Minggu, 16 Mei 2010

Tidur, Dia

A

Saya merasa nyaman ketika dia tidur di sebelah saya. Merasa lengkap ketika saya berhasil memuaskannya. Merasa genap bila membuatnya tertidur letih setelah melepaskan nafsunya. Saya menjadi lelaki yang paling bahagia.

Saya cinta dia, pasangan hidup saya. Saya tahu dia juga memelihara rasa yang sama. Dan salah satu bentuk penyerahan dirinya adalah dengan tidak pernah menolak melayani saya. Saya sungguh lelaki yang paling bahagia.

Bahkan ketika dia sudah memasuki alam bawah sadarnya, bila saya membisikkan fantasi saya, dia akan kembali membuka matanya dan melayani dengan sisa-sisa tenaga. Katanya, "Kamu jauh lebih berharga dari lelaki manapun yang pernah hadir dalam mimpi aku. Karena kamu nyata."


B

Saya mengagungkan waktu ketika dia terlelap dalam tidurnya. Bukan karena saya tidak suka menghabiskan waktu dengannya saat dia terjaga, tetapi karena saat dengkurnya halus menyapa telinga saya, dia benar-benar dalam keadaan tidak berdaya.

Saya suka menyentuh kepalanya yang tergolek di atas bantal besarung biru muda. Membiarkan helai-helai rambut hitamnya menyelusup di sela-sela jemari saya. Lalu membelai-belai dada dan perutnya. Saya sungguh tergila-gila.

Dan bila semuanya itu saya lakukan ketika dia sedang terjaga (atau setengah terlena karena substansi yang mempermainkan otaknya), pasti dia menyangka saya sedang mengajaknya bermain cinta. Tapi tidak sekarang. Tidak saat nafasnya teratur berirama ketika dia menikmati mimpinya. Dia sungguh tidak berdaya. Ketika saya mengendus tiap senti kulit cokelatnya, dia tak bisa berbuat apa-apa.

Tapi kadang-kadang dia terjaga juga. Tanpa membuka matanya, dia akan membalikkan tubuhnya kemudian memeluk saya. Lalu biasanya saya akan balas memeluk dia. Bertahan sebentar sampai merasa gerah, lalu memalingkan badan dan membiarkan dia menyenderkan kepalanya di punggung saya.