Senin, 29 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #63 Bersenang-senang di Ranjang

Mari menyusup di atas ranjang, masih cukup ruang.
Selimut ini terlalu lebar untuk dipakai sendiri. Mubazir nanti.

Liangku selalu menunggu dijelajahi kejantananmu.
Sekujur badan sudah berserah untuk dijajah tanpa ragu.

Mari bercinta lalu tidur berdampingan sampai fajar menerang.
Aku ingin kamu jadi yang pertama ucapkan selamat pagi, Sayang.

Satu Puisi Satu Hari: #62 Selamat Menikmati

Membaca, seperti menyantap makanan, itu sesuai selera.
Saya hanya koki kata-kata yang suka bermain rempah nafsu. Masih belajar pula.
Suap, kulum, telan, biarkan kalimat lewati kerongkongan.
Biarkan gizinya mengarungi urat malumu dan berikan kenikmatan.

Satu Puisi Satu Hari: #61 Mimpi Basah

Embun sudah mengecup pucuk daun
tapi Bidadari masih enggan bangun,
masih ingin larut dalam mimpi semalam
tentang rindu yang menahun.
Terasa nyata saat digauli tubuhnya nan resah
oleh sentuhan basah penuh gairah
dari lelaki yang menancapkan tombak tajam
dalam hingga mandi darah.
Alangkah sulit melupakan
ketika justru dipertemukan
dalam angan-angan yang justru enggan dibuang,
hingga rancu tersimpan.
Semakin sulit sayap terbang menghindari,
semakin terbakar lelaki mencari-cari.
Tak perlu mengatup selangkangan,
Bidadari, nanti ia jua lelah sendiri.

Satu Puisi Satu Hari: #60 Teman

Kamar beku masih terlalu dingin, sama seperti dulu.
Kita jadi daging yang disimpan, diawetkan untuk disajikan.
Percakaan dengan uap yang terhembus dari terucapnya kehangatan
jadi perekat persahabatan, jadi bedil berpeluru.
Kita masih berperang melawan masa lalu. Sampai nanti, sampai mati, teman.
Sejak kita dikuliti sampai waktunya daging tercacah di atas talenan
lalu mendidih dalam panci di atas bara.
Kau dan aku tetap saudara.

Jumat, 26 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #59 Memaafkan Bukan Melupakan

Minggu lalu saya tersentil oleh masa kecil
Ketika masih belum malu-malu mengupil
Mencoba mengorek memori yang menyempil
Tentang perlakuan-perlakuan tidak adil
Ke mana mereka yang dulu semena-mena
Yang dulu tertawa di atas siksa
Lihatkah mereka sekarang jadi apa
Dan siapa yang terbahak akhirnya
Dari kita yang sempat tertindas
Yang sekarang jadi kuat jadi keras
Berterimakasih dijejal pedas
Sudah terangkat derajat ke atas

Kamis, 25 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #58 Benih-Buah

Upik terbuang merasa terabaikan. Malu.
Ternilai di bawah candu-candu bermadu.
Peduli setan dengan mata sayu.
Tenggat pun terlewat, upik terlambat menurut waktu.
Ia bukan lagi seorang satu.
Padahal inginnya kejujuran dahulu.
Walau setajam sembilu, tapi tak menyimpan bangkai berbau.
Mempersilakannya menyemai rasa percaya, menyiraminya dengan berbagi bersama, dipupuki waktu sendiri-sendiri. Menunggu bunga gelebah lalu berbuah.
Upik ingin memetik setia.

Selasa, 23 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #57 Proses

Puisiku pakai kalimat panjang-panjang karena ditulis sambil menyeruput mi instan. Ini baru kenikmatan makanan, disantap pada momen tepat sendirian.

Bukan tak ingin berbagi, tapi porsinya memang hanya segini. Kucingku pun di bawah meja menatap penuh iri. Maaf ya Pus, kamu harus belajar tahu diri.

Satu saat nanti kalau sudah mahir mamasak yang lain, saya berjanji akan meramu puisi penuh bumbu dan kaya cita rasa. Lengkuas, kemiri, bahkan daun ganja akan pesta pora dalam wajan dan terlukiskan dalam tulisan, seperti mengawinkan resep dengan prosa.

Tetapi itu masih lama akan terjadi, jangan menahan nafas menunggu prosesnya. Mangkuk di depan mata masih berusaha saya bikin licin, dan sebentar lagi harus minum obat sakit kepala. Karena mi instan walau enak namun terlalu banyak penyedap rasa, ya, yang cepat saji memang kurang baik biasanya.

Satu Puisi Satu Hari: #56 Setelah Reda

Langit patah hati karena gerhana siang tadi.
Ia menangis deras, keras sekali.
Curahnya bagai tanpa letih teteskan pedih.
Meremas awan sampai pipih. Sampai bersih.
Berhenti menyesali diri yang terjatuh lagi.
Separuh kesalahan milik mereka yang menyakiti.
Sandarkan lelah pada pilar-pilar guntur,
wahai kalian yang terluka goresan asa.
Sebentar lagi kelabu akan luntur
menenung pundi-pundi di kaki pelangi sudut Utara.
Biarkan, biarkan yang lajak berdusta
tertimbun sendiri oleh jamaknya tipu daya.
Buang-buang waktu menunggu sesal mereka.
Permohonan maaf itu layak diniatkan, bukan diharapkan. Seharusnya.

Senin, 22 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #55 Ilmu

Ajarkan padaku caranya membuka jendela untuk maaf dan membersihkan gudang untuk melupakan.
Sementara kuajari kamu caranya memberi tanpa meminta atas nama tulusnya perasaan.
Mari saling berbagi ilmu manajemen hati.

Kenalkan, Ini Teman Saya SITTI

Ini bukan #SajaXXX atau #FiksiPendeXXX seperti yang biasa saya tulis di sini. Tapi tak kalah istimewa, ini adalah titik terang bagi blogger seperti saya. Blogger? Ah, menyebut diri sebagai blogger saja sebenarnya saya masih malu-malu. Karena masih merasa sebagai pemain baru. Mulai bikin blog saja baru Februari lalu. Belum setahun.

Saya suka bermain kata-kata. Menulis dan bermain diksi saat siaran adalah manifestasinya. Saya cinta Bahasa Indonesia. Kosakata dan metafora yang bisa tercipta membuat saya tergila-gila. Kamu boleh cek rapor saya, sejak SD nilai pelajaran Bahasa Indonesia saya hampir selalu 9. Paling rendah 8. Itu juga kalau dapat guru yang pelit. (Silakan isi tawa Anda di jeda ini bila bersedia).

Di saat profesi menuntut saya untuk menulis dan/atau menyusun kata-kata sesuai pesanan dan keinginan orang yang mempekerjaan saya, blog menjadi oase tempat saya menghilangkan dahaga akan pengekspresian diri secara kreatif. Semua dalam Bahasa Indonesia. Ya, saya ingin sekali satu saat nanti bisa menerbitkan buku antologi puisi atau cerita pendek. Tapi sebelum itu semua terjadi, menulis di blog adalah cara untuk cek ombak paling efektif. Inilah yang kemudian mengantar saya berkenalan dengan SITTI.

Datuk Maringgih, dan juga kamu, mungkin sebentar lagi akan ikut jatuh cinta dengan SITTI yang ini. SITTI, sebuah pelantar iklan kontekstual berbahasa Indonesia. Saya ini peduli detil. Termasuk dalam menjalankan blog. Kalau bisa, saya akan menghindari pemasangan iklan yang tidak sesuai dengan konteks tulisan saya. Boleh kan, saya (sedikit) jual mahal? Di sinilah SITTI menjadi jawabannya.

Andi Sjarif, CEO SITTI, menulis ini di blog-nya:
Untuk yang punya hobby nulis blog atau punya situs sendiri, SITTI bisa membuat hobby Anda menjadi sumber pendapatan. SITTI adalah jembatan. Indonesia memiliki lebih dari 2 juta blogger. Mayoritas menulis secara kreatif sebagai hobby. Bukan profesi. Kenapa? Karena belum ada metode yang secara efektif dapat membuat tulisan mereka menjadi sumber pendapatan. SITTI bisa menjadi jembatan untuk ini. SITTI adalah juga sebuah mesin. Mesin yang telah disekolahkan. Dengan kemampuan ini, SITTI menjadi “biro jodoh” para pengiklan dan para pemilik situs.

Belum selesai sampai di situ, beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 12 November kemarin, SITTI sempat membuat heboh timeline twitter dengan berita tentang penulisan tentang SITTI di TechCrunch, sebuah media publikasi teknologi, bisnis dan media paling berpengaruh di dunia. Makin berbesar hati saya tumbuh dan belajar bersama SITTI. Menulis di blog akan selalu menjadi pelampiasan yang menguntungkan dengan menjadi kanvas iklan SITTI. Kamu juga mau? Coba klik www.belajarsitti.com. Kalau mau lihat tampilannya seperti apa, di blog ini ada di kolom kiri paling bawah dengan judul “Rekomendasi Sambil Telentang”.

Ya, tulisan saya kali ini memang bukan literatur di atas ranjang seperti yang biasa saya pajang di blog ini. Tetapi ini juga salah satu bentuk pengekspresian perasaan cinta Bahasa Indonesia dan bangga menjadi SITTIzen.

Sabtu, 20 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #54 Pulang

Perasaan yang menenangkan adalah selalu punya tempat untuk pulang, kemanapun sudah bertualang.

Pulang adalah: ke pangkuan ibuku; ke pelukan kekasihku; ke lindungan kakakku; ke rangkulan sahabatku.

Pulang adalah: menuju pintu yang selalu terbuka untukku.

Pulang adalah: kepada mereka yang miliki hatiku.

Pulang adalah: ke tempat paling nyaman menulis puisi.

Resep rindu pulang: merasa paling disayang.

Satu Puisi Satu Hari: #53 Juara

Percuma merasa bersaing
dengan cerita lama kekasihmu,
sebab kamu sudah menang
waktu dirimu (bukan dia) menjadi pilihan terakhir.

Sia-sia juga merasa bersaing
dengan pilihan terakhir cerita lama
sebab kamu pun pemenang
dibanding ia yang (hanya) mengais ampasmu.

Ingat! Kamu sungguh berharga dan selalu jadi juaranya!

(Untuk perempuan-perempuan di bait pertama dan ke-dua.)

Satu Puisi Satu Hari: #52 Hei-Ha

Hei, Pemuda!
Hanya mau menyapa saja.
Sebentar lagi kamu akan enggan melayani gadis manja.
Dan saya?
Saya akan menepuk pundakmu dan berkata:
Ha. Ha. Ha.

Satu Puisi Satu Hari: #51 Melepas



Sayang, bersimpuhlah.
Namun aku takkan lagi bisa menjadi bidadarimu.
Ya, menangislah.
Lalu aku akan selalu menjadi duri yang melukai.

Jadi, benderanglah!
Atau kau takkan pernah tahu seterang apa sinarmu.
Dan terbanglah.
Lalu kau akan paham sekecil apa aku di bawah sini.

Satu Puisi Satu Hari: #50 Gadis Sampah

Ia cakap melanturkan perhatian
Memajang kegadisannya yang merekah
Menggoda lelaki bersedekah
Atau sekedar beli murah

Ia memilin belas kasihan
Menelan mentah-mentah keluh kesah
Memuntahkan bulat-bulat sumpah serapah
“Dasar sampah!”

Ia senang bersembunyi dari terang
Merancap sampai mengerang
Manipulasi rasa terbuang
Air mukanya melukis seringai

Rabu, 17 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #49 Bali

Selamat jumpa, Laut Masin!

Izinkan kawan lama ini mampir sejenak di bibirmu,
bersama tubuh-tubuh lain yang bergelimpangan di situ
jadi saksi engkau meminang Langit di batas cakrawala.
Cantiknya ia merona waktu senja tiba – waktu Baskara menjejakkan kaki merahnya.
Sementara kita, manusia, merasa terik menjalar perlahan di bawah kulit yang melegam.
Ya, sebentar lagi malam menghitam.
Tubuh-tubuh berpeluh rindu ini kelak akan pulang.
Tidak akan pernah ada selamat tinggal, karena selamanya kami akan kembali datang.

Sampai jumpa esok, Laut Masin!


Satu Puisi Satu Hari: #48 Baterai


bagaimana ini
hidup bertuhan baterai
harus selalu terisi
harus selalu bertenaga
ketergantungan pada layar
terlalu akrab dengan alat
biarpun sebenarnya bukan darurat
bagaimana ini
hidup memakan baterai
mati tanpa energi

Minggu, 14 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #47 Mati Lampu

mati lampu itu bikin ketakutan jadi menyala
maksudnya?
muncul ngeri akan sunyi, akan suara yang selanjutnya hendak bunyi
was-was dan mudah dikageti

sebab kegelapan berkawan erat dengan keheningan
mati listrik – mati lampu – mati benda elektronik
yang bersuara hanya malam dan penghuninya
(misalnya jangkrik)

tetapi manusia yang mati gaya begini yang bikin kecut hati
lupa cara berbicara malah jadi saling menakut-nakuti
khawatir justru jadi saling menyakiti
ya, bila hanya ada kita dikepung sepi, jadi lupa cara berkomunikasi

dibantu cahaya lilin, samar-samar masih terlihat raut muka
ingin berkata:
sepertinya mati lampu masih lama
mari kita tidur saja

Jumat, 12 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #46 Marah

Masih perlu bertanya kenapa saya mangkir dari mimpimu malam tadi? Kamu pikir-pikir saja sendiri.
Jangan buat saya berucap apa-apa. Mulut ini jadi pabrik makian begitu katupnya terbuka.
Masih mau konfirmasi jadi pergi atau tidak? Kamu pikir saya masih mau pesiar kalau suasana hati rusak?
Terima kasih sudah buat saya gusar. Ungkit-ungkit yang sudah telantar itu kesalahan besar!
Pintu maaf sedang digembok. Sabar saja. Kembali ketuk lagi besok.

Satu Puisi Satu Hari: #45 Habis

Seperti kemarin-kemarin,
kembali mereka duduk berdampingan.
Kotak dengan sinar katoda itu di hadapan.
Cahayanya memantul di bola-bola mata.
Namun benak mereka tidak di sana.
Memecah dingin, bercakap-cakap
merangkum malam sebelum lelap.
Berbagi cemas akan pilihan hidup
dua perempuan yang bintangnya kian redup.

“Benarkah semua punya tanggal kedaluarsa?”
 

“Ya, mungkin saja. Kamu dan dia. Kamu dan saya.”
 

“Yang berawal manis jadi tawar?”
 

“Ya, jatuh tempo. Jadi pencahar.”

Beberapa menit lewat tengah malam mereka berpisah.
Doa sebelum tidur terdengar dari masing-masing kamar.
“Semoga tidak pernah berpisah.”
“Semoga diberi kekuatan bila perasaan sudah habis benar.”

Rabu, 10 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #44 Pujangga-Koki

Saya ingin kenal koki yang bisa berpuisi.
Saya ingin baca indahnya perkenalan bumbu itu dan ini
yang dinikahkan oleh air liur nanti.

Saya tidak bisa masak. Menarik hati lelaki bukan dari perutnya
tapi beberapa senti lagi di bawahnya.
Berpuisi begitu juga.

Ajari saya memasak dan berpuisi,
wahai Pujangga-Koki.

Pinokio XXX

Ini sebuah pertanyaan untuk seorang pecandu hubungan seksual [kamu].

Ya, kamu. Entah candu membaca, candu mendengar, candu menyaksikan, atau candu melakukan. Ya, tidak usah malu, angkatlah tanganmu, karena tidak ada yang melihat kecuali Tuhanmu. Bahkan aku pun tidak. Kecuali kaunyalakan webcam-mu dan kaubiarkan aku mengintip kamarmu yang remang-remang.

Mari kuceritakan tentang kekasih baruku, Pinokio XXX.

Alih-alih hidung, burungnya yang tambah panjang semakin banyak ia berbohong. Pinokio XXX menjadi sombong. Semakin suka bohong. Ia merasa digilai. Perempuan mana yang menolak burung panjang? [Kamu?]

Oh, tidak usah malu-malu kalau kamu suka yang tidak panjang. Mungkin suka sesama lubang. Aku tidak keberatan apa lagi menghakimi pilihan teman tidurmu, Teman. Tetapi Pinokio XXX tidak peduli. Ia hanya mau perempuan yang suka memberi makan kebanggaannya yang semakin lama semakin besar, eh, panjang.

Pertanyaanku hanya satu. Bagaimana bila Pinokio ini kekasihmu?

Apakah kamu akan menyoraki dan mendukungnya berbohong terus? Di satu sisi ranjang kamu akan beroleh kepuasan. Di sisi lainnya kejujuran jadi tidak menyenangkan.

Apakah kamu akan pergi dan berharap ketemu pangeran lain dalam mimpi? Ia mungkin tampan, tapi belum tentu memuaskan.

Lupakan dulu soal kepandaian dan ketulusan hati. Ingat, kamu seorang pecandu hubungan seksual. Lalu berpikirlah, apakah kejujuran tetap menjadi pertimbangan apabila yang kauinginkan darinya hanyalah orgasme bercinta?


Salam sayang,

Peri Biru.

Satu Puisi Satu Hari: #43 Cincin

Ini wilayah paling pribadi!

Kalau aku sudah rela berebut bantal dan wilayah di atas ranjang, artinya aku benar-benar sayang.
Tidak peduli komentar orang-orang.
Kalau kaubelikan cincin, tidak kubilang buang-buang uang.
Akan kupasang.
Tujuhpuluh lima persen saja. Sepuluh gram untuk berdua.
Lingkaran di jari manis artinya sudah ada yang punya.

Apakah benar kita menuju ke sana
atau pergumulan di kamar tidak ada nilainya?

Makan itu cin cin cin ta
yang akan majal dimakan usia!


Satu Puisi Satu Hari: #42 (Bukan) Cinta

Saling menghisap muka, saliva di mana-mana,
bibir saya mogok berpuisi cinta.
Berpelukan dan meraba-raba,
tangan saya kehabisan kata-kata.
Mata menelanjangi. Tidak bisa untuk membaca,
tidak sekarang ini.
Isi kepala didominasi berahi.
Tidak cukup tempat untuk romansa.
Bersama Anda sampai di sini saja,
tanpa kencan ke-dua.

Satu Puisi Satu Hari: #41 Anatomi

Saya kekasih yang cerewet. Maaf, mulut saya dua.
Sumpal saja salah satunya.
Kamu mantan pacar yang sok pintar, karena merasa punya dua kepala.
Padahal keduanya tak berfungsi jua.
Dengar: Kekasihku orang yang tegar. Kakinya ada tiga.
Tak tergoyahkan dia.
Simak: kekasihmu berlagak kuat angkat dua bukit.
Saya yang punya pegunungan tidak berbangga. [yah, sombong sedikit]

Sabtu, 06 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #40 Kita

Menjejak pada derajat di mana kita menerima bukan karena, tetapi mencinta walaupun:
Bukan karena sempurna
Tetapi walaupun bercela

Merencana pada waktu kita yang bukan abadi, tetapi berbatas sampai mati:
Cincin bukan di jari
Rajah tetapi di hati

Jumat, 05 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #39 Nasi Bungkus

Bagaimana bisa tidurku tenang bila ranjangku dibalut seprai beledu
sementara lapikmu berselimut abu?
Bermimpi saja mungkin engkau enggan, takut maut menjemput.
Di sini aku nyaman di bawah atap sirap dengan pilar kayu kelapa;
di sana keluargamu berbagi papan dalam pengungsian.
Dan kekasihku -- lelaki yang berjarak satu sentuhan jari -- mendampingi waktu-waktu beku,
selagi paruhan jiwamu tertimbun ampas lindu dan belum ketemu.

Aku berkaca di meja rias,
dan membayang romanmu manai.

“Jadi, Anak Manja, malulah kamu yang berkeluh soal idelanya lekuk tubuh sementara dia menyantap nasi bungkus dengan tangan berdebu!”

Satu Puisi Satu Hari: #38 Senyum

gambar-gambar bisu berjajar dalam bingkainya beragam rupa
di atas lemari, di dalam rak kaca, tergantung pada dinding-dinding yang menua
kadang-kadang bersembunyi dalam selipan album dan berkas lama
berarak-arak mencuil sepotong kenangan dari dalam kepala
wajah-wajah lama yang pernah membagi senyum dan tawanya sebelum tiada
pelukan, rangkulan, jabat tangan, atau sekedar bersinggungan pada sebuah masa
ada kalanya momentum yang tertangkap jujur tanpa aba-aba
atau sengaja ditata supaya yang dikenang seperti terlihat mata kamera
beberapa bahkan menyimpan aroma
memori yang sebegitu kuatnya mengikat indra perasa

pasir yang melekat di telapak kaki dan bau angin laut yang meniup rambut tergerai
mengenang ayah dan merindukan pantai


Kamis, 04 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #37 Angin

Banyak yang sudah berpuisi tentang hujan.
Tapi tentang angin?
Sedangkan mereka sama-sama menghantar dingin.
Juga sama-sama membuai batin.


Siang tadi saya menunggu angin,
karena keterlaluan terik surya mencabik kulit sampai merah.
Sungguh amat gerah.
Jadi ketika sepoi akhirnya singgah, sungguh terasa seperti anugerah.
Saya lupa akan hawa panas yang tadi bikin marah-marah.

Namun menjelang sore, arus udara mulai bergelora.
Dikebasnya daun jendela kamar saya.
Brak! Yang lelap jadi terjaga.
Barisan bambu gemerisik berisik diusik tiupannya.
Kali ini, dia datang membawa awan.
Jadi puisi tentang angin berakhir di sini, karena sebentar datang kembali hujan.

Rabu, 03 November 2010

Berkas Biru

Hari ini mereka menonton film biru bersama. Tanpa rencana, terjadi begitu saja. Dan tentu bukan untuk yang pertama kalinya.

“Mau lihat bokep dong, Sayang,” kata B tiba-tiba. Mereka sedang ‘terbang’ saat itu. Dua buntut sisa lintingan daun surga berbaur bersama abu di dalam asbak beling.

“Oh iya, aku baru dapat banyak dari E kemarin.”

“Nah ya, ketauan. Kenapa sih suka nyimpen bokep tapi nggak mau ngaku?”

“Bukan gitu. Ini yang baru-baru.”

“Mana? Mau lihat. Di laptop ya?”

“Di external memory.”

“Manaaa? Ambiiil,” B membujuk sabil mengusap-usap lengan A. Laki-laki itu jadi tergoda.

“Ini dulu dong,” kata A sambil menunjuk organ di antara dua kakinya.

“Uuuh,” B mengeluh tapi tetap mendekatkan kepalanya ke situ dan memberikan A apa yang dia mau. Tidak sampai selesai, karna B sendiri belum mendapat apa yang dia mau. “Ambil, ayoo,” katanya memotong kenikmatan A. Ya, ini hubungan saling memberi dan menerima. A tahu kenikmatan itu tidak akan dilanjutkan sebelum ia gantian memberi apa yang B butuhkan. Jadi ia menurut saja menyiapkan apa yang diperlukan untuk menonton.

Berkas pertama dibuka; potongan video diputar. Tanpa basa-basi langsung diawali dengan adegan tanpa pemanasan. Felatio terlalu lama. Cunnilingus hanya sekejap. B tidak suka. Ganti.

Berkas ke-dua. Adegan diawali dengan munculnya tokoh pemuda yang mobilnya mogok, lalu bermaksud meminta bantuan kepada pemilik rumah terdekat. Seorang pria paruh baya membukakan pintu dan mempersilakan si pemuda menggunakan teleponnya untuk menghubungi layanan derek. Karena harus menunggu selama empat jam sampai bantuan datang, si bapak menawarkan diri untuk memperbaiki mobil itu, dan (tentu saja, sudah dapat diterka) membiarkan si pemuda hanya berdua di rumah bersama anak gadis si bapak yang berpakaian minim dan tanpa alasan masuk akal selalu berpose mengundang. Akting yang sangat buruk dan alur cerita yang terlalu mudah ditebak jadi satu-satunya alasan untuk membiarkan video terus berputar, hanya untuk ditertawakan. Lalu, ganti lagi.

Berkas ke-tiga. “Nah, ini dia! Ketemu juga!” seru A, “Ini parodinya Avatar. Kocak!”. Satu-satunya bagian tubuh yang tidak dicat biru dalam video itu adalah kemaluan Jake Sully yang tetap merona. “Kok mau ya orang main film begini?” tanya B. “Iya. Lama-lama aneh ya dilihatnya,” jawab A, “Kita bikin film sendiri aja yuk!”.

Ya, kita semua tahu. Kalimat ajakan dari A itu adalah cara mengajak bersetubuh paling basi, paling ‘lemah’, dan paling tidak romantis. Tetapi ketika ada ganja dan ada cinta, sepertinya yang diajak akan mau-mau saja. Lihat, B sudah mulai melancarkan serangan.

Selasa, 02 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #36 Pagina

Sukar dipilah ini kasmaran atau ketergantungan. Tulus atau hawa nafsu?
Rasanya ingin berjimak dengan buku.
Menjamah tiap-tiap pagina, mengulum baris-baris kata.
Dibuahi gagasan, lalu mengandung buah pikiran, dan akhirnya melahirkan anak reka-reka.
Main serong dengan kamus. Sembunyi-sembunyi dengan tesaurus.
Bersanding dengan permainan kosakata dan membiak terus.


Satu Puisi Satu Hari: #35 Selesai

Sst.. Tenanglah, Kekasih. Berikan kecupan selamat malam.
Aku tahu kita sudah mencoba dan mencinta segala macam.
Tanda tanya mendekam: bagaimana dua hati jadi rapuh.
Dalam permainan ini, tidak ada pemenang utuh.
Kamu seperti syair yang sedang kucari rimanya.
Tetapi tahun terus berjalan, dan waktu tak di sisi kita.
Jadi di sinilah aku, Sayang, bersiap pergi.
Kerusakan telah terjadi, tak bisa kita perbaiki.
Sst.. Tenanglah, Kekasih. Sampailah kita pada akhirnya.
Yang rangup sudah cerai-berai, tidak perlu pura-pura.
Bukan tak cinta, bukan tak peduli.
Tetapi masa depan, sepertinya tak bisa kubagi.

Senin, 01 November 2010

Satu Puisi Satu Hari: #34 Belajar

Sekerat roti diolesi secungkil margarin.
Ditaburi apa jadi?
Butiran cokelat warna-warni atau gula pasir murni?
Ibu siapkan makan pagi. Habiskan, biar tidak masuk angin.
Dibekalinya Upik uang jajan. Selembar limaribuan.
Makan siang jangan jajan sembarangan!
Beli di kantin sekolah. Supaya lebih murah.
Menurut saja Upik tak membantah.
Andaikan Ibu tahu beratnya langkah Upik hari ini.
Enggan dia meninggalkan hangatnya rumah.
Resah dia dihakimi di sekolah.
Ujian nanti pasti tidak lulus, karena Upik sudah tidak perawan lagi.

Satu Puisi Satu Hari: #33 Roda Dua

Tujuan: Di mana sedia ayam goreng dan lalapan.

Suasana siang: Terik memompa keringat di badan. Lampu merah menyala di perempatan.

Suasana hati: Penuh pertanyaan.


Sang Gadis meringis lihat pengemis. “Mengapa ada orang tak berpunya di dunia?” ia bertanya. “Tentu akan lebih miris bila tidak punya asmara,” jawab Sang Jejaka.

Lalu mampir yang menjual rokok dan camilan. Lusuh nian. Mana tahu butuh selingan, silakan ditukar dengan receh di tangan. “Mengapa tidak ada yang jajakan pelukan?”. Jejaka berguman, “Maukah engkau membeli teman? Hanya untuk merasa nyaman?”

Tujuan hati: Ke manapun asal satu sasaran.

Mereka melanjutkan perjalanan. Asalkan pasti, walau pelan-pelan.

Satu Puisi Satu Hari: #32 Nanti

aku takut
aku takut apa jadinya nanti
apa jadinya kamu nanti
aku takut bagaimana jadinya kita nanti
aku takut
aku takut terlalu banyak berekspektasi
tapi aku takut sendiri
apa jadinya nanti kalau aku sendiri
apa rasanya
seperti apa
aku takut
aku takut ternyata aku bukan untuk kamu