Jumat, 29 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #31 Surga

Selamat datang di nirwanaku!
Sebelum engkau masuk, tanggalkanlah dulu pikulanmu.

Mari kuantar berkeliling taman tanpa derita.
Sematkan senyum merekah, sekarang kita lupakan duka.

Jangan lupa kenakan jubah masa kejayaan.
Supaya tidak tersakiti, bahkan tidak oleh kejujuran.

Ah, hiruplah udara kebebasan.
Legakan nafasmu saat kita mulai perjalanan.

**

Nirwanaku tempat ‘ku bermesraan dan bermanja-manja.
Dengan pelukan dan ciuman, apa adanya saja.
Tidak perlu malu-malu, saya memang penggoda.
Jadi mari ikut bermain, dan jangan bilang siapa-siapa

Ini, reguklah saripati bahagia.
Bisakah kaurasakan, matamu kian terbuka?
Dan ini, sesaplah serbuk sukacita.
Anggukan kepala bila kau setuju bahwa rasanya istimewa.

Dengarkah lagu surgawi itu? Saatnya kita menari!
Berdendanglah kalau suka, rayakan hari ini.

**

[decak] Lihatlah waktu berlalu, apakah sudah waktunya pergi?
Oh, jangan bersedih, besok kau boleh kembali lagi.

Katakan pada teman-temanmu, semuanya kuundang.
Nirwanaku adalah tempat yang baru saja kukarang.

**

Saatnya kembali menjejakkan kaki di dunia.
Percaya adalah melihat, bukan sebaliknya.

Kamis, 28 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #30 Tuntas - Maaf

Sst.. Tenanglah, Kekasih. Redam kata-kata.
Bulir-bulir tangis kita bukanlah tanpa makna.
Ini kenyataan, aku akui, kita berserakan.
Apa yang dahulu murni tidak kita pertahankan.
Cecap kulitmu sudah masam.
Manis bibirmu tak lagi tertelan.
Jadi jangan, Kekasih, jangan memendam.
Sebab semakin tinggi kita terbang, semakin keras kita terhempaskan.
Sst.. Kekasih, sudah hampir tuntas.
Aku bukan malaikatmu lagi. Bukan lagi.
Angan akan keabadian sudah menggetas.
Bukan bualan. Ini elegi.

Satu Puisi Satu Hari: #29 Amin

Air mata itu asin.
Bermuara di sapuan tangan dari hulunya di batin.

Terima kasih sudah diingatkan,
bahwa semua yang sungguhnya teramat berharga pada hakikatnya sementara belaka.

Saya sembahyang
semoga para saudara yang berkesusahan adalah mereka yang di mata-Nya menang.

Selasa, 26 Oktober 2010

Tahi Lalat

B

Saya mau menantang kamu kali ini untuk mengetahui seberapa kenal kamu akan tubuh pasanganmu. Oke. Sebutkan letak-letak tahi lalatnya. Bisa?

Tidak perlu bertanya balik pada saya. Karena sebelum saya melontarkan pertanyaan ini, sudah saya catat semua. Yang di pundak sebelah kanan, yang di perut di dekat pusar, yang di lengan kanan, dan masih ada beberapa lagi. Kadang saya suka bermain menyambungkan titik di badannya. Itu lho, permainan menyambungkan titik-titik sesuai urutan angka yang hasilnya sebentuk gambar. Ya memang, badan A hasilnya tidak bergambar. Itu alasan saya saja untuk menggerayangi tubuhnya. Nakal ya? Hahaha..

Saya jadi ingat masa-masa kuliah dulu waktu masih sering menghabiskan waktu di sebuah kafe kecil di dalam mal daerah Selatan Jakarta. Kafe ini menaruh beberapa toples beling berukuran besar sebagai dekorasinya di dekat pintu masuk. Isinya biji-biji kopi berbagai variasi. Sampai sekarang saya tidak pernah tahu apakah hanya sekedar dekorasi, atau memang benar untuk dihancurkan-diseduh-lalu disajikan dalam cangkir kopi.

Saya dan teman-teman sering “mencuri” beberapa biji kopi hanya untuk dipakai untuk bermain.

D menaruh sebiji kopi di dagu sebelah kiri. “Siapa saya?” tanya dia. “Rano Karno!” seru saya dan C serentak.

Lalu C memasang sebiji di atas bibirnya. “Kalau ini?”. Saya dan D menjawab bersamaan, “Cindy Crawford!”

Gantian saya menempelkan satu di bawah mata kiri. Belum sempat bertanya, mereka menjawab sambil terbahak-bahak. “Ita Purnamasari!”

Kembali ke atas lagi, sudah bisakah kamu mengingat tiap letak tahi lalat kekasihmu? Mungkin akan lebih mengagetkan kalau ternyata lebih hafal tubuh selingkuhan terbaru. Semoga tidak begitu.

Yang pasti gara-gara tahi lalat saya baru menyadari betapa A begitu perhatian sama saya. Mungkin ia tidak ingat semua letaknya. Tapi dari sekian (percayalah, jumlahnya tidak banyak) yang pernah melihat nonok saya dengan lampu yang tetap menyala, baru A yang akhirnya memberi tahu, “Kamu punya tahi lalat di labia minora. Ada dua.”

Saya tidak akan mencari dalam primbon artinya tahi lalat di kemaluan, tapi hanya bertanya-tanya. Kenapa baru A yang memberi tahu saya? Yang lain kurang perhatian sepertinya. Kamu jangan begitu ya.

Senin, 25 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #28 Sore

Bubuk kopi
Gula pasir
Daun teh kering
Berderet di atas rak bambu
Saling berpandangan
Lalu mendengar siulan itu:
Cerek di atas tungku
Air mendidih
Mana yang akan diseduh Ibu?
Karena Ayah tidak pulang
Sore ini
Tidak ada:
Ngeteh
Ngopi
Ngunyah serabi

Jadi?
Ibu melewati lodong kopi
Juga mangkuk gula
Dan wadah teh
Ia menjerang air tadi
Untuk dipakai mandi
Karena bahkan sore sudah terlampau dingin tanpa pelukan Ayah. Ibu berkata.

Satu Puisi Satu Hari: #27 (Si) Lucu

Betul-betul kamu makhluk Tuhan yang lucu.
Kendatipun tak kenal aku, siapa ibumu. Apalagi bapakmu.
Sehabis menghamili ibumu pasti tak peduli dia,
tidak tanggung jawab habis bikin bunting betina.

Kita bertemu waktu kamu hendak menyeberang jalan.
Tak tega, kubawa kamu pulang. Daripada kamu sendirian, kasihan.
Jadi malam itu kamu tidur sama aku.
Tepatnya, kamu mendengkur di dadaku.

“Dia sakit,” kata dokter tentang kondisimu.
Tiap jam harus diberi air madu.
Mau tidak mau ya kupaksa, sampai kamu telan juga.
Tanpa kuundang, kamu sudah bisa naik ranjangku sendiri di malam ke-dua.

Sekarang sudah genap tujuh hari tinggal bersamaku.
Sudah sehat sepertinya, minta makan melulu.
Aku bahagia bisa menyelamatkan makhluk Tuhan yang lucu ini.
Senangnya, kamu sudah mau datang waktu kupanggil, “Kitty!”

Minggu, 24 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #26 Kecewa

Dia ingin membeli
tapi
toko merah di ujung jalan tak menjual obat sepi.
Mereka hanya sedia penangkal rindu
dan vaksin anti cemburu.
Sudah begitu yang berhutang dilarang.
Harus bayar lunas, dengan sepenuh hati.
Dia balik badan
cari lagi.
Toko kuning yang baru buka tawarkan pengharapan,
impian masa depan dan asa untuk sembuh.
Mereka bagikan cuma-cuma
selama masa promosi
asal bersumpah kembali lagi.
Dia urungkan niat
lihat
toko hijau di gang buntu menjual bibit
untuk menanam maaf
atau tumbuhkan lupa.
Bayar dengan apa saja diterima.
Tukar guling dengan jari tengah,
dia pulang bawa biji mati rasa.

Jumat, 22 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #25 25

seperempat dari seratus -- tahun yang ke-dua puluh lima
[sekian saya mengaku usia padanya]
setengahnya seperdua saja
satu juring sembilan puluh derajat diapit kaki-kakinya
[dua tungkai saya pun mengapit pinggulnya]
jarum panjang di dua belas, jarum pendek ada di tiga
lima belas menit dari satu jam –- satu per empat sama dengan dua puluh lima per seratus, ya?
[rehat sejenak di atas sofa]
satu hari lima kali dalam lima hari, lima kali lima
hasilnya benar dua puluh lima!
[oh ya, itu hasilnya tidur dengan guru matematika]

Kamis, 21 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #24 Nikmat

Betari curiga kali ini, ia berpurbasangka. Mengapa pangeran rupawan tak kunjung datang jua? Sedangkan cakrawala barat mulai mengemas, dan rembulan keperakan telah bersiap-siap ke atas. Gerangan apa yang membuatnya berpangku tangan dengan gusar di selasar?

Andainya engkau nyana, Cantik. Sang Gagah terjerat lelembut berwujud dara, iblis yang pandai bersandiwara.

Betari geram kali ini, ia berkesumat. Bersebadan ia dengan bujangnya yang meringis penuh nikmat.

Rabu, 20 Oktober 2010

Sang Penggetar

V

Kenalkan, aku sang penggetar. Baru dibeli B waktu dia liburan ke luar negeri sebulan lalu. Dia tertarik dengan tulisan di kotakku: “Mini Vibrator”. Ah, padahal aku nggak mini-mini amat. Gini-gini kan aku masih punya harga diri. Kemarin ini waktu ditaruh di samping tempat tidur, aku sempat mengukur. Punya A dan aku nggak jauh beda, kok. Iya sih, lebih besar punya A. Tapi aku nggak terima dipanggil mini!

V : Kenapa sih kamu beli aku? Memang nggak puas sama punya A?
B : Loh, gimana sih? Masih belum ngerti juga sampai sekarang? Namanya juga alat bantu, ya kamu dipakai saat saya lagi butuh bantuan. Kapan? Waktu A lagi tidak di sini. Waktu kami lagi butuh variasi. Ya, saat kamu diperbantukan.
V : Aku iri. Aku suka diumpetin dalam lemari.
B : Ah, kamu lucu sekali. Kamu itu barang paling pribadi. Bahkan lebih intim dari pakaian dalam saya yang ditumpuk di dalam laci. Jadi jangan berkecil hati.
V : Stop! Jangan sebut lagi kecil-kecil atau mini-mini. Aku nggak sudi!
B : Ssst.. Tahu tidak kenapa saya suka kamu? Kamu, hmm, ya tidak teralu besar. Tapi kamu bergetar! Punya A tidak bisa begitu.
V : Iya aku tau. Kecuali punya A pakai cincin yang berbaterai itu!
B : Wah, kamu suka ngintip ya dari dalam lemari?
V : Iya, kalau aku lagi nggak diajak main. Eh, memangnya benar ya, posisi menentukan prestasi?
B : Dasar tukang ngintip! Hahaha. Iya pastilah menentukan! Ada titik-titik spesifik yang hanya bisa dicapai dengan posisi tertentu. Gerakan juga menentukan.
V : Iya, aku sering lihat kalian bervariasi. Apa rasanya sih kalau sampai bisa berprestasi?
B : Hahaha bergetar dari ujung kepala sampai ujung kaki!
V : Kayak aku dong!
B : Iya, tapi kamu dari kepala sampai kaki kan cuma berapa inci..
V : Tuh kan, ungkit-ungkit ukuran lagi!
B : Ah, kamu terlalu sensitif. Yang boleh sensitif itu cuma saya dan genitalia. Hahaha..
V : Ngomong-ngomong A kemana sih, udah tiga hari nggak pulang-pulang?
B : Sedang di Bangladesh dia, ada urusan. Hari Senin depan baru pulang.
V : Jadi sekarang kita main lagi?
B : [senyum] Yuk, saya cuci dulu.
V : Nggak usah, kamu ke warung depan aja dulu. Bateraiku habis kamu pakai melulu.

Satu Puisi Satu Hari: #23 Pagi

Bibirnya seranum matahari pagi.
Mengundang dilumat lagi.
Matanya secerah embun.
Berkedip anggun.
Kulitnya laksana mega.
Remaja bercahaya.
Hamba bercermin.
Mengucap amin.

Satu Puisi Satu Hari: #22 Enigma

Apakah ini disebutnya:

Merayu dan memaki untuk alasan yang sama

Mencumbu dan menikai karena sebab yang tak beda

Saling mencintai dan/atau melukai?

Satu Puisi Satu Hari: #21 Menulis

Dari ujung jemari ini mengalir energi yang bermutasi menjadi bait puisi melalui tariannya di atas papan ketik.

Aku bisa bercerita tentang kita lewat anyaman kata-kata lintas media yang kaubaca selagi menjelajah dunia maya.

“Ini untuk kamu. Yang mengaku bahwa diriku membuat hatimu menjadi tenteram. Sudahkah kamu berkarya hari ini?” aku menulis.

Selasa, 19 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #20 Tanda-Tanda

Ketika Yang Mahasempurna bercakap padamu melalui siulan angin, dengarkanlah.
Ia berkisah tak hanya pada ruhban dan ruhbanat. Juga pada yang diryah.
Faalnya terlukis jua pada setiap panorama.
Menyenangkan mata yang betul-betul terbuka. Indahnya.
Ia mencinta lewat kasih sayang pendampingmu,
sehingga tiada timpang engkau lewati jalan berliku.

Aku merasa kecupan-Nya ketika wajahku dibelai sayap kupu-kupu,
lantas berbagi larik-larik ini denganmu.

Minggu, 17 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #19 Kencan

Tidak ada yang lebih manis dibanding mengenang waktu pertama kali bertemu. Bukan begitu?
Perjumpaan perdana tanpa tahu ujungnya apa. Bersyukur lalu jadi cinta. Kalau belum jodoh, ya mungkin hanya semalam saja.
Bila berlanjut, semakin manis saling bertukar kabar dan berkelakar dengan media layar empat inci persegi. Malam-malam tidak lagi sepi. Bahkan rela tidak tidur sampai pagi.

Tidak ada yang lebih meresahkan dibanding menunggu kelanjutan hubungan. Demikian kan?
Pertemuan-pertemuan berkesinambungan penuh kerinduan berbaur kecemasan. Ah, masa-masa penuh pertanyaan. Menunggu pengakuan.
Manakala ada jawaban, semakin gelisah saling bersentuhan dan menjalin keintiman badan. Walaupun malam-malam memang tidak pernah sepi. Dan selalu rela tidak tidur sampai pagi.

Tidak ada yang lebih getir dibanding tidak menemukan jalan keluar. Apa benar?
Kencan yang bersalin rupa jadi beban. Pengkhianatan. Mencari pelepasan dari ketidakcocokan dan ekspektasi yang terlalu jauh ke depan.
Kapan ada terucap selamat berpisah, semakin getir berteman candu dan dadah. Supaya malam-malam tidak terasa sepi. Dan akhirnya tidak tidur juga sampai pagi.

Sabtu, 16 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #18 Tikus

Salam sapa para hipokrit nan munafik!
Selayaknya kalian merasa tidak lebih berharga
dibanding kotoran yang menyisip di ujung kuku saya.
Bukan semata kalian yang sering terlihat di layar kaca
atau dalam lembaran berita terlihat apik,
tapi juga Anda-Anda tikus kecil pengerat
entah uang rakyat
atau sekedar secuil kewarasan dan rasa iba saya.
Halo para manusia bermuka dua!
Hanya ingin tanya,
kidung pengantar tidur kalian siapa yang bernyanyi?
Bagaimana bisa rebah lelap sekali
sementara saya kelaparan makan hati?

Satu Puisi Satu Hari: #17 Hadiah

dua jari yang menari ketika telapak tangan berpandu.
bergeraklah lebih cepat katanya
lanjutkan perlahan namun imbang
kemudian kembalilah cepat seiring nafasku yang berpendar
maka aku akan tiba di peraduan.

wahai lelaki yang bernafaskan api dan menangiskan es
akan kubisikkan malam ini, kularutkan wahai jemari.
bawa daku ke peraduan untuk kembali ke pelukan..


Puisi ke-17: Puisi dari A untuk saya. Hadiah istimewa.

Jumat, 15 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #16 Kepiting Saus Padang

Lokasi: Warung makanan laut di pinggir jalan.

Atmosfer: Pendar kuning lampu jalanan memantul pada aspal basah sisa hujan. Bayangkan.


Malam ini mereka berbagi makanan. Bersantap dalam kebersamaan. “Terima kasih sudah menyelipkan aku dalam sesakmu hari ini,” ucap yang perempuan. Ia menerima jawab: anggukan dan senyuman.

Sudah terlalu larut untuk berargumen soal pilihan hidup. Mereka tidak sanggup. Sempat bertemu saja sudah sungguh berlega hati. Peluang ini bukan untuk dinodai.

Bila saja menyatukan dua manusia dengan dua kitab suci berbeda semudah menjentikkan jari, mereka pasti sudah jadi suami istri. 

Realita: Tanpa penyesalan, pun tanpa penggenapan.

Malam ini mereka menikah, saling mengucap janji. Penghulunya kangkung cah cumi. Kepiting saus padang menjadi saksi. “Kamu berhasil membuat aku berhenti bertanya apakah ini cinta,” kata yang lelaki.

Kamis, 14 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #15 Pasti

Sungguh tidak ada yang definit;

tibanya detik atau hadirnya detak.



Demikian tiada sabit;

berhajat dan berkehendak.



Seperti seloroh Tuhan.

Selasa, 12 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #14 Ragu-Ragu

Rasanya tergoda untuk membelah kepalamu dan menguraikan otak di dalam situ, lalu menghitung berapa macam siluman yang pernah menghiasi fantasimu.

Tergelitik juga untuk membelah dadamu dan menggenggam jantung hati itu, lalu merasakan dalamnya perasaan yang kaupendam untukku.

Ya, aku mengerti ragamu adiksi pada himpitan tubuh molekku -- Tetapi aku ingin tahu lebih dari sekedar ketergantungan fisik yang kadang menipu.

[Menjawab ketidakyakinanku, kalimatmu terlalu baku. Jadi aku makin ragu-ragu.]

Minggu, 10 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #13 Pergi

Tidak ada yang menyelentik bahwa pergi itu akan terasa sendiri.
Keberangkatan adalah pertanggungjawaban atas apa yang ditinggalkan,
dan kesiapan akan menghadapi yang terbentang di depan.
Tentang mengucapkan selamat tinggal pula tidak ada yang menasihati,
akan beratnya melihat tangis mengalir di pipi dan dalam nurani.
Seumpama tiba nanti waktunya menyeberang,
sepatutnya tidak ada penyesalan akan siapa yang pernah disayang.


Satu Puisi Satu Hari: #12 Lipstik

Ia hanya memoles selapis saja dari ujung batang yang tersisa.
Warnanya merah-bungur, bukan merah-sirah seperti kelentitnya.
Berdebar-debar ia menanti hari ini tiba,
gilirannya dapat jatah dari Tuanku Raja.
Maka ia pakai lipstik.
Sang Gundik merasa cantik.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #11 Tanda Baca

Saya tersesat di antara “aku rindu kamu” dan “kamu egois”.
Jadi ada tanda tanya setelah “maafkan aku”.

Kamu terbelah di antara “aku menyesal” dan “kamu salah’.
Jadi ada tanda seru setelah “aku butuh kamu”.

Kita tersiksa di antara “selalu cinta” dan “memang berbeda”.
Jadi ada titik setelah “lupakan saja”.

Kamis, 07 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #10 Alas Kaki



Kasut kulit lusuh penuh bakti pada si empunya.
Terinjak dan teraniaya tapi tetap penuh setia,
karena mafhum ia alas kaki satu-satunya.
Nona Majikan tidak punya lagi apa-apa.
Rela ia terguyur hujan, terseok di selokan, menggumuli lumpur.
Semangatnya tidak pernah kendur, abdinya tidak akan luntur.

Namun malam ini Kasut usang bermuram durja.
Di sisi perapian ia terlantar saja. Nona Majikan meninggalkannya.
Karena dalam pesta dansa Upik Abu jadi putri jelita,
bersepatu kaca.

Rabu, 06 Oktober 2010

Mari Mandi

B


Saya suka sekali mandi bersama A. Selalu menyenangkan, menyegarkan, tapi juga menghangatkan. Entah itu mandi untuk pemanasan atau mandi karena kewajiban. Entah itu di bawah pancuran shower atau berendam dalam bathtub, masing-masing punya kelebihan.

Saling menyabuni adalah kegiatan yang paling mengikat batin untuk saya. Bahkan melebihi persetubuhan itu sendiri. Menyentuh milimeter demi milimeter permukaan kulit pasangan saya, membersihkannya dari kotoran dan debu duniawi. Merasakan bidang dadanya, keras lengannya, tangguh punggungnya, kencang bokongnya (tempat saya paling suka berlama-lama), jenjang tungkainya, dan gelitik sela-sela jemari kakinya. Mengenali setiap letak tahi lalat dan setiap parut saksi hidupnya.

Begitu pula dia. Menyabuni saya yang sudah tak merasa perlu lagi menutup-nutupi kekurangan badan seperti layaknya perempuan. Saya persilakan ia mengeksplorasi tubuh kekasih hatinya ini. Membiarkan dia bertanya ‘ini punya siapa?’ setiap kali menyentuh tiap-tiap organ tubuh saya dengan tangannya. Tentu saja ‘punya kamu’ jawaban saya selalu, sambil tertawa.

Ya, berdekapan di bawah pancuran air selalu penuh kasih sayang.

Saya pernah memberinya kejutan. Segera sehabis menjemputnya di bandara saat pulang dari dinas luar kota satu bulan, saya membawanya ke sebuah kamar hotel yang sudah saya pesan. Pikir saya waktu itu, pas sekali untuk obat kangen-kangenan dan sayang-sayangan.

Setelah memerawani tiap jengkal kamar dengan keringat kami, menjelang malam saya siapkan bathtub untuk dia berendam dengan air hangat penuh busa. “Serasa di surga,” katanya. Dan dia mengajak saya berendam bersama. Damai sekali rasanya bersandar di dadanya sambil bermain busa dan dibisiki kalimat cinta. Waktu itu dia bilang, “Sayang, tiap saat nanti kita melewati masa sulit dan terpikir untuk berpisah, selalu ingat, kalau kita pernah sedekat ini.”

Ya, saya selalu suka mandi bersama A.

Yang paling saya suka adalah adegan penutupnya. Seks? Bukan. Sebelum itu. Dengan badan basah dia memeluk saya dari belakang, lalu kami yang masih berbalut handuk saling menatap pada pantulan cermin. “Begini terus ya kita,” katanya. Mesra.

Satu Puisi Satu Hari: #9 Gula-Gula

Setiap hari manis sekali. Yang terdengar dan yang terkecap.

Siapa bisa tak candu, bila laksana madu yang terucap.



Kalimat cintamu adiktif, seperti gula-gula.

Selasa, 05 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #8 Monster

Aku bertemu monster hari ini!


Taringnya runcing mencuat dari congornya.
"Kemari, kugerayangi kau dengan bibir lembayungku."
Bola matanya jelalatan mencari mangsa.
"Lihat, terlucuti rasa malumu dengan kedipku."
Kuku-kukunya terasah, lapar menggoret luka.
"Biar kubelai dengan gemulai lelakimu yang merindu."
Pekiknya sungguh pekakkan gendang telinga.
"Kunyanyikan pengantar tidur yang merdu. Untukmu."

Awas! Ada monster di balik rok mini!


Senin, 04 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #7 Hasrat

Betari masih menyimpan kunang-kunang di tepi peraduan, menghamba pada malam-malam sarat rayuan. Ia yang laksmi merindukan belaian pangeran rupawan. Kain yang ia bebatkan dan selendang yang ia sampirkan menunggu untuk ditanggalkan.

Tidak ada dekapan badan kali ini, Cantik. Sang Gagah pongah tidak tertarik, ia bahkan tidak melirik.

Betari masih menjalin rambutnya yang panjang, menyimpan hasrat untuk berseranjang.

Satu Puisi Satu Hari: #6 Sepi - Ngeri

Ah, sunyi. Yang terdengar hanya suara hati.
Tidak ada kamu, tidak ada dia -- Alienasi.
Tangan waktu seolah tergayut ribuan memori.
Sukar jarum berputar, lama digit bertukar.
Asumsi racuni afeksi. Mengambil kesimpulan sendiri.

Minggu, 03 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #5 Palsu

Gadis bergaun hijau mengucap salam.
Tangannya mengulur meraih genggam.
Wajahnya menyambut tawarkan kecup.
Senyumnya teruntai dari bibir terkatup.

Saya tidak tahu dan tidak mau tahu.
Malam ini semua bersinggung bahu.
Substansi mengakrabi manusia.
Kelancungan rasa: bahagia

Jumat, 01 Oktober 2010

Satu Puisi Satu Hari: #4 Sakit

Ampun, Pendera Raga
Pedih ini menyiksa
Sendi-sendi menusuk
Luka-luka membusuk

Puaslah badan kauperkosa

Ampun, Penentu Maut
Nyawa ini bergelayut
Sudah tidak takut
Ayo kalau mau jemput

Jelaklah kauhitung dosa

Ampun, Pemberi Maaf
Tidak lagi akan khilaf
Putuskan saja hari ini
Hidup atau mati