Jumat, 31 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #95 Belum Tamat

Sebuah akhir adalah sebuah awal.
Ada doa pada “selamat tinggal”.
Ada tujuan pada “sampai jumpa lagi”.
Ada harapan pada “semoga bahagia”.
Ada keyakinan pada “kita pasti bertemu lagi”.
Ya. Rindu sebelum waktunya adalah hanya bila rasa ada tenggatnya.
Dan “kita” sama sekali belum tamat.

Kamis, 30 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #94 Untuk Waktu

Bertambah usia bertambah lupa.
Seandainya bisa memilih yang membuat luka yang tersisihkan saja
mungkin kita tidak akan menghargai anugerah kesembuhan dan kembali tertawa.
Seinginnya menghapus seseorang dari kehidupan,
ingatlah bahwa dia pernah jadi bagian dari perjalanan yang membawa kita ke tempat sekarang,
tak peduli lama membekas atau hanya sebentar lalu hilang.
Waktu yang terbilang dalam hitungan kadang berlalu sambil berlari
kadang merangkak tiap berdetak.
Tetapi orang-orang yang meninggalkan jejak melewati batas-batas masa,
lalu abadi dalam memori.

Untuk yang pernah, atau selalu membenci: terima kasih telah membuatku lebih kuat lagi.
Untuk yang pernah, atau selalu mencinta: terima kasih telah membuatku merasa berharga.
Untuk yang meninggalkan: terima kasih telah mengingatkan, bahwa tak bisa selalu kudapat yang kuinginkan.
Untuk yang tetap tinggal: terima kasih telah memilih, bahwa kebersamaan adalah awal wujudkan khayal yang meskipun tidak kekal.

Satu Puisi Satu Hari: #93 =

Menjadi bahagia itu sederhana.
Namun menjadi sederhana itu bukan tanpa usaha.
Mensyukuri hal-hal sederhana itu langkah pertama.
Senyum dia = sederhana.

Selasa, 28 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #92 Dalam Hati

Hadiah terindah untukku pagi ini adalah pelukan serta-merta dalam lelapmu –
pertanda di bawah sadar kamu (tetap) merinduku.

Satu Puisi Satu Hari: #91 Sepertinya

Aku mencintaimu seperti sendok yang merasa dilengkapi oleh garpunya.
Seperti gembok yang rela ditusuk kunci yang meneguhkan fungsinya.
Seperti seprai yang enggan diganti karena nyaman memeluk kasurnya.
Seperti udang yang lelah bersembunyi di balik batu lalu bersatu dengan bakwannya.
Seperti metafora tentang romansa yang tak terbatas imajinasinya.

Satu Puisi Satu Hari: #90 Busuk

Seorang pembohong buang air besar lewat mulutnya,
atau setidaknya menelurkan kata-kata yang sama busuknya dengan ampas makanan setelah lewat proses cerna.
Setelah itu ia cuci tangan.
Heran.
Kenapa bukan mulutnya yang dibasuh untuk bicara kebenaran?

Minggu, 26 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #89 Natal

Aku mengenal Dia yang mencintai segala bangsa segala usia segala warna;
Bapa yang mendengar semua doa semua pinta semua kecewa;
Raja Mulia sekarang dan selamanya.

Tuhan yang kuajak bicara dalam setiap sujud ragawi
dalam kepercayaan dan iman untuk wujud surgawi,
aku mengingat Engkau yang Mahamencintai
dan layak atas segala puja-puji.

Aku yang di hadirat-Mu bahkan tiada debu sebutir,
kendatipun penuh kasih di tiap tanyaku Engkau hadir.
Tak sampai akal pikir,
tak sampai puisi ini pada akhir.
Terlampau agung Tuhan untuk sekedar jadi catatan pinggir.

Satu Puisi Satu Hari: #88 Rumah

Kamu adalah rumahku.
Aku rindu kembali ke kamarku di situ –
di antara dua kakimu.
Siap-siap, sebentar lagi aku pulang,
Masuk tanpa ketuk pintu.

Kamis, 23 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #87 Berani?

hari ini saya menantang hati
sedalam apa ia bisa mencintai lelaki
karena saya tahu ia mau –
mau mencintai sedalam yang ia mampu

Satu Puisi Satu Hari: #86 Pedang

Tidak perlu pedang panjang untuk menang, memang.
Biar pendek asal penuh teguh kaubawa ke medan perang.
Namun Pangeran, jangan dulu keburu senang.
Tuan Putri lebih suka pedang panjang yang menantang.

Selasa, 21 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #85 Ya, Saya Ingin

Saya menginginkannya.
Di atas meja, di ruang makan, ditonton lemari, disaksikan jam dinding.
Di depan cermin, di kamar mandi, dilihat keran air, diamati keramik dingin.
Di balik selimut, di kamar pengantin, diintip bulan, disenyumi matahari.
Sekarang juga, bukan nanti.

Satu Puisi Satu Hari: #84 Geram

Semoga dendammu padam
Semoga riakmu diam
Semoga dia yang dalam pelukmu bahagia
Semoga akulah dia, dia yang tak pernah beram
Semoga ditelan malam hangatmu bersemayam
Semoga, malam

Syairmu mengalun di kamar sepiku, denting senarnya terekam di telinga. Telinga yang kemarin subuh kaubisikkan kata-kata cinta sebelum dihunus kalimat perpisahan. Aku diterlantarkan oleh malam, karena dendammu pada siang tak jua padam.

Satu Puisi Satu Hari: #83 50 Tahun Lagi

Dengarlah, Cu. Ini cerita Nenek tentang lelaki yang selalu terlambat.
Bukan tidak bisa tepat waktu, namun ia suka berlambat-lambat.
Waktunya dinikmati mandam demi mandam. Menikmati ketertinggalan.
Sudah terlalu lewat ketika ia berusaha mengejar kenyataan.
Kekasih hatinya sudah terlalu lelah berlari dengan beban,
berusaha menyeret-nyeret dirinya yang tidak maju-maju ke depan.
Mimpi berlama-lama menundanya untuk terbangun dan melihat hartanya yang dirampas orang.
Terlambat ia menyadari yang sesungguhnya berharga sudah banjir keringat membuang kasih sayang.
Dan akhirnya lelaki itu kembali terlambat. Terlalu lambat menyadari kerusakan yang terjadi.
Terlambat menyelamatkan hubungan kami.

Sabtu, 18 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #82 Dasar Babu!

Terlambat pulang, Si Upik Abu.
Kereta kudanya keburu jadi labu.
Pulang diantar lelaki, ia lalu dimarahi Ibu.
Ditempeleng pakai kasutnya yang penuh debu.
“Dasar babu!”

Satu Puisi Satu Hari: #81 Menulis dalam Gelap

Jarum pendek mulai bergerak menuju angka yang ke-sebelas. Satu demi satu mereka melangkah masuk lewat pintu kaca yang mengundang datang penikmat malam. Mereka, para pelacur berkaki tidak terlalu jenjang dengan kulit kurang mulus tersamar pupur dan lampu redup.

Potongan gaun melekat erat mengikuti lekuk, panjangnya tak jauh dari pangkal paha -- seadanya menutup.



Leher-leher terbuka digelayuti perhiasan yang berlomba paling berkilau, menemani belahan dada yang dijajakan sepanjang mata masih belum lelah membuka.

Berbagi sesap cairan yang tak berhenti dituangkan dalam gelas-gelas tinggi segitiga, mereka menabur feromon yang lalu lahap ditangkap testosteron. Tawa yang semakin malam semakin jujur, sapaan yang semakin menjelang fajar semakin turun harga.



Di antara mereka yang meliuk ikuti dentuman irama yang semakin lama semakin mengantar jiwa keluar dari badannya, wajah-wajah kian akrab berbagi senyum. Geligi mulai menggigiti bibir lantaran menahan-nahan gemas.

Jarum panjang sudah berkali-kali menyinggahi angka ke-dua belas. Minumku masih ada sisa setengah gelas.

Kamis, 16 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #80 Jajah

Dia (terjajah)
Serupa perawan yang bernas
Menyerahkan sebagian saja
Apabila enggan dijamah seluruhnya
Organ badan yang secercah tersingkap

Dia (menajajah)
Seperti pejantan beringas
Menjarah apa yang tersedia
Apabila mungkin terampas seluruhnya
Aurat yang teraba dalam gelap

Satu Puisi Satu Hari: #79 Malu Bertanya Sesat di Jalan

Asumsi itu seperti racun yang membusukkan hatimu kata demi kata.
Menggali pikiran terburuk, menimbun logika, dan mengesampingkan fakta.
Membentuk prasangka dari kesimpulan sendiri berdasarkan curiga yang hiperbola.
Semoga kalau tentang aku, kamu lebih dulu akan bertanya.
Karena dengan senang hati akan kujawab yang sesungguhnya sebelum asumsimu mencemari aura.

Rabu, 15 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #78 Saya Tidak Suka Tidur Sendirian

Bulan meninggi sedang mencatat menu
untuk bunga tidur aku dan kamu.
Tunggu ya, Sayang,
nanti aku mampir dalam mimpimu.
Jangan lupa bukakan pintu hati,
atau aku menyelinap saya dari jendela berahi?
Mimpi -- tentang aku -- yang indah
belum tentu selalu yang basah,
ya kan, Sayang?
Mari pejamkan mata, koneksi rasa.
Kejora akan mengayunku ke sana.

Senin, 13 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #77 Pensil

Bermain dengan pensil seperti reuni dengan sahabat lama.
Kebolehannya menari di atas kertas masih memukau.
Aroma kayunya teraut masih membangun imajinasi.
Ampas yang sama yang menyegarkan memori.
Teringat seperti masa lampau –
Ia menunjukkan ketangkasan pada dinding rumah tua.

Namun manusia-manusia yang dahulu tergambar dengan tangkai lurus dan lingkaran bersahaja telah tumbuh jadi dewasa.
Mereka punya bobot, rambut, kerut, dan dimensi ke-tiga.
Grafit menurut jemari saya yang bertambah usia.
Abrasinya dengan medium suka-suka terelakan juga.
Pensil. Warnanya yang lemah dan pecah memang tak sepekat tinta.
Tak apa. Karena sampai sekarang pun saya masih belum berhasil menggambar cinta.

Minggu, 12 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #76 Kabar Burung

Burung kecil itu berkicau menyebar kabar.

Masih juga belum menolehkan muka?
Masih berbangga menenggak bahagia yang pura-pura atau apalah itu namanya pil kecil-kecil yang katamu membawa surga?
Begitu aku mundur dari duniamu itu yang penuh tipu daya, sepertinya aku baik-baik saja.
Terhindar dari luapan curiga dan ratusan tanda tanya.
Ya Tuhan, tenang sekali rasa –
Menjadi kekasih baru yang disuapi kepercayaan diri dan kejujuran apa adanya.

Burung kecil mematuk biji yang kutebar. Ayo sana, terbang lagi mencari kabar.


Sabtu, 11 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #75 Perkosaan Ibu

Kenapa lagi engkau bersungut kali ini?
Mengapa terbangun dari lelapku disapa lagi
oleh air mata surya yang belum pun gosok gigi?
Basuh dulu wajahmu, Ibu Bumi,
lalu ceritakan padaku lewat siul buluh perindu
siapa yang kali ini memperkosa ranahmu?
Mencabuti dedaun hijaumu satu-satu?
Meracuni sungai nan bening jadi keruh begitu?
Menghitamkan samuderamu?
Membakar hutanmu, Ibu?
Meniup asap pekat hingga sesak nafasmu?
Oh, tak perlulah berkata lagi.
Memang pantas engkau menangis, Ibu Bumi.
Pagi ini aku kembali berselimut dalam-dalam.
Sepertinya Ibu akan berkeluh kesah sampai malam.

Jumat, 10 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #74 Liang dan Panjang

Liang:

Bagaimana bila tidak ada nafsu membara? Bagaimana bila benar-benar hanya mencari pendamping, tanpa kepuasan daging? Bisakah kita bertahan, Sayang? Aku bilang tidak dengan lantang.

Bagaimana bila tidak ada romantisme, hanya teman bicara sampai tua? Tanpa ada kejutan-kejutan manis dan saling menggoda? Tidak bisa, kurasa.

Aku bersyukur kita sudah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sebelum memutuskan untuk menikah di hari Kamis. Kalau tidak, percumalah berjanji sehidup semati pakai cincin di jari manis.

Panjang:

Aku mau meniduri kamu setiap hari sampai akhir hidupku. Menikmati dadamu yang bulat sampai waktunya tergantung sampai perutmu. Melayanimu dengan batangku yang berdiri kekar sampai waktunya tertunduk layu.

Aku akan membuatmu jatuh cinta setiap hari. Walaupun untuk itu harus kubaca semua buku dan kuuji semua teori.

Terima kasih sudah menerima pinanganku, berjanji sehidup semati pakai cincin di jari manis.

Kamis, 09 Desember 2010

Sang Penggetar (2)

Catatan: kalau berkenan, boleh baca dulu Sang Penggetar


V

Pssst, jangan bilang-bilang B kalau aku cerita sama kamu ya. Aku kemarin habis diajak jalan-jalan sama A dan B. Awalnya aku curiga waktu B memasukkan aku ke dalam tas kecil berbulu warna merah jambu. Kupikir dia cuma mau memanjakanku dengan membelikan tempat penyimpanan baru. Tapi ternyata setelah itu dimasukkannya aku ke dalam ranselnya yang besar itu.

Tadinya aku kuatir, berpikir akan dikembalikan ke tempatku dulu dibeli. Tapi sepertinya nggak mungkin. Barang yang dikembalikan itu biasanya karena rusak atau tidak memuaskan, dan aku tahu aku bukan keduanya. Mungkin sering habis baterai, tapi itu juga karena sering dipakai. Dan kalaupun B tidak puas, itu karena dia kurang konsentrasi waktu main-main denganku.

Aku semakin yakin diajak jalan-jalan karena aku kenal ransel besar itu, yang selalu dibawa B setiap bepergian ke luar kota itu. Kadang-kadang malah ke luar negeri. Lihat, di tali bahunya masih terlingkar potongan kertas putih bertuliskan CGK. Dulu pun waktu habis dibeli, aku langsung dimasukkan ke dalam sini. Nah, jadi benar kan, aku diajak jalan-jalan.

Sepertinya aku tertidur di perjalanan, karena sadar-sadar aku sudah ada di dalam kamar. Kamarnya rapi, tidak seperti kamar tidur A dan B. Tidak banyak barang berceceran di mana-mana. Ranjangnya lebih lebar, bantalnya dari bulu angsa. Jendela besar yang tirainya terbuka memajang pemandangan lampu kota dan kolam renang di bawah sana. Sepertinya kamar ini tinggi sekali di lantai ke-sekian. Oh, ini pasti kamar hotel bukan sembarangan.

Malam itu aku diajak main hanya sekali. Sisanya hanya menunggu di bangku cadangan, nggak terpakai lagi karena sepertinya stamina A sedang di puncaknya. Waktu sekali itu dipakai pun hanya sebagai pancingan sepertinya. B pakai high-heels, diminta A, tapi tidak pakai baju. Aneh-aneh saja. Lalu perempuan itu duduk di kursi dekat jendela, menghadap lelakinya yang berbaring telanjang di atas ranjang. Kakinya satu diangkatnya ke meja, memberikan A pemandangan luar biasa, sementara satu tangannya bermain di dada dan satunya lagi memainkan aku di kelentitnya. Jangan tanya aku dari mana tahu sebutan ‘kelentit’. Minggu lalu aku sempat lupa dimasukkan lemari dan semalaman tergeletak bersama kamus di samping ranjang.

Sepertinya A dan B sedang saling melampiaskan rindu setelah tidak ketemu berminggu-minggu. Akhir-akhir ini A sering sekali tugas keluar kota. Makanya aku dan B makin akrab saja. Makin akrab sehingga aku makin kenal tabiatnya. Seperti malam itu, aku tahu B sedang manja-manjanya pada A. Dan kalau sedang begini, kalau tidak dituruti, lelakinya itu harus hati-hati.

Awalnya ketika A minta waktu menonton bola, dia mengalah saja. Sampai akhirnya ketiduran karena sebelumnya mereka sempat menghisap lintingan ganja. Esok paginya, B sempat merajuk karena A tidak mau bangun untuk sarapan bersama.

“Kamu kan udah janji!” katanya kesal. Sementara A masih menutup mata, meringkuk di dalam selimut. “Ya udah, aku sarapan sendiri aja!” sentak B sambil berlalu keluar kamar. A membuka mata, langsung meraih ponselnya dan menelepon perempuannya yang sedang naik darah itu. “Iya aku ikut. Balik sini, tunggu aku,” katanya.

Mereka kembali ke kamar setelah sarapan dengan muka berseri. Ah, sudah baikan lagi, pikirku. Betul kan, mereka mesra-mesraan lagi pelukan di balik selimut. “Udah harus mandi nih, Sayang. Siapin bathtub-nya ya,” pinta A. B menurut dengan penuh kepatuhan terhadap pasangan hidupnya itu. Dia melangkah menuju kamar mandi, mulai menuangkan cairan sabun busa, dan menyalakan kucuran air hangat dari keran. Tak lama setelah air dan busa memenuhi setengah bak mandi, B mulai menanggalkan bajunya dan memanggil A, “Ayo Sayang, udah siap nih!”. “Iya, kamu masuk duluan aja,” sahut A dari ranjang. B curiga A ketiduran lagi, tapi lagi-lagi menurut saja dia berendam duluan.

Lima menit berlalu, A tak muncul juga di kamar mandi. B meraih BlackBerry-nya.
PING!!!
Pssst
Sini dong


Sepuluh menit, masih belum dibalas.
PING!!!
Dingin nih mandi sendirian
Temenin dong istrinya
Sombong ih


Masuk menit ke-limabelas:
PING!!!
Sayaaaanggg
Aku keburu masuk angin tau!


A masuk kamar mandi, akhirnya, sambil mengumpat, “Aku kurang tidur tau”. “Ah, selalu alasannya kurang tidur. Padahal emang doyan tidur aja kamu,” B ngambek, keluar dari bak mandi. “Eh, jangan dong, sini masuk lagi temenin aku,” A memohon. B diam tidak bergerak, menatap mata lelakinya itu tajam-tajam. “Pliiiiss,” mohon A lagi. B melunak dan bergabung berendam bersama dalam air hangat.

“Sambil dipijetin kayaknya enak nih,” pinta A sambil menyodorkan punggungnya. “Lihat tuh, busanya sampe abis!” seru B dengan nada masih ngambek, tapi tetap melayani A dengan pijatan lembutnya. Baikan lagi. Mesra lagi.

Sehabis mandi, B langsung bersiap-siap pergi. Dandan, lalu mengemas lagi pakaian ke dalam ranselnya. Sementara A, tiduran di atas ranjang tak berkedip menatap layar televisi.

“Tuh kan, Sayang, tadi aku disuruh buru-buru udah harus check out. Sekarang kamu santai-santai. Gitu deh kalo udah nonton film lupa semuanya,” sindir B.

“Iya, iya,” jawab A singkat.

“Sayang.”

“Hmm..”

“Sayang!”

“Apa sih?” akhirnya A menoleh juga.

“Aku mau ewi lagi dong,” B meminta dengan wajah memelas.

Akhirnya A beranjak dari ranjang. “Yah Sayang, udah nggak sempat. Udah harus buru-buru kita. Nggak apa-apa ya?”. Dipeluknya B, sambil dikecup keningnya.

“Huh, kalau nonton masih ada waktu ya, santai-santai aja. Ya udah, aku tunggu di luar ya. Buruan!” B ngambek lagi. Memakai ransel dan sepatunya, lalu menuju pintu kamar.

“Eh, tunggu dong. Hey! Nih, vibrator-nya ketinggalan!” seru A sambil menunjuk aku yang tergeletak di meja dekat jendela.

B mengambilku dan menyumpalku ke dalam ranselnya dengan posisi seadanya. Hup! Aku tahan napas, tiba-tiba berdesakan dengan pakaian dalam yang kotor.

“Aku gak suka kamu ngambek melulu begini ah,” kata A.

“Aku juga ngga suka kamu janji-janji palsu!”

“Janji palsu apa sih?”

B diam, kembali menuju pintu kamar, hendak keluar.

“Hey! Janji palsu apa?” A mulai terpancing, nadanya ikut meninggi.

“Mana? Katanya mau buka kamar mau ewi seharian? Kemarin aja janji dinner kamu malah nonton bola sampai aku ketiduran! Arrggh!” B membanting ranselnya. Melempar sepatunya. Lalu menghempaskan dirinya ke atas ranjang. Meringkuk menahan isak tangis.

Tapi A tertawa. “Hey,” katanya menghampiri B, “Sayang, kita sama-sama puas kan semalam. Sayang-sayangan seharian. Kamu mau apa sih?”

Perempuan itu masih diam meringkuk. A membalikkan badannya, menghapus air mata di pipinya. “Sayang,” katanya lembut, “kita gak apa-apa kok. Lihat, kita sempurna kok. Sini, cium aku.”

Sinar mata B terlihat berubah waktu A menyebut kata ‘sempurna’. Ya, mereka sempurna. Butuh apa lagi? Kenapa sedikit-sedikit B merasa masih kurang? Ia menyambut bibir A dan mengecupnya pelan-pelan. Lalu lagi-lagi mereka berpelukan.

“Yuk kita cabut,” ajak A sambil mengambilkan ransel B yang terguling di lantai. “Eh, Sayang, kok ransel kamu bergetar?”

B membuka ranselnya dan menemukan aku dalam keadaan tombol terpasang di posisi menyala. “Oh, ini ngga sengaja kali tadi nyala pas aku masukin.”

Bukan. Mereka nggak tahu, kalau aku waktu itu ikut terangsang melihat kemesraan seperti itu.

Pssst, jangan bilang-bilang B kalau aku cerita sama kamu ya, nanti aku nggak diajak jalan-jalan lagi.


Satu Puisi Satu Hari: #73 Bila Berang

Mana yang lebih diingat orang?
Engkau berbicara kencang-kencang
atau tulisanmu dengan tinta merah terang?
Lebih baik menulis puisi dengan diksi tajam tapi tenang.

Satu Puisi Satu Hari: #72 Enak Sekali

kamu menyukai ranjang di kamar hotel ini
katamu, enak sekali kalau punya yang begini di rumah sendiri
kusahuti, tapi buat apa kalau tetap saja tidur tidak ada yang menemani
kamu mengamini
lalu kita kembali menikmati – menekuni
betul, enak sekali ranjang ini
*gantung tanda “mohon jangan diganggu” di pintu kamar kami*

Satu Puisi Satu Hari: #71 Tanggal Merah

Mari buat Selasa ini menyenangkan!
Biasanya ia kurang perhatian –
karena datang setelah Senin yang banyak dibenci
dan masih jauh dari libur akhir minggu.
Ayo tersenyum, Selasa! Pancarkan harimu secerah-cerahnya.
Walaupun aku tahu, gerimis pun kamu tetap manis.

Satu Puisi Satu Hari: #70 Syarat

Cinta tanpa syarat itu bukan “mencintai karena”, melainkan “mencintai walaupun”.
Jaraknya sejauh apa engkau bersedia menyentuh hati dengan segala kerelaan yang kauhimpun.
Sementara syarat tanpa cinta itu cuma syahwat.
Jaraknya hanya selemparan cawat.

Satu Puisi Satu Hari: #69 Bangsat!

Kata-kata umpatan, makian, dan sumpah serapah tidak membuatmu terlihat tegar.

Tidak pula pintar.

Hanya kasar.

Sabtu, 04 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #68 260908-041210

Ya, sejak awal kamu sudah menjelaskan dan aku sudah cukup mengerti.
Ini bukan perkara tidur bersama hanya semalam, tapi juga bukan cinta yang abadi.
Cinta yang kamu punya ini manusiawi, akan kaucoba rawat selama-lamanya sampai kamu mati.
Dan karena kamu tidak bermulut manis mengucap janji, kepadamu aku berikan seluruh hati.
Jadi tunggu, waktu aku bertanya apakah kamu sungguh pasangan jiwaku itu bukannya aku ragu.
Hanya manja ingin mendengarnya keluar dari mulut kamu.

Satu Puisi Satu Hari: #67 Ckckckck

Malam mencuri celana dalamku.
Bulan sembunyi di balik awan, tak mau mengaku.
Burung Hantu tertawa: kuu kuu kuu.
Cicak tak pernah memihak, tak pernah berkomentar -- hanya berdecak.

Kamis, 02 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #66 Jawaban

Bunda Mata Hari mengetuk pintu kamarku.
Sudah hampir siang, aku tahu.
Tapi, ah, nanti dulu.
Masih ada waktu untuk tidak terburu-buru.
Walaupun begitu, kubuka sajalah pintu.
Oh, kutemukan kejutan, bingkisan menanti di kaki.
Dan aku akhirnya mengerti:
Tuhan menjawab doaku agak lama
karena dibungkus dulu pakai kertas kado aneka warna
dan hiasan pita-pita.
Kalau kita sabar, hadiahnya lebih bagus ya ternyata.
Tuhan bisa saja
kasih jawaban waktu tak diduga.

Rabu, 01 Desember 2010

Satu Puisi Satu Hari: #65 Kemarau

Lihat, Baskara tiba dengan dandanan mentereng.
Jubahnya kuning menyala mencolok mata,
kerahnya gemerlapan bertatahkan permata.
Wajahnya, oh, wajahnya!
Sejak kapan ia mulai bersolek demikian rupa?
Hey, Baskara! Hendak bertandang kemana?
Masakan ada pesta dan aku tak turut digandeng?
Hari ini aku mengundang semua
karena penghujan telah berlalu.
Semalam angin berbisik lewat tangkai-tangkai bambu
dan pagi ini kupancarkan cahaya seterik-teriknya.

Sebentar, biar kupilih dulu gaun terbuka
punyaku yang paling menganga
biar seluas-luasnya bidang kulitku
terbelai surai-surai sinarmu.
Lalu tetes-tetes keringatku akan berkilau.
Turut berbahagia untukmu, Baskaraku, selamat kemarau.

Satu Puisi Satu Hari: #64 12

Selamat datang, bulan ke-dua belas!
Semoga masih memberi kesempatan
bermain kata-kata untuk pekerjaan
yang kusebut kesenangan
dan berkarya untuk diri sendiri
yang kusebut rekreasi.
Semoga menjadi hitungan terakhir
untuk lepas landas di dua ribu sebelas.