, CEO SITTI, menulis ini di blog-nya:
Untuk yang punya hobby nulis blog atau punya situs sendiri, SITTI bisa membuat hobby Anda menjadi sumber pendapatan. SITTI adalah jembatan. Indonesia memiliki lebih dari 2 juta blogger. Mayoritas menulis secara kreatif sebagai hobby. Bukan profesi. Kenapa? Karena belum ada metode yang secara efektif dapat membuat tulisan mereka menjadi sumber pendapatan. SITTI bisa menjadi jembatan untuk ini. SITTI adalah juga sebuah mesin. Mesin yang telah disekolahkan. Dengan kemampuan ini, SITTI menjadi “biro jodoh” para pengiklan dan para pemilik situs.

Belum selesai sampai di situ, beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 12 November kemarin, SITTI sempat membuat heboh timeline twitter dengan berita tentang penulisan tentang SITTI di TechCrunch, sebuah media publikasi teknologi, bisnis dan media paling berpengaruh di dunia. Makin berbesar hati saya tumbuh dan belajar bersama SITTI. Menulis di blog akan selalu menjadi pelampiasan yang menguntungkan dengan menjadi kanvas iklan SITTI. Kamu juga mau? Coba klik www.belajarsitti.com. Kalau mau lihat tampilannya seperti apa, di blog ini ada di kolom kiri paling bawah dengan judul “Rekomendasi Sambil Telentang”.

Ya, tulisan saya kali ini memang bukan literatur di atas ranjang seperti yang biasa saya pajang di blog ini. Tetapi ini juga salah satu bentuk pengekspresian perasaan cinta Bahasa Indonesia dan bangga menjadi SITTIzen.

Sabtu, 20 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #54 Pulang

Perasaan yang menenangkan adalah selalu punya tempat untuk pulang, kemanapun sudah bertualang.

Pulang adalah: ke pangkuan ibuku; ke pelukan kekasihku; ke lindungan kakakku; ke rangkulan sahabatku.

Pulang adalah: menuju pintu yang selalu terbuka untukku.

Pulang adalah: kepada mereka yang miliki hatiku.

Pulang adalah: ke tempat paling nyaman menulis puisi.

Resep rindu pulang: merasa paling disayang.

Satu Puisi Satu Hari: #53 Juara

Percuma merasa bersaing
dengan cerita lama kekasihmu,
sebab kamu sudah menang
waktu dirimu (bukan dia) menjadi pilihan terakhir.

Sia-sia juga merasa bersaing
dengan pilihan terakhir cerita lama
sebab kamu pun pemenang
dibanding ia yang (hanya) mengais ampasmu.

Ingat! Kamu sungguh berharga dan selalu jadi juaranya!

(Untuk perempuan-perempuan di bait pertama dan ke-dua.)

Satu Puisi Satu Hari: #52 Hei-Ha

Hei, Pemuda!
Hanya mau menyapa saja.
Sebentar lagi kamu akan enggan melayani gadis manja.
Dan saya?
Saya akan menepuk pundakmu dan berkata:
Ha. Ha. Ha.

Satu Puisi Satu Hari: #51 Melepas



Sayang, bersimpuhlah.
Namun aku takkan lagi bisa menjadi bidadarimu.
Ya, menangislah.
Lalu aku akan selalu menjadi duri yang melukai.

Jadi, benderanglah!
Atau kau takkan pernah tahu seterang apa sinarmu.
Dan terbanglah.
Lalu kau akan paham sekecil apa aku di bawah sini.

Satu Puisi Satu Hari: #50 Gadis Sampah

Ia cakap melanturkan perhatian
Memajang kegadisannya yang merekah
Menggoda lelaki bersedekah
Atau sekedar beli murah

Ia memilin belas kasihan
Menelan mentah-mentah keluh kesah
Memuntahkan bulat-bulat sumpah serapah
“Dasar sampah!”

Ia senang bersembunyi dari terang
Merancap sampai mengerang
Manipulasi rasa terbuang
Air mukanya melukis seringai

Rabu, 17 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #49 Bali

Selamat jumpa, Laut Masin!

Izinkan kawan lama ini mampir sejenak di bibirmu,
bersama tubuh-tubuh lain yang bergelimpangan di situ
jadi saksi engkau meminang Langit di batas cakrawala.
Cantiknya ia merona waktu senja tiba – waktu Baskara menjejakkan kaki merahnya.
Sementara kita, manusia, merasa terik menjalar perlahan di bawah kulit yang melegam.
Ya, sebentar lagi malam menghitam.
Tubuh-tubuh berpeluh rindu ini kelak akan pulang.
Tidak akan pernah ada selamat tinggal, karena selamanya kami akan kembali datang.

Sampai jumpa esok, Laut Masin!


Satu Puisi Satu Hari: #48 Baterai


bagaimana ini
hidup bertuhan baterai
harus selalu terisi
harus selalu bertenaga
ketergantungan pada layar
terlalu akrab dengan alat
biarpun sebenarnya bukan darurat
bagaimana ini
hidup memakan baterai
mati tanpa energi

Minggu, 14 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #47 Mati Lampu

mati lampu itu bikin ketakutan jadi menyala
maksudnya?
muncul ngeri akan sunyi, akan suara yang selanjutnya hendak bunyi
was-was dan mudah dikageti

sebab kegelapan berkawan erat dengan keheningan
mati listrik – mati lampu – mati benda elektronik
yang bersuara hanya malam dan penghuninya
(misalnya jangkrik)

tetapi manusia yang mati gaya begini yang bikin kecut hati
lupa cara berbicara malah jadi saling menakut-nakuti
khawatir justru jadi saling menyakiti
ya, bila hanya ada kita dikepung sepi, jadi lupa cara berkomunikasi

dibantu cahaya lilin, samar-samar masih terlihat raut muka
ingin berkata:
sepertinya mati lampu masih lama
mari kita tidur saja

Jumat, 12 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #46 Marah

Masih perlu bertanya kenapa saya mangkir dari mimpimu malam tadi? Kamu pikir-pikir saja sendiri.
Jangan buat saya berucap apa-apa. Mulut ini jadi pabrik makian begitu katupnya terbuka.
Masih mau konfirmasi jadi pergi atau tidak? Kamu pikir saya masih mau pesiar kalau suasana hati rusak?
Terima kasih sudah buat saya gusar. Ungkit-ungkit yang sudah telantar itu kesalahan besar!
Pintu maaf sedang digembok. Sabar saja. Kembali ketuk lagi besok.

Satu Puisi Satu Hari: #45 Habis

Seperti kemarin-kemarin,
kembali mereka duduk berdampingan.
Kotak dengan sinar katoda itu di hadapan.
Cahayanya memantul di bola-bola mata.
Namun benak mereka tidak di sana.
Memecah dingin, bercakap-cakap
merangkum malam sebelum lelap.
Berbagi cemas akan pilihan hidup
dua perempuan yang bintangnya kian redup.

“Benarkah semua punya tanggal kedaluarsa?”
 

“Ya, mungkin saja. Kamu dan dia. Kamu dan saya.”
 

“Yang berawal manis jadi tawar?”
 

“Ya, jatuh tempo. Jadi pencahar.”

Beberapa menit lewat tengah malam mereka berpisah.
Doa sebelum tidur terdengar dari masing-masing kamar.
“Semoga tidak pernah berpisah.”
“Semoga diberi kekuatan bila perasaan sudah habis benar.”

Rabu, 10 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #44 Pujangga-Koki

Saya ingin kenal koki yang bisa berpuisi.
Saya ingin baca indahnya perkenalan bumbu itu dan ini
yang dinikahkan oleh air liur nanti.

Saya tidak bisa masak. Menarik hati lelaki bukan dari perutnya
tapi beberapa senti lagi di bawahnya.
Berpuisi begitu juga.

Ajari saya memasak dan berpuisi,
wahai Pujangga-Koki.

Pinokio XXX

Ini sebuah pertanyaan untuk seorang pecandu hubungan seksual [kamu].

Ya, kamu. Entah candu membaca, candu mendengar, candu menyaksikan, atau candu melakukan. Ya, tidak usah malu, angkatlah tanganmu, karena tidak ada yang melihat kecuali Tuhanmu. Bahkan aku pun tidak. Kecuali kaunyalakan webcam-mu dan kaubiarkan aku mengintip kamarmu yang remang-remang.

Mari kuceritakan tentang kekasih baruku, Pinokio XXX.

Alih-alih hidung, burungnya yang tambah panjang semakin banyak ia berbohong. Pinokio XXX menjadi sombong. Semakin suka bohong. Ia merasa digilai. Perempuan mana yang menolak burung panjang? [Kamu?]

Oh, tidak usah malu-malu kalau kamu suka yang tidak panjang. Mungkin suka sesama lubang. Aku tidak keberatan apa lagi menghakimi pilihan teman tidurmu, Teman. Tetapi Pinokio XXX tidak peduli. Ia hanya mau perempuan yang suka memberi makan kebanggaannya yang semakin lama semakin besar, eh, panjang.

Pertanyaanku hanya satu. Bagaimana bila Pinokio ini kekasihmu?

Apakah kamu akan menyoraki dan mendukungnya berbohong terus? Di satu sisi ranjang kamu akan beroleh kepuasan. Di sisi lainnya kejujuran jadi tidak menyenangkan.

Apakah kamu akan pergi dan berharap ketemu pangeran lain dalam mimpi? Ia mungkin tampan, tapi belum tentu memuaskan.

Lupakan dulu soal kepandaian dan ketulusan hati. Ingat, kamu seorang pecandu hubungan seksual. Lalu berpikirlah, apakah kejujuran tetap menjadi pertimbangan apabila yang kauinginkan darinya hanyalah orgasme bercinta?


Salam sayang,

Peri Biru.

Satu Puisi Satu Hari: #43 Cincin

Ini wilayah paling pribadi!

Kalau aku sudah rela berebut bantal dan wilayah di atas ranjang, artinya aku benar-benar sayang.
Tidak peduli komentar orang-orang.
Kalau kaubelikan cincin, tidak kubilang buang-buang uang.
Akan kupasang.
Tujuhpuluh lima persen saja. Sepuluh gram untuk berdua.
Lingkaran di jari manis artinya sudah ada yang punya.

Apakah benar kita menuju ke sana
atau pergumulan di kamar tidak ada nilainya?

Makan itu cin cin cin ta
yang akan majal dimakan usia!


Satu Puisi Satu Hari: #42 (Bukan) Cinta

Saling menghisap muka, saliva di mana-mana,
bibir saya mogok berpuisi cinta.
Berpelukan dan meraba-raba,
tangan saya kehabisan kata-kata.
Mata menelanjangi. Tidak bisa untuk membaca,
tidak sekarang ini.
Isi kepala didominasi berahi.
Tidak cukup tempat untuk romansa.
Bersama Anda sampai di sini saja,
tanpa kencan ke-dua.

Satu Puisi Satu Hari: #41 Anatomi

Saya kekasih yang cerewet. Maaf, mulut saya dua.
Sumpal saja salah satunya.
Kamu mantan pacar yang sok pintar, karena merasa punya dua kepala.
Padahal keduanya tak berfungsi jua.
Dengar: Kekasihku orang yang tegar. Kakinya ada tiga.
Tak tergoyahkan dia.
Simak: kekasihmu berlagak kuat angkat dua bukit.
Saya yang punya pegunungan tidak berbangga. [yah, sombong sedikit]

Sabtu, 06 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #40 Kita

Menjejak pada derajat di mana kita menerima bukan karena, tetapi mencinta walaupun:
Bukan karena sempurna
Tetapi walaupun bercela

Merencana pada waktu kita yang bukan abadi, tetapi berbatas sampai mati:
Cincin bukan di jari
Rajah tetapi di hati

Jumat, 05 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #39 Nasi Bungkus

Bagaimana bisa tidurku tenang bila ranjangku dibalut seprai beledu
sementara lapikmu berselimut abu?
Bermimpi saja mungkin engkau enggan, takut maut menjemput.
Di sini aku nyaman di bawah atap sirap dengan pilar kayu kelapa;
di sana keluargamu berbagi papan dalam pengungsian.
Dan kekasihku -- lelaki yang berjarak satu sentuhan jari -- mendampingi waktu-waktu beku,
selagi paruhan jiwamu tertimbun ampas lindu dan belum ketemu.

Aku berkaca di meja rias,
dan membayang romanmu manai.

“Jadi, Anak Manja, malulah kamu yang berkeluh soal idelanya lekuk tubuh sementara dia menyantap nasi bungkus dengan tangan berdebu!”

Satu Puisi Satu Hari: #38 Senyum

gambar-gambar bisu berjajar dalam bingkainya beragam rupa
di atas lemari, di dalam rak kaca, tergantung pada dinding-dinding yang menua
kadang-kadang bersembunyi dalam selipan album dan berkas lama
berarak-arak mencuil sepotong kenangan dari dalam kepala
wajah-wajah lama yang pernah membagi senyum dan tawanya sebelum tiada
pelukan, rangkulan, jabat tangan, atau sekedar bersinggungan pada sebuah masa
ada kalanya momentum yang tertangkap jujur tanpa aba-aba
atau sengaja ditata supaya yang dikenang seperti terlihat mata kamera
beberapa bahkan menyimpan aroma
memori yang sebegitu kuatnya mengikat indra perasa

pasir yang melekat di telapak kaki dan bau angin laut yang meniup rambut tergerai
mengenang ayah dan merindukan pantai


Kamis, 04 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #37 Angin

Banyak yang sudah berpuisi tentang hujan.
Tapi tentang angin?
Sedangkan mereka sama-sama menghantar dingin.
Juga sama-sama membuai batin.


Siang tadi saya menunggu angin,
karena keterlaluan terik surya mencabik kulit sampai merah.
Sungguh amat gerah.
Jadi ketika sepoi akhirnya singgah, sungguh terasa seperti anugerah.
Saya lupa akan hawa panas yang tadi bikin marah-marah.

Namun menjelang sore, arus udara mulai bergelora.
Dikebasnya daun jendela kamar saya.
Brak! Yang lelap jadi terjaga.
Barisan bambu gemerisik berisik diusik tiupannya.
Kali ini, dia datang membawa awan.
Jadi puisi tentang angin berakhir di sini, karena sebentar datang kembali hujan.

Rabu, 03 November 2010

Berkas Biru

Hari ini mereka menonton film biru bersama. Tanpa rencana, terjadi begitu saja. Dan tentu bukan untuk yang pertama kalinya.

“Mau lihat bokep dong, Sayang,” kata B tiba-tiba. Mereka sedang ‘terbang’ saat itu. Dua buntut sisa lintingan daun surga berbaur bersama abu di dalam asbak beling.

“Oh iya, aku baru dapat banyak dari E kemarin.”

“Nah ya, ketauan. Kenapa sih suka nyimpen bokep tapi nggak mau ngaku?”

“Bukan gitu. Ini yang baru-baru.”

“Mana? Mau lihat. Di laptop ya?”

“Di external memory.”

“Manaaa? Ambiiil,” B membujuk sabil mengusap-usap lengan A. Laki-laki itu jadi tergoda.

“Ini dulu dong,” kata A sambil menunjuk organ di antara dua kakinya.

“Uuuh,” B mengeluh tapi tetap mendekatkan kepalanya ke situ dan memberikan A apa yang dia mau. Tidak sampai selesai, karna B sendiri belum mendapat apa yang dia mau. “Ambil, ayoo,” katanya memotong kenikmatan A. Ya, ini hubungan saling memberi dan menerima. A tahu kenikmatan itu tidak akan dilanjutkan sebelum ia gantian memberi apa yang B butuhkan. Jadi ia menurut saja menyiapkan apa yang diperlukan untuk menonton.

Berkas pertama dibuka; potongan video diputar. Tanpa basa-basi langsung diawali dengan adegan tanpa pemanasan. Felatio terlalu lama. Cunnilingus hanya sekejap. B tidak suka. Ganti.

Berkas ke-dua. Adegan diawali dengan munculnya tokoh pemuda yang mobilnya mogok, lalu bermaksud meminta bantuan kepada pemilik rumah terdekat. Seorang pria paruh baya membukakan pintu dan mempersilakan si pemuda menggunakan teleponnya untuk menghubungi layanan derek. Karena harus menunggu selama empat jam sampai bantuan datang, si bapak menawarkan diri untuk memperbaiki mobil itu, dan (tentu saja, sudah dapat diterka) membiarkan si pemuda hanya berdua di rumah bersama anak gadis si bapak yang berpakaian minim dan tanpa alasan masuk akal selalu berpose mengundang. Akting yang sangat buruk dan alur cerita yang terlalu mudah ditebak jadi satu-satunya alasan untuk membiarkan video terus berputar, hanya untuk ditertawakan. Lalu, ganti lagi.

Berkas ke-tiga. “Nah, ini dia! Ketemu juga!” seru A, “Ini parodinya Avatar. Kocak!”. Satu-satunya bagian tubuh yang tidak dicat biru dalam video itu adalah kemaluan Jake Sully yang tetap merona. “Kok mau ya orang main film begini?” tanya B. “Iya. Lama-lama aneh ya dilihatnya,” jawab A, “Kita bikin film sendiri aja yuk!”.

Ya, kita semua tahu. Kalimat ajakan dari A itu adalah cara mengajak bersetubuh paling basi, paling ‘lemah’, dan paling tidak romantis. Tetapi ketika ada ganja dan ada cinta, sepertinya yang diajak akan mau-mau saja. Lihat, B sudah mulai melancarkan serangan.

Selasa, 02 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #36 Pagina

Sukar dipilah ini kasmaran atau ketergantungan. Tulus atau hawa nafsu?
Rasanya ingin berjimak dengan buku.
Menjamah tiap-tiap pagina, mengulum baris-baris kata.
Dibuahi gagasan, lalu mengandung buah pikiran, dan akhirnya melahirkan anak reka-reka.
Main serong dengan kamus. Sembunyi-sembunyi dengan tesaurus.
Bersanding dengan permainan kosakata dan membiak terus.


Satu Puisi Satu Hari: #35 Selesai

Sst.. Tenanglah, Kekasih. Berikan kecupan selamat malam.
Aku tahu kita sudah mencoba dan mencinta segala macam.
Tanda tanya mendekam: bagaimana dua hati jadi rapuh.
Dalam permainan ini, tidak ada pemenang utuh.
Kamu seperti syair yang sedang kucari rimanya.
Tetapi tahun terus berjalan, dan waktu tak di sisi kita.
Jadi di sinilah aku, Sayang, bersiap pergi.
Kerusakan telah terjadi, tak bisa kita perbaiki.
Sst.. Tenanglah, Kekasih. Sampailah kita pada akhirnya.
Yang rangup sudah cerai-berai, tidak perlu pura-pura.
Bukan tak cinta, bukan tak peduli.
Tetapi masa depan, sepertinya tak bisa kubagi.

Senin, 01 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #34 Belajar

Sekerat roti diolesi secungkil margarin.
Ditaburi apa jadi?
Butiran cokelat warna-warni atau gula pasir murni?
Ibu siapkan makan pagi. Habiskan, biar tidak masuk angin.
Dibekalinya Upik uang jajan. Selembar limaribuan.
Makan siang jangan jajan sembarangan!
Beli di kantin sekolah. Supaya lebih murah.
Menurut saja Upik tak membantah.
Andaikan Ibu tahu beratnya langkah Upik hari ini.
Enggan dia meninggalkan hangatnya rumah.
Resah dia dihakimi di sekolah.
Ujian nanti pasti tidak lulus, karena Upik sudah tidak perawan lagi.

Satu Puisi Satu Hari: #33 Roda Dua

Tujuan: Di mana sedia ayam goreng dan lalapan.

Suasana siang: Terik memompa keringat di badan. Lampu merah menyala di perempatan.

Suasana hati: Penuh pertanyaan.


Sang Gadis meringis lihat pengemis. “Mengapa ada orang tak berpunya di dunia?” ia bertanya. “Tentu akan lebih miris bila tidak punya asmara,” jawab Sang Jejaka.

Lalu mampir yang menjual rokok dan camilan. Lusuh nian. Mana tahu butuh selingan, silakan ditukar dengan receh di tangan. “Mengapa tidak ada yang jajakan pelukan?”. Jejaka berguman, “Maukah engkau membeli teman? Hanya untuk merasa nyaman?”

Tujuan hati: Ke manapun asal satu sasaran.

Mereka melanjutkan perjalanan. Asalkan pasti, walau pelan-pelan.

Satu Puisi Satu Hari: #32 Nanti

aku takut
aku takut apa jadinya nanti
apa jadinya kamu nanti
aku takut bagaimana jadinya kita nanti
aku takut
aku takut terlalu banyak berekspektasi
tapi aku takut sendiri
apa jadinya nanti kalau aku sendiri
apa rasanya
seperti apa
aku takut
aku takut ternyata aku bukan untuk kamu

Jumat, 29 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #31 Surga

Selamat datang di nirwanaku!
Sebelum engkau masuk, tanggalkanlah dulu pikulanmu.

Mari kuantar berkeliling taman tanpa derita.
Sematkan senyum merekah, sekarang kita lupakan duka.

Jangan lupa kenakan jubah masa kejayaan.
Supaya tidak tersakiti, bahkan tidak oleh kejujuran.

Ah, hiruplah udara kebebasan.
Legakan nafasmu saat kita mulai perjalanan.

**

Nirwanaku tempat ‘ku bermesraan dan bermanja-manja.
Dengan pelukan dan ciuman, apa adanya saja.
Tidak perlu malu-malu, saya memang penggoda.
Jadi mari ikut bermain, dan jangan bilang siapa-siapa

Ini, reguklah saripati bahagia.
Bisakah kaurasakan, matamu kian terbuka?
Dan ini, sesaplah serbuk sukacita.
Anggukan kepala bila kau setuju bahwa rasanya istimewa.

Dengarkah lagu surgawi itu? Saatnya kita menari!
Berdendanglah kalau suka, rayakan hari ini.

**

[decak] Lihatlah waktu berlalu, apakah sudah waktunya pergi?
Oh, jangan bersedih, besok kau boleh kembali lagi.

Katakan pada teman-temanmu, semuanya kuundang.
Nirwanaku adalah tempat yang baru saja kukarang.

**

Saatnya kembali menjejakkan kaki di dunia.
Percaya adalah melihat, bukan sebaliknya.

Kamis, 28 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #30 Tuntas - Maaf

Sst.. Tenanglah, Kekasih. Redam kata-kata.
Bulir-bulir tangis kita bukanlah tanpa makna.
Ini kenyataan, aku akui, kita berserakan.
Apa yang dahulu murni tidak kita pertahankan.
Cecap kulitmu sudah masam.
Manis bibirmu tak lagi tertelan.
Jadi jangan, Kekasih, jangan memendam.
Sebab semakin tinggi kita terbang, semakin keras kita terhempaskan.
Sst.. Kekasih, sudah hampir tuntas.
Aku bukan malaikatmu lagi. Bukan lagi.
Angan akan keabadian sudah menggetas.
Bukan bualan. Ini elegi.

Satu Puisi Satu Hari: #29 Amin

Air mata itu asin.
Bermuara di sapuan tangan dari hulunya di batin.

Terima kasih sudah diingatkan,
bahwa semua yang sungguhnya teramat berharga pada hakikatnya sementara belaka.

Saya sembahyang
semoga para saudara yang berkesusahan adalah mereka yang di mata-Nya menang.

Selasa, 26 Oktober 2010

Tahi Lalat

B

Saya mau menantang kamu kali ini untuk mengetahui seberapa kenal kamu akan tubuh pasanganmu. Oke. Sebutkan letak-letak tahi lalatnya. Bisa?

Tidak perlu bertanya balik pada saya. Karena sebelum saya melontarkan pertanyaan ini, sudah saya catat semua. Yang di pundak sebelah kanan, yang di perut di dekat pusar, yang di lengan kanan, dan masih ada beberapa lagi. Kadang saya suka bermain menyambungkan titik di badannya. Itu lho, permainan menyambungkan titik-titik sesuai urutan angka yang hasilnya sebentuk gambar. Ya memang, badan A hasilnya tidak bergambar. Itu alasan saya saja untuk menggerayangi tubuhnya. Nakal ya? Hahaha..

Saya jadi ingat masa-masa kuliah dulu waktu masih sering menghabiskan waktu di sebuah kafe kecil di dalam mal daerah Selatan Jakarta. Kafe ini menaruh beberapa toples beling berukuran besar sebagai dekorasinya di dekat pintu masuk. Isinya biji-biji kopi berbagai variasi. Sampai sekarang saya tidak pernah tahu apakah hanya sekedar dekorasi, atau memang benar untuk dihancurkan-diseduh-lalu disajikan dalam cangkir kopi.

Saya dan teman-teman sering “mencuri” beberapa biji kopi hanya untuk dipakai untuk bermain.

D menaruh sebiji kopi di dagu sebelah kiri. “Siapa saya?” tanya dia. “Rano Karno!” seru saya dan C serentak.

Lalu C memasang sebiji di atas bibirnya. “Kalau ini?”. Saya dan D menjawab bersamaan, “Cindy Crawford!”

Gantian saya menempelkan satu di bawah mata kiri. Belum sempat bertanya, mereka menjawab sambil terbahak-bahak. “Ita Purnamasari!”

Kembali ke atas lagi, sudah bisakah kamu mengingat tiap letak tahi lalat kekasihmu? Mungkin akan lebih mengagetkan kalau ternyata lebih hafal tubuh selingkuhan terbaru. Semoga tidak begitu.

Yang pasti gara-gara tahi lalat saya baru menyadari betapa A begitu perhatian sama saya. Mungkin ia tidak ingat semua letaknya. Tapi dari sekian (percayalah, jumlahnya tidak banyak) yang pernah melihat nonok saya dengan lampu yang tetap menyala, baru A yang akhirnya memberi tahu, “Kamu punya tahi lalat di labia minora. Ada dua.”

Saya tidak akan mencari dalam primbon artinya tahi lalat di kemaluan, tapi hanya bertanya-tanya. Kenapa baru A yang memberi tahu saya? Yang lain kurang perhatian sepertinya. Kamu jangan begitu ya.

Senin, 25 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #28 Sore

Bubuk kopi
Gula pasir
Daun teh kering
Berderet di atas rak bambu
Saling berpandangan
Lalu mendengar siulan itu:
Cerek di atas tungku
Air mendidih
Mana yang akan diseduh Ibu?
Karena Ayah tidak pulang
Sore ini
Tidak ada:
Ngeteh
Ngopi
Ngunyah serabi

Jadi?
Ibu melewati lodong kopi
Juga mangkuk gula
Dan wadah teh
Ia menjerang air tadi
Untuk dipakai mandi
Karena bahkan sore sudah terlampau dingin tanpa pelukan Ayah. Ibu berkata.

Satu Puisi Satu Hari: #27 (Si) Lucu

Betul-betul kamu makhluk Tuhan yang lucu.
Kendatipun tak kenal aku, siapa ibumu. Apalagi bapakmu.
Sehabis menghamili ibumu pasti tak peduli dia,
tidak tanggung jawab habis bikin bunting betina.

Kita bertemu waktu kamu hendak menyeberang jalan.
Tak tega, kubawa kamu pulang. Daripada kamu sendirian, kasihan.
Jadi malam itu kamu tidur sama aku.
Tepatnya, kamu mendengkur di dadaku.

“Dia sakit,” kata dokter tentang kondisimu.
Tiap jam harus diberi air madu.
Mau tidak mau ya kupaksa, sampai kamu telan juga.
Tanpa kuundang, kamu sudah bisa naik ranjangku sendiri di malam ke-dua.

Sekarang sudah genap tujuh hari tinggal bersamaku.
Sudah sehat sepertinya, minta makan melulu.
Aku bahagia bisa menyelamatkan makhluk Tuhan yang lucu ini.
Senangnya, kamu sudah mau datang waktu kupanggil, “Kitty!”

Minggu, 24 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #26 Kecewa

Dia ingin membeli
tapi
toko merah di ujung jalan tak menjual obat sepi.
Mereka hanya sedia penangkal rindu
dan vaksin anti cemburu.
Sudah begitu yang berhutang dilarang.
Harus bayar lunas, dengan sepenuh hati.
Dia balik badan
cari lagi.
Toko kuning yang baru buka tawarkan pengharapan,
impian masa depan dan asa untuk sembuh.
Mereka bagikan cuma-cuma
selama masa promosi
asal bersumpah kembali lagi.
Dia urungkan niat
lihat
toko hijau di gang buntu menjual bibit
untuk menanam maaf
atau tumbuhkan lupa.
Bayar dengan apa saja diterima.
Tukar guling dengan jari tengah,
dia pulang bawa biji mati rasa.

Jumat, 22 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #25 25

seperempat dari seratus -- tahun yang ke-dua puluh lima
[sekian saya mengaku usia padanya]
setengahnya seperdua saja
satu juring sembilan puluh derajat diapit kaki-kakinya
[dua tungkai saya pun mengapit pinggulnya]
jarum panjang di dua belas, jarum pendek ada di tiga
lima belas menit dari satu jam –- satu per empat sama dengan dua puluh lima per seratus, ya?
[rehat sejenak di atas sofa]
satu hari lima kali dalam lima hari, lima kali lima
hasilnya benar dua puluh lima!
[oh ya, itu hasilnya tidur dengan guru matematika]

Kamis, 21 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #24 Nikmat

Betari curiga kali ini, ia berpurbasangka. Mengapa pangeran rupawan tak kunjung datang jua? Sedangkan cakrawala barat mulai mengemas, dan rembulan keperakan telah bersiap-siap ke atas. Gerangan apa yang membuatnya berpangku tangan dengan gusar di selasar?

Andainya engkau nyana, Cantik. Sang Gagah terjerat lelembut berwujud dara, iblis yang pandai bersandiwara.

Betari geram kali ini, ia berkesumat. Bersebadan ia dengan bujangnya yang meringis penuh nikmat.

Rabu, 20 Oktober 2010

Sang Penggetar

V

Kenalkan, aku sang penggetar. Baru dibeli B waktu dia liburan ke luar negeri sebulan lalu. Dia tertarik dengan tulisan di kotakku: “Mini Vibrator”. Ah, padahal aku nggak mini-mini amat. Gini-gini kan aku masih punya harga diri. Kemarin ini waktu ditaruh di samping tempat tidur, aku sempat mengukur. Punya A dan aku nggak jauh beda, kok. Iya sih, lebih besar punya A. Tapi aku nggak terima dipanggil mini!

V : Kenapa sih kamu beli aku? Memang nggak puas sama punya A?
B : Loh, gimana sih? Masih belum ngerti juga sampai sekarang? Namanya juga alat bantu, ya kamu dipakai saat saya lagi butuh bantuan. Kapan? Waktu A lagi tidak di sini. Waktu kami lagi butuh variasi. Ya, saat kamu diperbantukan.
V : Aku iri. Aku suka diumpetin dalam lemari.
B : Ah, kamu lucu sekali. Kamu itu barang paling pribadi. Bahkan lebih intim dari pakaian dalam saya yang ditumpuk di dalam laci. Jadi jangan berkecil hati.
V : Stop! Jangan sebut lagi kecil-kecil atau mini-mini. Aku nggak sudi!
B : Ssst.. Tahu tidak kenapa saya suka kamu? Kamu, hmm, ya tidak teralu besar. Tapi kamu bergetar! Punya A tidak bisa begitu.
V : Iya aku tau. Kecuali punya A pakai cincin yang berbaterai itu!
B : Wah, kamu suka ngintip ya dari dalam lemari?
V : Iya, kalau aku lagi nggak diajak main. Eh, memangnya benar ya, posisi menentukan prestasi?
B : Dasar tukang ngintip! Hahaha. Iya pastilah menentukan! Ada titik-titik spesifik yang hanya bisa dicapai dengan posisi tertentu. Gerakan juga menentukan.
V : Iya, aku sering lihat kalian bervariasi. Apa rasanya sih kalau sampai bisa berprestasi?
B : Hahaha bergetar dari ujung kepala sampai ujung kaki!
V : Kayak aku dong!
B : Iya, tapi kamu dari kepala sampai kaki kan cuma berapa inci..
V : Tuh kan, ungkit-ungkit ukuran lagi!
B : Ah, kamu terlalu sensitif. Yang boleh sensitif itu cuma saya dan genitalia. Hahaha..
V : Ngomong-ngomong A kemana sih, udah tiga hari nggak pulang-pulang?
B : Sedang di Bangladesh dia, ada urusan. Hari Senin depan baru pulang.
V : Jadi sekarang kita main lagi?
B : [senyum] Yuk, saya cuci dulu.
V : Nggak usah, kamu ke warung depan aja dulu. Bateraiku habis kamu pakai melulu.

Satu Puisi Satu Hari: #23 Pagi

Bibirnya seranum matahari pagi.
Mengundang dilumat lagi.
Matanya secerah embun.
Berkedip anggun.
Kulitnya laksana mega.
Remaja bercahaya.
Hamba bercermin.
Mengucap amin.

Satu Puisi Satu Hari: #22 Enigma

Apakah ini disebutnya:

Merayu dan memaki untuk alasan yang sama

Mencumbu dan menikai karena sebab yang tak beda

Saling mencintai dan/atau melukai?

Satu Puisi Satu Hari: #21 Menulis

Dari ujung jemari ini mengalir energi yang bermutasi menjadi bait puisi melalui tariannya di atas papan ketik.

Aku bisa bercerita tentang kita lewat anyaman kata-kata lintas media yang kaubaca selagi menjelajah dunia maya.

“Ini untuk kamu. Yang mengaku bahwa diriku membuat hatimu menjadi tenteram. Sudahkah kamu berkarya hari ini?” aku menulis.

Selasa, 19 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #20 Tanda-Tanda

Ketika Yang Mahasempurna bercakap padamu melalui siulan angin, dengarkanlah.
Ia berkisah tak hanya pada ruhban dan ruhbanat. Juga pada yang diryah.
Faalnya terlukis jua pada setiap panorama.
Menyenangkan mata yang betul-betul terbuka. Indahnya.
Ia mencinta lewat kasih sayang pendampingmu,
sehingga tiada timpang engkau lewati jalan berliku.

Aku merasa kecupan-Nya ketika wajahku dibelai sayap kupu-kupu,
lantas berbagi larik-larik ini denganmu.

Minggu, 17 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #19 Kencan

Tidak ada yang lebih manis dibanding mengenang waktu pertama kali bertemu. Bukan begitu?
Perjumpaan perdana tanpa tahu ujungnya apa. Bersyukur lalu jadi cinta. Kalau belum jodoh, ya mungkin hanya semalam saja.
Bila berlanjut, semakin manis saling bertukar kabar dan berkelakar dengan media layar empat inci persegi. Malam-malam tidak lagi sepi. Bahkan rela tidak tidur sampai pagi.

Tidak ada yang lebih meresahkan dibanding menunggu kelanjutan hubungan. Demikian kan?
Pertemuan-pertemuan berkesinambungan penuh kerinduan berbaur kecemasan. Ah, masa-masa penuh pertanyaan. Menunggu pengakuan.
Manakala ada jawaban, semakin gelisah saling bersentuhan dan menjalin keintiman badan. Walaupun malam-malam memang tidak pernah sepi. Dan selalu rela tidak tidur sampai pagi.

Tidak ada yang lebih getir dibanding tidak menemukan jalan keluar. Apa benar?
Kencan yang bersalin rupa jadi beban. Pengkhianatan. Mencari pelepasan dari ketidakcocokan dan ekspektasi yang terlalu jauh ke depan.
Kapan ada terucap selamat berpisah, semakin getir berteman candu dan dadah. Supaya malam-malam tidak terasa sepi. Dan akhirnya tidak tidur juga sampai pagi.

Sabtu, 16 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #18 Tikus

Salam sapa para hipokrit nan munafik!
Selayaknya kalian merasa tidak lebih berharga
dibanding kotoran yang menyisip di ujung kuku saya.
Bukan semata kalian yang sering terlihat di layar kaca
atau dalam lembaran berita terlihat apik,
tapi juga Anda-Anda tikus kecil pengerat
entah uang rakyat
atau sekedar secuil kewarasan dan rasa iba saya.
Halo para manusia bermuka dua!
Hanya ingin tanya,
kidung pengantar tidur kalian siapa yang bernyanyi?
Bagaimana bisa rebah lelap sekali
sementara saya kelaparan makan hati?

Satu Puisi Satu Hari: #17 Hadiah

dua jari yang menari ketika telapak tangan berpandu.
bergeraklah lebih cepat katanya
lanjutkan perlahan namun imbang
kemudian kembalilah cepat seiring nafasku yang berpendar
maka aku akan tiba di peraduan.

wahai lelaki yang bernafaskan api dan menangiskan es
akan kubisikkan malam ini, kularutkan wahai jemari.
bawa daku ke peraduan untuk kembali ke pelukan..


Puisi ke-17: Puisi dari A untuk saya. Hadiah istimewa.

Jumat, 15 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #16 Kepiting Saus Padang

Lokasi: Warung makanan laut di pinggir jalan.

Atmosfer: Pendar kuning lampu jalanan memantul pada aspal basah sisa hujan. Bayangkan.


Malam ini mereka berbagi makanan. Bersantap dalam kebersamaan. “Terima kasih sudah menyelipkan aku dalam sesakmu hari ini,” ucap yang perempuan. Ia menerima jawab: anggukan dan senyuman.

Sudah terlalu larut untuk berargumen soal pilihan hidup. Mereka tidak sanggup. Sempat bertemu saja sudah sungguh berlega hati. Peluang ini bukan untuk dinodai.

Bila saja menyatukan dua manusia dengan dua kitab suci berbeda semudah menjentikkan jari, mereka pasti sudah jadi suami istri. 

Realita: Tanpa penyesalan, pun tanpa penggenapan.

Malam ini mereka menikah, saling mengucap janji. Penghulunya kangkung cah cumi. Kepiting saus padang menjadi saksi. “Kamu berhasil membuat aku berhenti bertanya apakah ini cinta,” kata yang lelaki.

Kamis, 14 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #15 Pasti

Sungguh tidak ada yang definit;

tibanya detik atau hadirnya detak.



Demikian tiada sabit;

berhajat dan berkehendak.



Seperti seloroh Tuhan.

Selasa, 12 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #14 Ragu-Ragu

Rasanya tergoda untuk membelah kepalamu dan menguraikan otak di dalam situ, lalu menghitung berapa macam siluman yang pernah menghiasi fantasimu.

Tergelitik juga untuk membelah dadamu dan menggenggam jantung hati itu, lalu merasakan dalamnya perasaan yang kaupendam untukku.

Ya, aku mengerti ragamu adiksi pada himpitan tubuh molekku -- Tetapi aku ingin tahu lebih dari sekedar ketergantungan fisik yang kadang menipu.

[Menjawab ketidakyakinanku, kalimatmu terlalu baku. Jadi aku makin ragu-ragu.]

Minggu, 10 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #13 Pergi

Tidak ada yang menyelentik bahwa pergi itu akan terasa sendiri.
Keberangkatan adalah pertanggungjawaban atas apa yang ditinggalkan,
dan kesiapan akan menghadapi yang terbentang di depan.
Tentang mengucapkan selamat tinggal pula tidak ada yang menasihati,
akan beratnya melihat tangis mengalir di pipi dan dalam nurani.
Seumpama tiba nanti waktunya menyeberang,
sepatutnya tidak ada penyesalan akan siapa yang pernah disayang.


Satu Puisi Satu Hari: #12 Lipstik

Ia hanya memoles selapis saja dari ujung batang yang tersisa.
Warnanya merah-bungur, bukan merah-sirah seperti kelentitnya.
Berdebar-debar ia menanti hari ini tiba,
gilirannya dapat jatah dari Tuanku Raja.
Maka ia pakai lipstik.
Sang Gundik merasa cantik.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #11 Tanda Baca

Saya tersesat di antara “aku rindu kamu” dan “kamu egois”.
Jadi ada tanda tanya setelah “maafkan aku”.

Kamu terbelah di antara “aku menyesal” dan “kamu salah’.
Jadi ada tanda seru setelah “aku butuh kamu”.

Kita tersiksa di antara “selalu cinta” dan “memang berbeda”.
Jadi ada titik setelah “lupakan saja”.

Kamis, 07 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #10 Alas Kaki



Kasut kulit lusuh penuh bakti pada si empunya.
Terinjak dan teraniaya tapi tetap penuh setia,
karena mafhum ia alas kaki satu-satunya.
Nona Majikan tidak punya lagi apa-apa.
Rela ia terguyur hujan, terseok di selokan, menggumuli lumpur.
Semangatnya tidak pernah kendur, abdinya tidak akan luntur.

Namun malam ini Kasut usang bermuram durja.
Di sisi perapian ia terlantar saja. Nona Majikan meninggalkannya.
Karena dalam pesta dansa Upik Abu jadi putri jelita,
bersepatu kaca.

Rabu, 06 Oktober 2010

Mari Mandi

B


Saya suka sekali mandi bersama A. Selalu menyenangkan, menyegarkan, tapi juga menghangatkan. Entah itu mandi untuk pemanasan atau mandi karena kewajiban. Entah itu di bawah pancuran shower atau berendam dalam bathtub, masing-masing punya kelebihan.

Saling menyabuni adalah kegiatan yang paling mengikat batin untuk saya. Bahkan melebihi persetubuhan itu sendiri. Menyentuh milimeter demi milimeter permukaan kulit pasangan saya, membersihkannya dari kotoran dan debu duniawi. Merasakan bidang dadanya, keras lengannya, tangguh punggungnya, kencang bokongnya (tempat saya paling suka berlama-lama), jenjang tungkainya, dan gelitik sela-sela jemari kakinya. Mengenali setiap letak tahi lalat dan setiap parut saksi hidupnya.

Begitu pula dia. Menyabuni saya yang sudah tak merasa perlu lagi menutup-nutupi kekurangan badan seperti layaknya perempuan. Saya persilakan ia mengeksplorasi tubuh kekasih hatinya ini. Membiarkan dia bertanya ‘ini punya siapa?’ setiap kali menyentuh tiap-tiap organ tubuh saya dengan tangannya. Tentu saja ‘punya kamu’ jawaban saya selalu, sambil tertawa.

Ya, berdekapan di bawah pancuran air selalu penuh kasih sayang.

Saya pernah memberinya kejutan. Segera sehabis menjemputnya di bandara saat pulang dari dinas luar kota satu bulan, saya membawanya ke sebuah kamar hotel yang sudah saya pesan. Pikir saya waktu itu, pas sekali untuk obat kangen-kangenan dan sayang-sayangan.

Setelah memerawani tiap jengkal kamar dengan keringat kami, menjelang malam saya siapkan bathtub untuk dia berendam dengan air hangat penuh busa. “Serasa di surga,” katanya. Dan dia mengajak saya berendam bersama. Damai sekali rasanya bersandar di dadanya sambil bermain busa dan dibisiki kalimat cinta. Waktu itu dia bilang, “Sayang, tiap saat nanti kita melewati masa sulit dan terpikir untuk berpisah, selalu ingat, kalau kita pernah sedekat ini.”

Ya, saya selalu suka mandi bersama A.

Yang paling saya suka adalah adegan penutupnya. Seks? Bukan. Sebelum itu. Dengan badan basah dia memeluk saya dari belakang, lalu kami yang masih berbalut handuk saling menatap pada pantulan cermin. “Begini terus ya kita,” katanya. Mesra.

Satu Puisi Satu Hari: #9 Gula-Gula

Setiap hari manis sekali. Yang terdengar dan yang terkecap.

Siapa bisa tak candu, bila laksana madu yang terucap.



Kalimat cintamu adiktif, seperti gula-gula.

Selasa, 05 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #8 Monster

Aku bertemu monster hari ini!


Taringnya runcing mencuat dari congornya.
"Kemari, kugerayangi kau dengan bibir lembayungku."
Bola matanya jelalatan mencari mangsa.
"Lihat, terlucuti rasa malumu dengan kedipku."
Kuku-kukunya terasah, lapar menggoret luka.
"Biar kubelai dengan gemulai lelakimu yang merindu."
Pekiknya sungguh pekakkan gendang telinga.
"Kunyanyikan pengantar tidur yang merdu. Untukmu."

Awas! Ada monster di balik rok mini!


Senin, 04 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #7 Hasrat

Betari masih menyimpan kunang-kunang di tepi peraduan, menghamba pada malam-malam sarat rayuan. Ia yang laksmi merindukan belaian pangeran rupawan. Kain yang ia bebatkan dan selendang yang ia sampirkan menunggu untuk ditanggalkan.

Tidak ada dekapan badan kali ini, Cantik. Sang Gagah pongah tidak tertarik, ia bahkan tidak melirik.

Betari masih menjalin rambutnya yang panjang, menyimpan hasrat untuk berseranjang.

Satu Puisi Satu Hari: #6 Sepi - Ngeri

Ah, sunyi. Yang terdengar hanya suara hati.
Tidak ada kamu, tidak ada dia -- Alienasi.
Tangan waktu seolah tergayut ribuan memori.
Sukar jarum berputar, lama digit bertukar.
Asumsi racuni afeksi. Mengambil kesimpulan sendiri.

Minggu, 03 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #5 Palsu

Gadis bergaun hijau mengucap salam.
Tangannya mengulur meraih genggam.
Wajahnya menyambut tawarkan kecup.
Senyumnya teruntai dari bibir terkatup.

Saya tidak tahu dan tidak mau tahu.
Malam ini semua bersinggung bahu.
Substansi mengakrabi manusia.
Kelancungan rasa: bahagia

Jumat, 01 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #4 Sakit

Ampun, Pendera Raga
Pedih ini menyiksa
Sendi-sendi menusuk
Luka-luka membusuk

Puaslah badan kauperkosa

Ampun, Penentu Maut
Nyawa ini bergelayut
Sudah tidak takut
Ayo kalau mau jemput

Jelaklah kauhitung dosa

Ampun, Pemberi Maaf
Tidak lagi akan khilaf
Putuskan saja hari ini
Hidup atau mati

Kamis, 30 September 2010

Satu Puisi Satu Hari: #3 Selampai

Perempuan menyibak tirai jendela. “Silakan masuk,” ucapnya pada cahaya pagi yang merona, secerah harapannya. Semalam ia menyulam nama lelaki di selampai jingga. Siang nanti Sang Lelaki berjanji datang, jauh-jauh dari kota di seberang.

Perempuan merajang bawang, menguras air matanya. “Supaya habis,” katanya, “dan tidak lagi bisa menangis.” Tak ingin Sang Lelaki melihat pilu di kedua mata. Bila ia datang akan disambut dengan canda yang mesra, hanya boleh melihatnya tertawa.

Perempuan menyiapkan makan siang, dan sirop dingin untuk mengusir dahaga. Sebentar lagi lelakinya datang, ia berjaga-jaga. Masih ingat ia, waktu Sang Lelaki masih memeluknya penuh cinta. Tak mau lepas tidur di sebelahnya. Bertahun-tahun berlalu, sampai terakhir melepasnya di dermaga.

Perempuan sumringah menyambut di beranda. Sang Lelaki sudah tiba, kuyup terbakar terik surya. Disapunya peluh dengan selampai jingga. “Kamu pasti lelah sekali. Mari masuk, Nak. Ibu sudah siapkan makanan kesukaanmu,” katanya.

Rabu, 29 September 2010

Satu Puisi Satu Hari: #2 Pintu

Pintu kamarku. Seronoknya berwarna biru. Jadi penjaga rahasia nomor satu. Kukuhnya menyekat sisi ini dan itu.

Menunggu jodoh, ia. Anak kunci yang menyusuk lubangnya. Tanpa daya membebaskan tuasnya menguak cerita.

Pernahkah engkau mendengar cerita hidup pintu? Pintu kamar selingkuhanmu, pintu rumah orang tuamu, pintu toilet kekasihmu, pintu lemari baju objek seksualmu? Pintu yang menunggu diketuk rasa ingin tahu.

Pintu kamar kugerendel dari dalam. Malam ini engkau boleh mampir, tapi jangan bermalam. Ada bait yang kusimpan diam-diam.

Selasa, 28 September 2010

Satu Puisi Satu Hari: #1 Hujan

Aku cemburu pada hujan yang mencumbu jalanan
ciumannya bertubi-tubi dan beranak genangan.
Ranting pohon belimbing pun berbagi welas asih
dari daunnya tercurah benih-benih.
Salam pada rintik yang terjun penuh gairah
beriring guntur ia bertandang dengan gagah.
Menagih mesra seperti tiada hari esok
bermanja-manjaan sampai langit bersih elok.

Lalu aku iri pada hujan yang bermukah dengan baskara
hangat peluknya beranak warna-warni bianglala.

Senin, 20 September 2010

Lebih Dalam Tentang Pakaian Dalam

A

Saya suka melihat B memakai baju pilihan saya. Walaupun akhirnya waktu mau menikmati tubuhnya, bajunya kadang harus dibuka juga. Baju bisa jadi awal segalanya. Potongan tertentu bisa langsung memancing 'adik' saya berdiri. Namanya juga laki-laki.

Selain baju, pakaian dalam juga tentunya penting. Bentuk dan fungsinya harus bisa membuat lekuk perempuan terlihat semakin menggoda, tidak peduli harganya berapa, merknya apa, dan belinya di mana. Namanya juga lingerie.

Mari berbicara lebih dalam tentang pakaian dalam. Kado terakhir B untuk saya adalah sepasang bra dan panty merah muda yang dibelinya diam-diam dan dipakainya dengan elegan. Saya jatuh cinta untuk kesekian kalinya. Menyetubuhinya malam itu, tidak perlu melepas si merah muda renda-renda. Namanya juga tergila-gila.

Kali lain, B memakai celana dalam sekali pakai yang dibelinya di toko serba ada. Katanya, "Masih sisa dari kemarin ke Bali. Sayang kalau ngga dipake." Bentuknya memang tidak terlalu menggoda. Tapi fungsinya yang sementara membuatnya rapuh dan gampang saya robek-robek untuk permainan cinta yang liar. Namanya juga variasi.

Di kesempatan lain lagi, B mencoba memakai boxer hitam saya. Sambil berkaca, ia tertawa-tawa. "Lucu ya," katanya. Dilepasnya kancing di bagian depan celana, dan dijulurkannya jari tengahnya keluar dari celahnya. "Lihat, aku juga punya t*t*t!" serunya sambil terbahak-bahak. Kami tidak jadi bercinta karena lelahnya tertawa. Namanya juga coba-coba.

Sabtu, 18 September 2010

Perempuan Pura-Pura

Perempuan menyimpan cerita, polahnya bagai tak kenal derita. Bersolek ia tutupi jejak air mata, bulir keringatnya memeram cinta.

Wahai jejaka nan jumawa, tengoklah perempuan di jendela. Tepekur ia lamunkan asmara, menunggu dijemput Sang Ksatria.

Jumat, 17 September 2010

I Love You (?)

A

Seberapa sering Anda mengucapkan "I love you" kepada orang yang Anda sayangi? Ketika mengucapkannya apakah Anda benar-benar meresapi arti kalimatnya, atau hanya karena ingin membuat pasangan Anda bahagia, atau sekedar tersenyum saja? Atau mungkin terucap karena Anda ingin mendengar dia mengucapkan kalimat "I love you, too"?

Saya ingat pertama kali mengucapkan tiga kata itu pertama kali pada B. Tidak ada ungkapan kasih sayang terbalas dari mulutnya. Tidak apa-apa, karena saat itu saya benar-benar merasa jatuh cinta. Satu hal yang jarang sekali terjadi dalam hidup saya. Malam itu kami hanya berdua di kamarnya, baru selesai berciuman mesra. Tanpa senggama. Tidak apa-apa, karena memang belum saatnya. Baru dua minggu dia lepas dari mantan kekasihnya. Tapi sungguh, getaran di antara kami benar-benar terasa. Saya yakin dia juga merasakan hal yang sama. Pasti. Dan saya merasa tidak perlu ada kata-kata "apakah kamu jadi pacar saya?" karena saya tahu dia tidak membutuhkannya.

Sedari awal kami saling mengenal, B sudah memberi peringatan, "Saya tidak mau terburu-buru." Amat wajar untuk perempuan yang baru saja berusaha merapikan serpihan hatinya yang berantakan. Ketika akhirnya malam itu mulut saya berucap "I love you", dia hanya membalas "pelan-pelan aja ya". Lalu kami berciuman lagi. Kali ini lebih pelan. Dan lembut.

Sekitar seminggu setelah itu, saya mendapat balasan juga darinya. Bukan "I love you, too" atau "I love you more" seperti yang wajar diucapkan untuk membalas tiga kata itu. B hanya meraih tangan saya, dan meletakkan duplikat kunci kamarnya dalam genggaman saya. Saya tersenyum lalu berkata, "Emang kamu udah yakin?" Dia mengangguk. Lalu kami bercinta. Bukan yang pertama kali, memang. Tapi mungkin yang paling penuh ungkapan rasa. Ah, saya mulai terdengar seperti perempuan.

Sejak hari itu saya tidak pernah luput mengucap "I love you" setiap hari untuknya. Sekedar untuk mengingatkan dia bahwa saya tidak main-main.


B

Setiap hari A bilang "I love you" sama saya. Tapi saya tidak pernah bosan dan tidak pernah merasa itu berlebihan. Kamu tahu, pacar saya yang dulu jarang sekali bilang tiga kata itu. Katanya, "Jangan diumbar, dirasain aja." Tapi kan saya perempuan, dan kalau kamu juga perempuan mungkin kamu juga merasa bahwa ungkapan kata-kata itu dari mulut laki-laki adalah salah satu kebutuhan.

Kadang saya balas A dengan bilang "I love you, too". Kadang juga dengan "I love you more". Atau kadang tidak saya balas sama sekali, hanya saya cium saja. Dan dia tidak mengeluh, tidak minta saya balas ucapannya dengan kata-kata cinta juga. Porsi satu kali sehari dapat "I love you" dari A sudah cukup membuat saya merasa tenang.


A

Terlalu sering mengucapkan "I love you" dapat membuat kalimat itu kehilangan maknanya. Saya tidak ingin itu terjadi. Walaupun selalu terucap dari hati, tetapi urusan makna tetap ditentukan oleh si penerima. Oleh karena itu saya mencoba kata-kata baru untuk menungkapkan kasih sayang saya. Tinggal disesuaikan dengan kondisi dan posisinya.

Saat woman on top saya berkata, "Gila, ini baru istri gua."

Saat doggie style saya berbisik di telinganya, "Aku sayang banget sama kamu."

Saat misionaris saya menatap matanya dan berkata, "Jangan pernah tinggalin aku, ya."

Saat lemari baju berderik-derik menahan posisi kami yang berdiri, saya berucap, "I love you so much, Baby." Lalu saya gigit lehernya.

Saya tidak akan pernah berhenti berinovasi.

Terakhir, tadi malam kami tidur berdampingan. Saya gandeng tangannya lalu berkata, "Aku cinta mati sama kamu."


B

"Aku cinta mati sama kamu" tentu jauh lebih bermakna dari "I love you". Tidak jadi tidur, saya melayaninya untuk ronde ke-dua.