Kamis, 30 September 2010

Satu Puisi Satu Hari: #3 Selampai

Perempuan menyibak tirai jendela. “Silakan masuk,” ucapnya pada cahaya pagi yang merona, secerah harapannya. Semalam ia menyulam nama lelaki di selampai jingga. Siang nanti Sang Lelaki berjanji datang, jauh-jauh dari kota di seberang.

Perempuan merajang bawang, menguras air matanya. “Supaya habis,” katanya, “dan tidak lagi bisa menangis.” Tak ingin Sang Lelaki melihat pilu di kedua mata. Bila ia datang akan disambut dengan canda yang mesra, hanya boleh melihatnya tertawa.

Perempuan menyiapkan makan siang, dan sirop dingin untuk mengusir dahaga. Sebentar lagi lelakinya datang, ia berjaga-jaga. Masih ingat ia, waktu Sang Lelaki masih memeluknya penuh cinta. Tak mau lepas tidur di sebelahnya. Bertahun-tahun berlalu, sampai terakhir melepasnya di dermaga.

Perempuan sumringah menyambut di beranda. Sang Lelaki sudah tiba, kuyup terbakar terik surya. Disapunya peluh dengan selampai jingga. “Kamu pasti lelah sekali. Mari masuk, Nak. Ibu sudah siapkan makanan kesukaanmu,” katanya.

Rabu, 29 September 2010

Satu Puisi Satu Hari: #2 Pintu

Pintu kamarku. Seronoknya berwarna biru. Jadi penjaga rahasia nomor satu. Kukuhnya menyekat sisi ini dan itu.

Menunggu jodoh, ia. Anak kunci yang menyusuk lubangnya. Tanpa daya membebaskan tuasnya menguak cerita.

Pernahkah engkau mendengar cerita hidup pintu? Pintu kamar selingkuhanmu, pintu rumah orang tuamu, pintu toilet kekasihmu, pintu lemari baju objek seksualmu? Pintu yang menunggu diketuk rasa ingin tahu.

Pintu kamar kugerendel dari dalam. Malam ini engkau boleh mampir, tapi jangan bermalam. Ada bait yang kusimpan diam-diam.

Selasa, 28 September 2010

Satu Puisi Satu Hari: #1 Hujan

Aku cemburu pada hujan yang mencumbu jalanan
ciumannya bertubi-tubi dan beranak genangan.
Ranting pohon belimbing pun berbagi welas asih
dari daunnya tercurah benih-benih.
Salam pada rintik yang terjun penuh gairah
beriring guntur ia bertandang dengan gagah.
Menagih mesra seperti tiada hari esok
bermanja-manjaan sampai langit bersih elok.

Lalu aku iri pada hujan yang bermukah dengan baskara
hangat peluknya beranak warna-warni bianglala.

Senin, 20 September 2010

Lebih Dalam Tentang Pakaian Dalam

A

Saya suka melihat B memakai baju pilihan saya. Walaupun akhirnya waktu mau menikmati tubuhnya, bajunya kadang harus dibuka juga. Baju bisa jadi awal segalanya. Potongan tertentu bisa langsung memancing 'adik' saya berdiri. Namanya juga laki-laki.

Selain baju, pakaian dalam juga tentunya penting. Bentuk dan fungsinya harus bisa membuat lekuk perempuan terlihat semakin menggoda, tidak peduli harganya berapa, merknya apa, dan belinya di mana. Namanya juga lingerie.

Mari berbicara lebih dalam tentang pakaian dalam. Kado terakhir B untuk saya adalah sepasang bra dan panty merah muda yang dibelinya diam-diam dan dipakainya dengan elegan. Saya jatuh cinta untuk kesekian kalinya. Menyetubuhinya malam itu, tidak perlu melepas si merah muda renda-renda. Namanya juga tergila-gila.

Kali lain, B memakai celana dalam sekali pakai yang dibelinya di toko serba ada. Katanya, "Masih sisa dari kemarin ke Bali. Sayang kalau ngga dipake." Bentuknya memang tidak terlalu menggoda. Tapi fungsinya yang sementara membuatnya rapuh dan gampang saya robek-robek untuk permainan cinta yang liar. Namanya juga variasi.

Di kesempatan lain lagi, B mencoba memakai boxer hitam saya. Sambil berkaca, ia tertawa-tawa. "Lucu ya," katanya. Dilepasnya kancing di bagian depan celana, dan dijulurkannya jari tengahnya keluar dari celahnya. "Lihat, aku juga punya t*t*t!" serunya sambil terbahak-bahak. Kami tidak jadi bercinta karena lelahnya tertawa. Namanya juga coba-coba.

Sabtu, 18 September 2010

Perempuan Pura-Pura

Perempuan menyimpan cerita, polahnya bagai tak kenal derita. Bersolek ia tutupi jejak air mata, bulir keringatnya memeram cinta.

Wahai jejaka nan jumawa, tengoklah perempuan di jendela. Tepekur ia lamunkan asmara, menunggu dijemput Sang Ksatria.

Jumat, 17 September 2010

I Love You (?)

A

Seberapa sering Anda mengucapkan "I love you" kepada orang yang Anda sayangi? Ketika mengucapkannya apakah Anda benar-benar meresapi arti kalimatnya, atau hanya karena ingin membuat pasangan Anda bahagia, atau sekedar tersenyum saja? Atau mungkin terucap karena Anda ingin mendengar dia mengucapkan kalimat "I love you, too"?

Saya ingat pertama kali mengucapkan tiga kata itu pertama kali pada B. Tidak ada ungkapan kasih sayang terbalas dari mulutnya. Tidak apa-apa, karena saat itu saya benar-benar merasa jatuh cinta. Satu hal yang jarang sekali terjadi dalam hidup saya. Malam itu kami hanya berdua di kamarnya, baru selesai berciuman mesra. Tanpa senggama. Tidak apa-apa, karena memang belum saatnya. Baru dua minggu dia lepas dari mantan kekasihnya. Tapi sungguh, getaran di antara kami benar-benar terasa. Saya yakin dia juga merasakan hal yang sama. Pasti. Dan saya merasa tidak perlu ada kata-kata "apakah kamu jadi pacar saya?" karena saya tahu dia tidak membutuhkannya.

Sedari awal kami saling mengenal, B sudah memberi peringatan, "Saya tidak mau terburu-buru." Amat wajar untuk perempuan yang baru saja berusaha merapikan serpihan hatinya yang berantakan. Ketika akhirnya malam itu mulut saya berucap "I love you", dia hanya membalas "pelan-pelan aja ya". Lalu kami berciuman lagi. Kali ini lebih pelan. Dan lembut.

Sekitar seminggu setelah itu, saya mendapat balasan juga darinya. Bukan "I love you, too" atau "I love you more" seperti yang wajar diucapkan untuk membalas tiga kata itu. B hanya meraih tangan saya, dan meletakkan duplikat kunci kamarnya dalam genggaman saya. Saya tersenyum lalu berkata, "Emang kamu udah yakin?" Dia mengangguk. Lalu kami bercinta. Bukan yang pertama kali, memang. Tapi mungkin yang paling penuh ungkapan rasa. Ah, saya mulai terdengar seperti perempuan.

Sejak hari itu saya tidak pernah luput mengucap "I love you" setiap hari untuknya. Sekedar untuk mengingatkan dia bahwa saya tidak main-main.


B

Setiap hari A bilang "I love you" sama saya. Tapi saya tidak pernah bosan dan tidak pernah merasa itu berlebihan. Kamu tahu, pacar saya yang dulu jarang sekali bilang tiga kata itu. Katanya, "Jangan diumbar, dirasain aja." Tapi kan saya perempuan, dan kalau kamu juga perempuan mungkin kamu juga merasa bahwa ungkapan kata-kata itu dari mulut laki-laki adalah salah satu kebutuhan.

Kadang saya balas A dengan bilang "I love you, too". Kadang juga dengan "I love you more". Atau kadang tidak saya balas sama sekali, hanya saya cium saja. Dan dia tidak mengeluh, tidak minta saya balas ucapannya dengan kata-kata cinta juga. Porsi satu kali sehari dapat "I love you" dari A sudah cukup membuat saya merasa tenang.


A

Terlalu sering mengucapkan "I love you" dapat membuat kalimat itu kehilangan maknanya. Saya tidak ingin itu terjadi. Walaupun selalu terucap dari hati, tetapi urusan makna tetap ditentukan oleh si penerima. Oleh karena itu saya mencoba kata-kata baru untuk menungkapkan kasih sayang saya. Tinggal disesuaikan dengan kondisi dan posisinya.

Saat woman on top saya berkata, "Gila, ini baru istri gua."

Saat doggie style saya berbisik di telinganya, "Aku sayang banget sama kamu."

Saat misionaris saya menatap matanya dan berkata, "Jangan pernah tinggalin aku, ya."

Saat lemari baju berderik-derik menahan posisi kami yang berdiri, saya berucap, "I love you so much, Baby." Lalu saya gigit lehernya.

Saya tidak akan pernah berhenti berinovasi.

Terakhir, tadi malam kami tidur berdampingan. Saya gandeng tangannya lalu berkata, "Aku cinta mati sama kamu."


B

"Aku cinta mati sama kamu" tentu jauh lebih bermakna dari "I love you". Tidak jadi tidur, saya melayaninya untuk ronde ke-dua.

Rabu, 15 September 2010

Ranjang Baru

B


Sayang, sudah saatnya meninggalkan ranjang yang lama, yang sudah setia memapah tubuh-tubuh manja tiga tahun lamanya.

Saya menelanjangi kasur itu dari seprai biru. Sudah banyak keringat terserap di situ. Teman-teman sejati, yang perempuan dan laki-laki. Teman-teman tidur, yang masih bisa dihitung sebelah tangan dengan jari. Ya, saya tidak semurah itu. Tidak semua pemuas nafsu boleh memajang kelaminnya di situ.

Kalau saja pandangan manusia mikroskopis, pasti terlihat nyata di sela-sela jahitan kasurnya: kutu ranjang menggerogoti serpihan-serpihan sel kulit kamu dan saya. Berpesta dari ampas gesekan kita tiap malam.

Ya, sudah saatnya mencari alas tidur baru, di tempat yang baru, di mana hanya ada kenangan kita berdua di situ. Bersih dari bayangan mantan-mantan kekasih yang masih gentayangan . Tempat baru yang tanpa dihantui masa lalu.

Ranjang lama ditinggalkan, pintu dikunci dari luar, lalu seprai biru dicuci dulu.


***


Sayang, mencari ranjang baru ternyata tidak semudah melinting ganja, yang tinggal diambil sejumput, diberi buntut, lalu digulung dan diberi kuncung. Lihat, kita sudah berkeliling berapa toko untuk mencari ranjang sesuai selera. Mana yang paling sesuai jadi tempat berbagi cinta dan berahi kita? Perlu berkelana kemana lagi untuk cari yang sesuai pilihan hati?

"Sayang, aku udah capek berkelana," katamu dua tahun lalu, ketika kamu menetapkan pendamping hidupmu: aku. "Aku gak mau lagi perempuan-perempuan lain, cuma kamu aja, istriku," jelasmu. Saat itu kita berjanji untuk berpetualang bersama, keliling dunia, berkasih sayang berdua di mana saja.


***


Jadi sekarang di sinilah kita, Sayang. Di atas kasur isi angin yang bisa kita bawa berkeliling dari benua ke benua. Ke mana saja. Pada waktunya nanti kita berpindah kota lagi, kasur ini akan terus menemani.

"Enak gak, Sayang?" tanyamu sambil membelai ubun-ubun kepalaku.

"Seksnya atau ranjangnya?" saya minta pertanyaan diperjelas. Karena ini pertama kali kita mencoba si kasur baru.

"Dua-duanya," jawabmu.

"Seksnya tidak pernah tidak enak. Kasurnya ternyata cukup enak."

"Iya, enak ya. Gak berisik."

"Maksudnya yang ngga berisik aku apa kasurnya?"

"Hahahah kasurnya. Kamu berisik sedikit. Tapi aku suka."

Saya tersenyum lalu membelai kasur baru yang berbaju seprai biru.

"Semoga aja kasurnya cukup tahan lama digenjot terus sama kita," katamu sebelum tidur.

Selasa, 14 September 2010

Angka Untuk Saya

B


Kemarin saya berulang tahun yang ke-sekian. Tak perlu lah menyebut angka. Karena toh dalam hati saya selalu merasa hanya sedikit lebih tua dari remaja. Lagipula, menanyakan perempuan berapa umurnya sama saja seperti menanyakan berapa berat badannya. Jawaban yang akan kamu dapat belum tentu yang sejujurnya.

Saya memang tidak berharap dapat kado apa-apa dari A, tapi tetap saja ingin diperlakukan istimewa. Tadi malam saat kami bercengkrama tertawa-tawa, tiba-tiba dia berbisik, “Aku kasih kado buat kamu sepuluh permintaan.” “Asiik!” jawab saya spontan.

“Eh tunggu, tunggu..”

“Ngga bisa! Sepuluh! Udah kesebut!”

Mukanya lucu serba salah, merasa terburu-buru menyebut angka teralu besar. “Hahaha,” merasa menang, saya tertawa.

“OK, permintaan pertama!” bibir saya tersenyum lebar sekali saat mengucapkan kalimat ini, “Besok ikut aku ke rumah Mama.”

Mukanya makin lucu. Mama itu ibu saya. Dia bukannya tak suka pada Beliau yang melahirkan saya itu, tapi yah, bisa dibilang Mama bukanlah orang paling mudah yang pernah kautemui. Apalagi kepada pasangan anak-anaknya. Tapi ketika kita merasakan cinta tanpa syarat, hal itu bukanlah hambatan bukan? Dan A sebetulnya punya caranya sendiri menghadapi Mama, terutama di depan saya.

Pernah satu saat A melihat saya yang sedang menggigit permen kenyal rasa mangga dengan asiknya. Sepertinya saya terlihat menikmati sekali, sampai dia meminta satu bungkus yang belum saya buka. “Enak banget kelihatannya,” kata A sambil membuka bungkus permen. “Iya, ini dari Mama,” kata saya di saat yang sama permen itu masuk mulutnya. Dia langsung urung mengunyah permen mangga. “Pantas rasanya pahit,” katanya. Saya tertawa.

Baiklah, lanjut ke permintaan ke-dua. “Siap-siap ya Sayang,” kata saya menggoda. “Apa sih? Aduuh..” mukanya kuatir tapi tetap lucu. “Pijetin aku. Se-lu-ruh-ba-dan.” Saya tahu ini akan jadi permintaan yang menyenangkan untuk saya dan kurang berkenan untuknya. Sepanjang dua tahun kami bersama, semangatnya melemaskan otot-otot saya hanya di minggu pertama. Sisanya? Hanya pijat basa-basi atau pengantar sebelum ronde utama. Jadi malam ini saya minta badan pegal saya dilayani jemari, telapak , genggaman, bahkan siku tangan lelaki sang pujaan hati.

“Yaaah,” dia menghela nafas tapi tetap menurut mengambil body lotion favorit saya yang wangi cokelat. Pijatannya mulai merambah punggung saya. Karena memijat sambil nonton Fashion TV, kadang pijatannya berhenti ketika model kesukaannya tampil di layar televisi. “Heh!” hentak saya setiap gerakan tangannya berhenti. Dia lalu akan mulai memijat lagi sesuai arahan saya. “Ke bawah dikit, yak. Kebanyakan. Atas lagi. Kiri dikit. Nah,” begitu aba-aba si perempuan yang baru tambah usia ini.

“Udah,” serunya sambil menutup kembali botol body lotion. “Eits, kan aku bilang seluruh badan. Tangan belum. Kaki belum,” ujar saya sambil masih tengkurap. Tidak perlu membalik badan untuk tahu raut wajahnya masam. Saya terkekeh dalam hati. Tanpa belas kasihan.

Kali ini pijatannya lumayan, saya sampai terkantuk-kantuk, bahkan sampai pura-pura pulas ketika dia minta balik dilayani. “Hmmh, ngantuk,” kata saya dengan suara berat berbumbu serak, “Sayang tolong matiin dong tivinya, aku mau bobo.”

“Apa Sayang? Matiin tivi?”

“Iya,” kata saya setengah kesal.

“Oke, itu permintaan ke-tiga ya,” serunya dengan penuh nada kemenangan.

“Eh!” saya membuka mata kembali.

“Ngga bisa, udah kesebut!” Mukanya menggemaskan sekali.

Saya terjebak. Sejak itu, sampai detik ini, saya masih hati-hati meminta tolong padanya. Takut dia ingat kado ulang tahun itu dan memotong jatah saya.

Sepertinya kamu sudah bisa menebak siapa yang tadi malam tidur dengan senyum paling lebar. Angka hutangnya berkurang hanya dengan menekan tombol televisi.