Selasa, 08 November 2011

1Puisi1Hari: #24 Bulan Pertama




Bulan mengintip dari jendela. Malu-malu, dia.
Diundang masuk cahayanya setelah padamnya lentera. Tersenyum, dia.

Pantulan binarnya melompat-lompat pada kulit pengantin baru di malam pertama.
Berkilap pada butiran keringat pembuktian cinta.

Bulan mengendap ke balik awan. Jengahlah, dia.
Bahkan dengan gaunnya yang bertabur bintang, eloknya takluk oleh senyum pengantin yang serahkan keperawanan. Mengalah,dia.

1Puisi1Hari: #23 Serong

Kumohon jangan biarkan aku tertidur di pelukmu, yang sejatinya bukan tempatku.
Dekapan di dadamu itu masih tujuan untuknya pulang kapanpun dia mau.
Buatku, hangat itu hanya sewaktu-waktu.
Hanya bila keperluanku dan kebutuhanmu bertemu.

****

1Puisi1Hari: #22 Sebelum dan Sesudah

Rindu itu tumbuh, hujan menyuburkannya.


Rindu itu kembali. Ia hanyut dengan mimpi semalam tadi, namun terbit lagi seiring mentari.

Selasa, 01 November 2011

1Puisi1Hari: #21 Menyerah Pada Hari Minggu

Tentang hari yang disiapkan Tuhan untuk berhenti membanting tulang dan mengendus wangi melati.
Berhenti untuk pulang dan mengamini.
Dibasuh-Nya bekas jejak kaki dengan curahan tangis awan seharian,
supaya kita yang salah jalan kemarin tidak kembali pada setapak yang sama,
supaya janji memperbaiki diri dan mengubah arah bukan hanya rancangan,
supaya walaupun tidak ke mana-mana jadinya tidak tersesat jua.

Tentang hari yang dingin berangin dan bahkan siang yang menyerah tanpa perlawanan.
Dalam mendung aku bercakap dengan Bapaku.
Tidak di rumah-Nya, kujamu di rumahku.


1Puisi1Hari: #20 Sekarang, Kita

Kapan lagi waktu yang sahih selain saat ini
untuk berterima kasih dan sungguh mensyukuri,
bahwa tidak semua sejodoh sanggup melangkah berdua
beriringan memekarkan nafsi bersama,
berselaras akal, rasa, dan kekayaan sukma.
Bahkan bentangan jarak jasmani kian meneguhkan,
karena terpisah bukan berarti hilang arah dan tujuan
ketika sauh hati sudah kukuh ditambatkan.

1Puisi1Hari: #19 Bagaimana



Lengket -- namanya melekat di otak
Diusir pasir pun bergeming
Disapu ombak pun bertahan
Bagaimana cara melupanya?



Senin, 31 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #18 Lelaki

Usah kauminta belaian dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Tanpa ucapmu, lidahku suah mulai menggerayangi.
Siapa hendak menolak disuguhi ciptaan rupawan seperti ini?
Usah kautanya waktu yang sudah kita lewati.
Aku mau menikmatimu tanpa melihat arloji.
Hanya ingin mengecap sedap, pelan-pelan, pelan sekali.
Hampir seperti stagnasi.
Tanpa ejakulasi.

1Puisi1Hari: #17 Ganda, Ternyata

Tidak ada yang lebih menyiksa dibanding raga gelepar mencari udara.
Ternyata.
Sesak menagih akan O2, paru-paru memompa hampa.
Terasa dingin saat darah mengucur dari dada.
Genangan merah menjalar di ubin, di tembok, dan sela-sela.
Pada kilau pisau dia berkaca.
Oh, begini rasanya.
Ternyata.
Meninggalkan sakit dan menagih cinta pada Sang Pencipta,
aku membunuh pribadiku yang ke-dua.

Rabu, 26 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #16 Epilog

Sepersekian sekon adalah jeda yang terpanjang, ketika pergi adalah penantian untuk waktunya pulang kembali.

1Puisi1Hari: #15 Monolog

Aku melempar makian pada hempasan kutang yang kuyup peluh di lantai kamar
-- berbagi teriknya jam tiga sore dengan tirai jendela yang kian menguning.

Menunggal tidak pernah terasa segerah ini
-- ketika matari bukan lagi mengulum senyum, tapi tanpa santun pamerkan gigi.

1Puisi1Hari: #14 Prolog

Rentangan tangan adalah rumah terindah, ketika pulang adalah kembali pada teduhnya pelukan.

1Puisi1Hari: #13 Mati Rasa

Aku bisa merasakan hati yang membusuk pelan-pelan
Baunya menyuduk-nyuduk liang pernafasan

Hei, kalau ini benar rasa yang sudah mati
kenapa dia bangkit lagi dari pekuburan?

Aku bisa merasakan dengki yang merangkak ke permukaan
Bukan hantu, dia mayat hidup yang minta makan

Jumat, 21 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #12 Tidur Sendiri

Dengan siapa kamu tidur malam ini?
Masihkah sisi ranjang sebelah kiri angkuh dingin tidak terisi?
Detak detik jam dinding menghitung sepi yang terlewat tanpa kecupan di dahi.
Tidak ada lagi “selamat istirahat, aku cinta kamu sampai mati”.

Nyanyian serangga malam jadi pengantar hingga terlelap di batas pagi.
Sunyi adalah hati yang terjaga dengan rindu ingin berbagi.

Sesungguhnya, Sang Esa mendengar doa kita yang tidur sendiri.
Ada saatnya nanti, dia yang dimimpikan bersama kita membangun mimpi.

1Puisi1Hari: #11 Pesan Instan

Musuh kita bukanlah hanya kerasnya kepala
Tetapi tentara kata yang berbaris lewati jembatan media;
Unjuk kekuatan lewat layar berukuran senti saja –
Bersenjata antena penjaja sinyal berjanji surga –
Yang nyatanya: kadang tiba di medan perang, kadang tertunda.

Ini serupa argumen salah paham karena pesan instan tak juga diterima.
Sabar, ya.

Rabu, 19 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #10 Ngilu

"Pikir-pikir lagi kalau kau hendak main serong dengan si mulut manis itu!
Olehku, batangmu akan dimutilasi lantas digantung di atas pintu!"

Selasa, 18 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #9 KRIIING!



Selamat, pagiku!
Embunmu berbaris di sela-sela kaca jendela,
di balik dedaun pun, mereka.
Dititiskan udara saat bulan masih berjaga.
Semangat, pagiku!
Cerahmu memantul di cermin-cermin perawan,
di pipi kanak-kanak, mereka.
Dipancarkan matari untuk semua jiwa.
Pagi, pagiku!
Salam ini untukmu, yang acap dicaci penggerutu.
Tidak suka dering beker, mereka,
inginnya lelap sahaja.

Senin, 17 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #8 Bila Kita

Bahagia menjadi sedikit kurang sederhana
Tapi saya tidak menolak bila ada kali ke-dua
Menyeruput gelato di kios berhias neon dekat alun-alun waktu purnama
Sambil menapaki jalan-jalan berbatu di kota kecil di Italia

Mungkin bila bulan madu kita?

1Puisi1Hari: #7 Kawin Paksa

Miris
Cincin di jari manis meringis
Ia dipinang oleh rasa bersalah
Dengan dendam ia menikah

Malu
Kepalkan tangan sembunyi-sembunyi
Meski didendangkan bidadari
Keputusan telah terketuk palu

Percayalah. Semua akan indah.
Pada waktunya. Tidak terpaksa.


1Puisi1Hari: #6 Vakansi

Aku ingin rekreasi menuju lekuk-lekuk tubuhnya.
Telusuri gunung dan lembah kulit hangatnya.
Mereguk segar mata air dalam senyum tulusnya.
Mengulum bulat-bulat manis buah tak terpetik.
Bermanja-manja dalam rasa bagai terculik.
Vakasi, melarikan diri dari realita tak terusik.

*seperti diperkosa, padahal rela*

Jumat, 14 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #5 Ini Hanya Masalah Waktu

maafkan, sayang
masa laluku tidak ternilai
tak akan terbeli bila kautawar

tapi ini, ambillah masa depanku
yang untukmu sebenarnya sudah laku
sekalipun tidak kujual

di etalase terpajang wajah anak-anak kita
menunggu dibayar dengan tunai
mata uang yang berlaku: kepingan hati

1Puisi1Hari: #4 Empat

Sungguhnya jarak ini tak bersekat
Hembus nafas membelai wajah, hangat
Mata beradu tatap, lekat
Detak jantung terdengar lamat-lamat

Mohon jawabannya, Sahabat
Bila dia semakin dekat,
kenapa gelombang rindu semakin hebat?

Rabu, 12 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #3 Sudah Lupa

Sampai berjumpa lagi, lelaki pembunuh rasa.
Kamu, akan kusimpan bagai sketsa kemarin sore.
Dia, akan kujelang seperti kabut esok pagi,
dan malam kami akan berhias kunang-kunang.

Aku, melupakanmu di atas ranjang berkelambu.

Selasa, 11 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #2 Misuh

Peluh jatuh, butirannya penuh-penuh.
Sementara perut bergemuruh.
Badai apa yang sedang kauramu, cecacing?
Belum puas lihat aku mondar-mandir jamban teraduh-aduh?
Misuh – diare belum jua sembuh.


(foto oleh @adelpasha)

Senin, 10 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #1 Hidung

Bulu mata palsu lambaikan salam tanpa malu.
Ketika Hidung Belang mencari nirwana
yang terselip di antara kaki betina.

Gincu serona ungu jadi tanda lunasnya nafsu.
Ketika kumis tipis belai bibir Pelacur
yang malam ini tak jadi menganggur.

Selesai di ronde pertama – tiada pemenang maupun pecundang.
Ingat anak-istri, Hidung Belang lalu pulang.
Dan Pelacur kembali menjalang.


Cat kuku merah jambu jadi saksi bisu.
Ketika lubang hidung diperkosa kelingking
yang merampas paksa upil kering.

Sabtu, 10 September 2011

21Pertanyaan: Pertanyaan No.3

Pertanyaan no.3

“Kapankah cukup itu sudah cukup?”

Sabar dan ikhlas berada di puncak daftar mata pelajaran hidup di mana saya paling sering dapat nilai merah. Tak lulus, malah. Wajar, karena tak cuma sekali-dua saya bolos dari kelas. Kalau begini, kapan bisa naik ke tingkat sabar tanpa batas?

Nah, seharusnya sabar itu berbatas atau tidak? Kalau kata ‘seharusnya’ terdengar terlalu keras, saya lembutkan jadi ‘sebaiknya’. Sebaiknya sabar itu berbatas atau tidak, menurutmu? Mungkinkah batasnya sabar adalah kebijaksanaan? Maksudnya, kalau sabar terus-menerus dizalimi orang lain, apakah bijaksana membiarkan kezaliman dibiarkan terjadi atas diri sendiri begitu saja?

Ini membawa kita pada kata “maaf”. Memaafkan, tepatnya. Orang yang penyabar biasanya pemaaf. Orang pemaaf biasanya pemberi kesempatan kedua, ketiga, dan seterusnya. Nah, itu dia. Seterusnya apa ada batasnya? Kapankah waktunya berkata, “Cukup, saya sudah tidak bisa memberikan kesempatan lagi.”? Mungkin memang sebaiknya memaafkan itu dibedakan dari pemberian kesempatan berikutnya. “Ya, saya maafkan, tapi maaf, tidak lagi dapat memberi kesempatan,” begitu?

Bagaimana dengan kasus lain, seperti misalnya sudah mencoba berkali-kali tetapi tetap gagal terus? Kapankah akhirnya kita menyadari kalau memang tidak bisa ya tidak bisa saja. Cukuplah sudah mencoba. Tidak usah keras kepala. Keras di bagian tubuh lain saja, yang lebih menggugah selera (OH!).

Seorang teman yang saya berikan pertanyaan ini menjawab, “Tidak akan pernah ada kata ‘cukup’.” Saya hanya berdoa, semoga dalamnya hati yang tak terukur dan luasnya semesta yang tak terkira masih membuka sejuta kemungkinan bahwa keadaan (apapun itu) akan menjadi lebih baik, kalau kata ‘cukup’ memang tidak pernah akan terucap. Silakan bertanya pada Sang Dosen ketika kamu duduk di kelas kesabaran dan keikhlasan: “Kapankah cukup itu sudah cukup?”.

Jumat, 09 September 2011

21Pertanyaan: Pertanyaan No.2

Pertanyaan no.2

“Apakah ini cukup berharga untuk dipertahankan?”

Bagaimanakah cara kita menilai suatu hubungan itu dalam tingkatan tidak berharga, kurang berharga, cukup berharga, sangat berharga?

  1. Apakah dengan hitungan berapa lama hubungan sudah terjalin?
  2. Apakah dengan melihat seberapa besar pengorbanan yang sudah dilakukan kedua belah pihak untuk mempertahankan kelanjutan hubungan?
  3. Apakah dengan besarnya jaminan masa depan yang lebih baik bila hubungan terus dilanjutkan?
  4. Apakah dengan pertimbangan seberapa positif dukungan keluarga kedua belah pihak untuk dipertahankannya hubungan itu?
  5. Apakah dengan perbandingan seberapa besar pasangan mengerti kita dibandingkan dengan jejeran mantan sebelumnya?
  6. Apakah dengan sebagaimana kita telah tergantung pada pasangan untuk menjalani hari demi hari?
  7. Apakah dengan menimbang seberapa manis janji yang dia ucapkan untuk kebahagiaan kita dan/atau bersama?
  8. Apakah dengan mengukur seberapa tergila-gila kita padanya yang selalu membuat rindu sehingga makan tak enak dan tidur tak nyenyak?
  9. Apakah dengan seberapa mapannya pasangan dan kestabilan keuangan?
  10. [ isi sendiri pertimbangan pribadimu di sini]

Saat keragu-raguan untuk memutuskan antara terus melangkah berdampingan dengan orang yang sama atau menghentikan perjalanan sampai di sini saja itu muncul, inilah pertanyaan yang sebenarnya: Apakah hubungan ini cukup berharga untuk dipertahankan? Untuk setiap jawaban “ya” pada pertanyaan 1-9 di atas, saya punya antitesisnya:

  1. Berapa lama hubungan sudah terjalin tidak menjamin kualitas hubungan itu sendiri. Saya yakin semua setuju. Kalau tidak setuju, mungkin hanya tidak mau mengaku.
  2. Buat saya, ketika pengorbanan mulai masuk dalam hitung-hitungan, saat itulah rasa cinta mulai menipis. Karena apapun yang kita lakukan demi cinta seharusnya tidak tersebut sebagai pengorbanan. Tidak ada yang dikorbankan. Semua direlakan. Bukan?
  3. Hanya Tuhan yang bisa menjamin masa depan. Dan menurut data statistik, 90% dari kekuatiran kita tidak akan terjadi, sementara 10% sisanya di luar kendali kita. Masih kuatir masa depan tidak terjamin kalau tidak bersama dia?
  4. Keluarga memang berperan cukup besar dalam menentukan kelanjutan hubungan. Tapi yang menjalankan tetap kita. Sesimpel itu saja.
  5. Ingin dimengerti orang lain adalah kebutuhan dasar manusia. Bagaimana bisa hidup bersama-sama kalau tidak ada saling pengertian? Tapi, kembali lagi. Membanding-bandingkan kisah baru dengan kisah lalu, menurut saya bukan tindakan yang bijaksana. Setiap hubungan punya nilai-nilai dan batas-batas toleransi masing-masing. Bukankah, sesungguhnya, tidak ada seorangpun di dunia ini yang bisa kita ubah selain diri kita sendiri?
  6. Aaah, ketergantungan. Ya, ya, ya. Porsinya kita sendiri yang mengatur. Tapi sepertinya dari semua tulisan tentang hubungan percintaan, tidak ada yang berteori bahwa ketergantungan yang berlebihan itu baik. Kehilangan identitas diri adalah awal kekacaubalauan. Percayalah, mantan pacar saya pernah mengalaminya (EH!).
  7. Janji manusia tidak ada yang bisa dipegang. Tidak ada. Selama pasangan kita masih manusia, jangan pernah menaruh kepercayaan 100%. Sekian dan terima persenan.
  8. Nah, ini agak berat ini. Kalau kamu sudah pernah merasa tergila-gila pada seseorang, pasti tau rasanya ingin membelah kepala, mengambil otak dari dalam sana, dan mencucinya bersih-bersih dengan deterjen berbutiran super untuk mengeluarkan pikiran tentang dia yang tak hilang-hilang juga. Namanya juga jadi gila. Apa-apa dia. Apa-apa dia. Itu baru bicara soal yang di kepala, belum yang di hati. Maaf, untuk poin no.8 ini saya juga lemah.
  9. Percaya saja, rejeki tidak akan kemana-mana kalau kita mau usaha. Kesadaran untuk memiliki kebiasaan mengatur keuangan yang baik bisa dipelajari, terutama kalau hubungan semakin serius ke jenjang yang lebih tinggi. Asalkan kita tidak menjadikan uang sebagai tolok ukur kebahagiaan. Karena dengan begitu kita justru tidak akan pernah bahagia. Ah, saya terdengar seperti motivator di tivi ya.

Jadi, apakah semua cara menentukan berharga atau tidaknya sebuah hubungan tadi salah? Tidak juga. Tergantung tujuan kita memilih pasangan. Tapi kalau saya, daripada membiarkan otak memikirkan pertanyaan-pertanyaan tadi, lebih baik melemparkan satu pertanyaan saja pada hati: “Apakah ini cukup berharga untuk dipertahankan?”. Hati tahu jawabannya lebih dulu, jauh sebelum otak memproses tanda tanya itu.

Kamis, 08 September 2011

21Pertanyaan: Pertanyaan No.1

Pertanyaan no.1

"Apakah saya meminta terlalu banyak?"

Cinta itu memberi dan menerima. Katanya. Dan saya mengiyakannya. Lalu seberapa banyak kita memberi dan menerima seharusnya tidak terikat dalam ukuran metrik apapun. Tidak senti, gram, maupun ton. Bukan juga terhitung seperti dosis minum obat – berapa kali sehari, berapa sendok teh, berapa butir, sebelum atau sesudah makan. Mohon koreksi saya bila salah. Bila benar, ya mengangguk saja dalam hatimu.

Lalu setelah kita memberi, pantaskah kalau kita meminta? Saya tidak bicara soal meminta harta, tapi yang lainnya – seperti perhatian, belaian, bahkan sekedar senyuman. Hmm, maaf, sepertinya pertanyaan tadi harus disusun ulang menjadi: Pantaskah kalau hal-hal itu masih diminta? Bukankah seharusnya otomatis diterima, tanpa harus dipertanyakan lagi ada di mana? “Mana perhatiannya? Mana belaiannya? Mana senyumnya?”

Ah ya, cinta romantik yang tulus tanpa mengharap apapun kembali itu, jarang sekali orang yang punya. Mengaku saja. Iya kan? Garis bawahi pada kata romantik, ya. Karena berbeda dengan kasih Ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai Sang Surya menyinari dunia.

Dari sekian tahun pengalaman jatuh cinta, bangkit, lalu jatuh lagi, lalu bangkit, jatuh, berkali-kali sampai malam ini, saya berani menyimpulkan begini:

  1. Hanya karena seseorang tidak mencintai kita sebagaimana kita ingin dicintai, bukan berarti dia tidak mencintai kita dengan sepenuh hati. Cara manusia mengungkapkan cinta itu berbeda-beda. Yang satu suka beri kejutan, yang satu memberi kebebasan. Yang satu selalu malu-malu, yang satu setiap hari bilang “I love you”.
  2. Tidak ada standar bagaimana kita seharusnya diperlakukan oleh pasangan. Bahkan tidak juga ditentukan oleh pengalaman dengan sang mantan. Membanding-bandingkan yang sekarang dengan yang sudah lewat di belakang itu tidak diperkenankan. Demikian.
  3. Perlakukanlah orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, tapi jangan berharap orang lain pasti akan memperlakukan kita seperti yang kita inginkan. Hanya karena kita sering membanjiri orang yang kita sayangi dengan perhatian dan belaian, bukan berarti kita pasti akan mendapatkan perlakuan yang sama dari sang objek kasih sayang.
  4. Berharap untuk mendapat ungkapan cinta kembali, bukan berarti tidak mencintai dengan tulus hati. Ayolah, namanya juga berpasangan. Sepasang. Ada dua orang. Berarti dua arah. Begitu yang menyehatkan, ya kan? Jadi buat saya, jangan ragu untuk meminta, kalau memang dirasa ada yang kurang. Masalah nanti akan diberikan atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting kita sudah mengungkapkan keinginan. Yang penting kita tidak menganggap pasangan bisa membaca pikiran.

Nah, lalu, sampailah kita pada pertanyaan ini: “Apakah saya meminta terlalu banyak?”. Memang, kembali ke paragraf pertama, tidak ada takaran sebanyak apa ungkapan kasih sayang bisa diukur. Kecuali harta, ada nominalnya. Jadi, terlalu banyak adalah ketika orang yang dimintai mulai merasa keberatan. Yang sulit adalah ketika kita masih merasa tidak berkecukupan, sementara pasangan menganggap sudah berkelebihan. Bagaimana ini?

Ketika saya sakit dan berharap dimanja olehnya sementara waktunya sedang dimakan pekerjaan, apakah saya meminta terlalu banyak? Ketika dia punya teman perempuan dan bercanda menjurus ke menggoda lalu saya memintanya untuk berhenti berteman, apakah saya meminta terlalu banyak? Dan kamu, teman, pasti punya ketika-ketika lain yang diakhiri dengan pertanyaan yang sama.

Sabtu, 20 Agustus 2011

Tamat (Cerita Betari)

Cerita singkat dari sini , lalu ke sini , sampai ke sini:

Betari masih laksmi. Tubuhnya kian meranum, lekukan-lekukan molek yang membakar berahi. Kainnya tersibak jajakan mulusnya tungkai kaki. Namun Pangeran Penyesalan takkan sanggup membeli. Kesempatannya sudah pun lewat untuk mencicipi.

Ah, Si Pongah, betina manapun yang kini kaupanggil Bidadari tidak akan sanggup gantikan Sang Betari. Bahkan tak sejengkal pun bisa bisa mendekati.

Betari menimang mahkota bertatah bintang, telah bersanding ia dengan Raja dari Seberang. Kepada Pangeran, ia melempar selendang usang, dengan senyum penuh menang.

Keping-Keping Lama yang Tersisip

(Hening tak ada kamu)
Tak bergerak. Pun tak berdetak. Aku jemu.
Sungguhnya aku rindu. Tapi malu.
Malu atau tidak mau?
(Kamu paham. Aku diam)
Tak ada suara. Desah sahaja.
Dingin tak ada kamu.
Peluhku beku. Tangisku sayu. Aku biru.
(Dalam senyap kumengerjap)
Aku lelah bermain sepi.
Namun lebih baik sendiri.
...
(Hening hanya aku)
Keping Satu - 080408


Semalam kamu harum.
Matamu bulat. Bibirmu ranum.
Aura merah muda dengan tanda tanya.
"Kita bahagia?"
(Kamu senyum. Aku belum)
Tutur kata aku tata.
Tak boleh ucapkan cinta. Jengah semata.
(Ini realita. Kita tidak buta)
Aku lihat kamu dari sini.
Kamu sentuh aku dari hati.
(Kita masih begini)
Romantisme berduri. Aku ngeri.
Keping Dua - 100408


Semalam kamu indah.
Tatapmu lekat. Pipimu merah.
Tangan bawa angan penuh perhatian.
"Kita berdampingan."
(Kamu genggam. Aku lebam)
Perasaan enggan dihapus.
Walau mimpi hampir hangus. Masih terus.
(Ini serius. Kita terbius)
Kamu belum beranjak juga.
Aku masih berjaga-jaga.
(Kita masih berlaga)
Romantisme berduka. Aku luka.
Keping Tiga – 210408


...
Bangsat!
(Aku penat dan mengumpat)
Luka melepuh tak jua sembuh.
Ingin disentuh walau rapuh.
(Aku butuh)
Tanyakan asa 'ku tak kuat.
Ikuti rasa 'ku tersesat.
Kalut.
(Sudah larut, bulan menuntut)
Tubuh geliat di malam pekat.
...
Keparat!
(Aku lumat dan menghujat)
Keping Empat - 220408


Kepada dia aku jadi buta warna.
Nila tak bermakna. Jingga biasa.
Kelabu ronanya semua sama.

Kepada dia telingaku tak dengar suara.
Lagu tanpa nada. Ucapan hampa.
Angin hanya membawa hawa.

Kepada dia mulutku tak bisa bicara.
Tak bisa bertanya. Diam saja.
Ungkapan berupa tulisan prosa.

(Kepada aku, dia tak tahu jawabannya.
Maka palingkan muka. Tak apa.
Aku masih temannya yang setia.)
Keping Lima - 020508


Cinta lelap lagi
Dengkur dipelukmu
Tak sapa kabut pagi
Pun tak rindu malam hari
Ia tak terjaga
Ringkuk dipangkumu
Hanya tunggu binasa
Atau bangkit berkuasa
Hati tidur pulas
Peluh di dadamu
Gerah terus bergegas
Kejar waktu yang terbias
Keping Enam - 050608

Sabtu, 02 Juli 2011

Selamat Malam, Jangan Lupa Gosok Gigi!


“Sewaktu malam mulai menancapkan pancang-pancang kegelapan, kamu membisikkan kasih sayang yang gemerlapan. Aku tidak lagi takut sendiri. Hei lelaki, tahi mata besok pagi sisaku bermimpi malam ini adalah ampas pergumulan kita dalam liarnya fantasi. Kapan berkelindan lagi?”

Selamat tidur terselip di antara gigi yg belum tergosok, untuk dia yg belum tentu kutemui esok. Rinduku tak perlu diobati, ia ternikmati.

****

Puisi (Bukan) Bunga Lili

Ruang sela yang nisbi dan hitungan tanpa hari tidak memudarkan rajah namamu di jantung hati. Tidak sama sekali. Namun kolom-kolom dalam jurnal kosong menunggu ditandai tanpa absensi, bukti kehadiran senyummu setiap pagi. Tolong diisi.

****

Linimasa sepi. Atau mungkin keramaian cuma terasa sendiri karena kamu belum berpuisi? Aku mau kaurangkai lagi jadi bait bunga lili!

Punya Dia

Kelok tajam yang terlewat setelah persimpangan jalan kita masih berbau kenangan rupa-rupa. Setapak tidak lupa. Aku menghapus titik-titik rasa untukmu yang masih tersisa dengan garis-garis waktu bersamanya. Dia yang kupunya.


Lalu pilu, yang menorehkan durinya di mata hatiku, membutakan asa yang pernah ada di satu masa. Dendam berkuasa. Kamu tinggal fatamorgana yang antara nyata dan tiada. Sudah tergantikan oleh peluknya. Dia yang malam ini kupunya.


****

Rabu, 25 Mei 2011

Malu

Rajah di dua lenganmu menyambut pinggul si pemalu.
Terlucuti gaun dan terlepas kaitnya pengampu susu.
Cawatnya basah tersentuh jari tengahmu.
Detik itu ia milikmu. Ia dan jurang di antara dua tungkainya itu.

****

Lelaki, bangunlah lebih lekas dari burungmu.
“Kuluman kemarin masih terasa di puncak bukitku.”
Salahkan cermin di langit-langit yang jadi candu.
Karena itu, ia bukan lagi malu-malu.

****

“Hari ini kamu milikku. Kamu dan kelaminmu.”

Senin, 23 Mei 2011

Cemburu

Ia memandang ke seberang. Jauh, jauh ke seberang. Menyeberangi lautan. Melewati garis cakrawala dan batas pandangan. Bukan ke masa depan, tetapi pada masa lalunya yang terbentang di lain daratan.

Ia cemburu.

Pada redup bulan dititipkannya kedipan sebelah mata. Berharap yang di sana masih tergoda, saat menatap langit yang sama. Tapi ia tahu, yang dirindu sedang kagumi bola mata yang berbeda – menyusuri molek tubuh yang menantang berahinya.

Ia merasa lebih kecil dibanding butir kotoran yang terselip di bawah kukunya. Lebih tidak berdaya dibanding layangan putus tanpa benangnya. Lebih hancur dibanding serangga yang terinjak alas kakinya. Hatinya membiru. Tidak. Mengungu. Lebam dihantam haru.

“Pantaslah malam kembali tak berbintang, kerumun awan menghadang. Hujan membayang. Sepi menggenang,” batinnya.

“Sayang, kasih sayang menjadi debu terbakar hasrat yang terlalu menggebu. Mengapa harus cemburu bila ia memang bukan milikmu?” bisik angin.

Ia berlindung dalam selimut tanpa nyawa. Hangatnya maya.


****


Senin, 16 Mei 2011

Terbang Pulang

P

Buatku, bandara adalah sarang melodrama, di mana air mata pertemuan dan perpisahan membaur dalam satu bangunan. Di terminal kedatangan: bertebaran peluk sambutan dan kecup selamat datang. Di terminal keberangkatan: bergayutan senyum pelepasan dan salam sampai jumpa lagi -- berat hati karena yang pergi kadang tak pernah kembali. Di situlah aku terakhir melepas gandenganmu.

Tidak banyak yang kubawa dalam perjalanan ini. Hanya sebuah tas punggung berisi pakaian kotor. Karena kamu tahu, aku akan pulang kembali, bukan pergi bervakansi. Sementaraku di kota ini sudah sampai di ujungnya, sekedar menyapa kawan-kawan lama dan keluarga. Dan kamu, yang mengisi hati lebih berat dari isi bagasi.

Sekarang di sini, ruang tunggu menjadi saksi berlidah kelu, yang mendengar dan menyaksikan. Bangku-bangku yang berderet kaku disinggahi hangat badan-badan calon penumpang yang menanti untuk terbang. Kesempatan terakhir untuk mengungkap kasih sayang lewat telepon genggam sebelum (harusnya) dimatikan nanti di dalam perut pesawat. Jadi kukirim pesan untukmu begini: “Wangimu masih lekat di hidungku. Keringatmu masih terasa di ujung lidah.” Lalu telepon kumatikan, tidak ingin membaca balasan yang menguras emosi.

Di depanku baru duduk seorang lelaki berkemeja. Tentengannya hanya dua, sebuah tas komputer jinjing dan kantong plastik berisi roti yang aku yakin baru dibelinya tadi di terminal ini. Disobeknya bungkus roti dengan cabikan gigi. Sepertinya lapar sekali. Kunyahnya tergesa, ingin segera ditelannya gumpalan roti campur liur lewat kerongkongan. Lewati rongga perut dan membungkam cecacing yang mulai meronta. Kiranya hendak bertemu siapa dia di kota tujuan? Adakah yang menjemputnya dan menyambut dengan pelukan?

Cekikik sekelompok gadis berkulit pucat susu membubarkan fantasiku. Terdengar dari percakapan dan pakaian siap berlibur, mereka mencari rona di muka. Ya, gadis-gadis, gelapkanlah kulit kalian yang transparan. Carilah hiburan dan tabunglah pengalaman. Berwarnalah sedikit. Biarkan pipi-pipi licin kalian merah diciumi matahari. Lalu, sampai di pulau nanti, carilah lelaki. Tapi jangan berharap mereka akan cinta mati, paling hanya sampai akhir minggu usai – lalu lupa lagi.

Lihat kan, semua orang bertujuan. Mereka berencana, menyiapkan perjalanan, lalu menentukan waktu untuk lepas landas. Si lelaki berkemeja, gadis-gadis pucat, bahkan sekelompok ekspatriat dengan logat lekat di sebelah sana, juga keluarga muda dengan bayinya, dan manusia-manusia lain di ruang pengap ini. TAPI MENGAPA AKU PERGI SENDIRI? Kamu selalu hanya akan jadi tempat persinggahan, tidak pernah ikut pulang! Bahkan menentukan arah bersamaku pun sepertinya enggan. Kamu akan selalu di Utara, aku di Selatan. Kutub yang berseberangan namun tarik-tarikan.

Sebelum aku menginjak halaman rumahku nanti, semoga keseratus milyar sel syaraf otakku ini sudah tak lagi mendengungkan namamu. Supaya saat anakku menyambut kepulanganku dengan tangan-tangan kecilnya, ia tetap tak curiga. Supaya ia tetap percaya, suamiku adalah ayahnya. Supaya ia tidak mengenal kamu yang menanam benihnya.

****

Minggu, 15 Mei 2011

-- Adalah.

Pagi adalah kemewahan -- arak-arakan awan dan matari yang mengajak berkawan.

Malam adalah kesederhanaan -- kerlipan gemintang dan bulan yang menyayang.

Mimpi adalah harta -- rentetan harapan dan manisnya angan-angan.

Jujur adalah wajahmu selagi tidur.

****

Selasa, 10 Mei 2011

Selamat Pagi


Selalu ada selamat pagi terselip di antara geligi yang belum pun kau gosok sedari malam.
Lalu kecupmu itu, yang kugandrungi, mendarat lekat di dahi.

Tanya tetap menggantung di atas setiap tatap -- acap menguap dalam diam.
Tidak ada tenggat yang harus ditepati, sekarang maupun nanti.

Sayang, mimpi yang kita nikmati subuh tadi hanya berakhir jadi tahi mata yang hitam.
Matari yang mengetuk jendela mengeringkannya hingga terseka di pipi.

Pulanglah, bila setengah hati masih dipendam.
Namun tetap tinggal, bila atap yang kausebut rumah sungguh di sini.


****

Senin, 09 Mei 2011

Jakarta dan Bali

Liur apa yang kautinggalkan saat mengulum lidahku tadi?
Mengapa racunnya meresap sampai ke hati, buatku merindu ciummu lagi?
Getarannya masih terasa sampai ujung jemari.
Hei, Lelaki! Mari kembali!
Bibirku meranum, menagih janji.

****

Minggu, 08 Mei 2011

Jurnal Bantal 8 Mei 2011

Kumpulan Doa untuk Semua


Hari baik untuk semua! Untuk yang jatuh cinta dan tergila-gila, untuk yang patah hati dan tersakiti. Lihat, kita masih berbagi cahaya matahari!

***

Selamat pagi untuk semua. Untuk yang dibohongi dan dicibir, untuk yang memaafkan dan tertawa paling akhir.

Selamat Rabu untuk semua. Untuk yang merasa, mengaku, sudah, dan tidak akan pernah berubah -- mari sapa hari yang baru.

Selamat pagi untuk semua! Untuk yang masih bisa tertawa, untuk yang belum berhenti menangis, dan untuk yang senyum-senyum sendiri.

Selamat pagi untuk semua! Untuk yg tersiksa rindu dan ingin bertemu, untuk yg mulai bosan dan mau berpisah, untuk yg di persimpangan dan tak tahu jalan.

Selamat pagi untuk semua. Untuk yang bermuka dua, untuk yang berstandar ganda, untuk yang bergunung kembar.

Selamat tidur untuk semua. Untuk yang setia dan yang mendua. Untuk yang rela berbagi dan egois sendiri. Untuk yang mendendam dan memaafkan.

Selamat malam untuk semua. Untuk yang mengingkari dan menepati. Untuk yang melupakan dan mengenang. Untuk yang terlelap dan terjaga.

Selamat siang untuk semua. Untuk yang tidur malam dan bangun pagi, untuk yang tidur pagi dan bangun siang, untuk yang baru sarapan dan sudah makan siang.

Selamat pagi untuk semua. Untuk yang terlambat dan terlalu cepat. Untuk yang menunggu dan ditunggu. Untuk yang mengejar dan dikejar.

Selamat istirahat untuk semua. Untuk yang sadar dan yang mabuk. Untuk yang lamban dan yang buru-buru. Untuk yang besar dan yang kecil.

Selamat pagi untuk semua. Untuk yang belum tidur dan sedang mimpi. Untuk yang sudah pergi dan belum berangkat. Untuk yang hangat dan basi.

Selamat pagi untuk semua. Untuk yang kepagian dan kesiangan. Untuk yang masih rindu dan sudah bosan. Untuk yang kekenyangan dan kelaparan.

Selamat pagi untuk semua. Untuk yang baru kenalan dan sudah berkawan. Untuk yang masih pacar dan sudah mantan. Untuk nasi dan ketan.

Selamat pagi untuk semua. Utk yang lancar dan yang mampet. Untuk yang santai dan yang kebelet. Untuk yang "cuma temen" dan yang "lagi deket".

***

Selamat pagi untuk semua. Untuk yang pergi dan yang pulang. Untuk yang sendiri dan yang sepasang. Untuk yang dulu dan yang sekarang.

Sabtu, 07 Mei 2011

Jurnal Bantal 7 Mei 2011

Sekian.

Kita punya dua mata dan satu mulut. Artinya boleh banyak melihat, tapi yang dicium tetap cuma satu.

Kita punya dua lengan dan sepuluh jari. Artinya yang dirangkul bisa dua, tapi yang dicolek bisa banyak.

Kita punya dua lubang hidung dan satu dubur, agar bisa menarik nafas lebih sering dari membuang angin.

Kita punya dua lubang hidung dan sepuluh jari tangan supaya tidak bosan-bosan mengupil -- bisa ganti-ganti jari sesuka hati.

Kita punya satu mulut dan dua telinga supaya lebih banyak mendengar dibanding bicara. Faktanya mulut perempuan ada dua.

Kita punya satu mulut dan dua telinga supaya lebih banyak mendengar dibanding bicara. Faktanya lelaki punya microphone sendiri.

Kita punya satu hati supaya bisa mendua. Kalau punya dua hati bisa mengempat – kebanyakan.

Kita punya otak di atas mulut supaya berpikir dulu sebelum bicara. Faktanya ada orang yang otaknya di dengkul.

Sekian dan demikian.

Rabu, 30 Maret 2011

Jam Empat Pagi

C

Aku masih menggigil kedinginan waktu mengetik pesan singkat untuknya. “Aku kedinginan, nih. Sampe gemeteran.” Lalu kutekan tombol enter di ponsel cerdasku, disusul tombol power di remote AC.

Dalam hitungan detik, panggilan telepon darinya berdering masuk.
“Halo?”
“Kamu nggak apa-apa?”
“Giting. Kedinginan.”
“Aku ke sana ya?”
“Hmm.” Nada dehamku mengiyakan. Sedikit ragu.
“Tanggung juga aku mau pulang, udah jam setengah tiga begini. Aku numpang tidur di tempatmu ya?”
“Hm-m.” Sedikit lebih pasti.
“Nanti jam sembilanan juga aku udah harus cabut.”
“Iya.” Paling pasti. Sambungan lalu mati.

Dalam selimut, menunggu dia mengetuk pintu, aku menilai ulang penampilanku. Keadaan rambut yang agak kusut, hidung sedikit kilap berminyak, sisa maskara di bawah mata, kaus tidur nan gombrong – bukan lingerie, perut kencang penuh terisi nasi goreng sosis babi, dan.. ah, sebenarnya aku tidak terlalu peduli. Biar saja dia lihat bentukku yang seperti ini. Tak perlu lah aku bersolek lagi. Toh aku tidak merasa perlu dinilainya menarik lagi.

Dia? Siapa dia? Aku selalu kesulitan menjelaskannya. Teman? Ya, kami sering bertukar cerita, bahkan yang paling pribadi. Teman, tapi mesra? Ah, basi! Tapi kadang-kadang kami memang mesra. Sekali-sekali. Tidak sering. Jarang. Ya, kadang-kadang. Teman tidur? Dulu, pernah. Satu-dua kali. Eh, atau tiga ya? Aku lupa. Dulu itu, beberapa tahun lalu, waktu kami masih sama-sama (mengaku) lugu. Yang pasti sejak dulu tidak pernah ada ucapan bahwa kami ini ‘sepasang’. Ya, kautafsirkan sajalah sendiri bagaimana hubungan kami ini.

Beberapa minggu ini kami mulai dekat lagi. Aku bahkan tidak ingat kapan babak drama ini dimulai kembali. Selalu begini. Mungkin lebih seperti komedi. Karena begitulah biasanya kami, saling menghibur diri lalu hanyut lagi. Tidak tanpa sengaja, karena memang suka. Hanyut itu membiarkan diri lepas kendali. Sekali-sekali memang perlu, harus diakui.

Kurang lebih setengah jam, aku dikejutkan suara ketukan. Sudah tiba dia? Ah, bahkan suara mobilnya masuk halaman pun tadi tidak kedengaran.

Berusaha sesantai mungkin aku beranjak membukakan pintu. Sedikit melirik ke cermin di meja rias yang kulewati, lalu sekejap teringat bahwa aku (seharusnya) tidak peduli.

“Hey,” sapaku saat pandangan kami beradu di ambang pintu.

“Masih kedinginan?” tanyanya. Tanpa kecupan. Tanpa pelukan.

“Dikit.” Bahkan tidak ada basa-basi ‘dari mana?’ atau ‘kok jam segini baru selesai kerja?’ di jam tiga pagi.

Dia membawa masuk tas selempang komputer jinjingnya dan sebuah tas gym berisi baju. Aku sudah tahu, memang tas itu selalu dibawanya ke mana-mana. Dia selalu siap bermalam di mana saja. Sering di ruang kantornya, karena tuntutan pekerjaan yang selalu bersisa.

Aku menyamankan diri kembali di dalam selimut, sambil menunggunya berganti baju dan membersihkan diri di kamar mandi. Potongan-potongan kejadian masa lalu berkejaran dalam kepalaku, ingatan dari pertama kali kita bertemu lima tahun yang lalu sampai detik tadi aku membuka pintu. Untuk yang kesekian kalinya, seperti yang biasa kulakukan setiap kami menghanyutkan diri, aku berkontemplasi: hubungan ini tidak akan mengarah ke mana-mana. Di sinilah selalu batas terjauhnya – berbagi hangat di atas ranjang, dengan atau tanpa selimut.

“Makasih ya aku boleh numpang,” katanya sambil merebahkan diri di sampingku.

“Iya.”

“Aku langsung tidur, ya.”

Sesungguhnya aku tidak mengerti, kalimat itu pertanyaan atau pernyataan. Kubalas saja, “Aku matiin lampu, ya.”

Klik. Lalu remang. Hanya cahaya sedikit menerobos tirai jendela dari lampu di lorong luar kamar. Kami saling memunggungi.

Aku bisa merasakannya gelisah. Aku bisa mendengar suara gesekan seprai dengan kakinya yang berganti-ganti posisi. Oh, sebenarnya aku pun resah. Detak jantungku berakselerasi.

Dia? Kenapa dia? Aku selalu kesulitan menjelaskannya. Teman yang baik? Ya, dia tidak pernah membocorkan rahasia. Memberi masukan bila diminta. Teman-temanku pun mengaguminya. Dia cerdas dan berwawasan luas. Arsitek yang paham seni. Pekerja keras yang arogan. Penampilannya tidak buruk, tapi tidak juga terlalu tampan. Mapan, cukup terkenal di pergaulan Jakarta Selatan. Musuh feminis yang sebenarnya dalam hati kesepian.

Lalu aku? Kenapa aku? Aku sudah berhenti mencari jawabannya – kenapa aku yang dipilihnya untuk berdiri di wilayah abu-abu. Toh, aku pun menaruhnya di wilayah yang kurang lebih berona sama di pojok hatiku. Kalau mau dibandingkan dengan pacar-pacar resminya, sejujurnya aku selalu merasa lebih baik. Mungkin tidak lebih cantik. Tetapi aku lebih bisa membuat obrolan kami menarik. Menandinginya dalam diskusi, melayaninya berargumen, menghiburnya dengan lelucon yang lucu tidak lucu selalu membuat kita tertawa bersama. Dan yang paling kusuka, kami selalu saling menggoda. Tidak ada pura-pura. Jujur, nafsu ya nafsu saja.

Lalu kami? Bagaimana dengan kami? Memang, aku tidak pernah bertanya dan menuntut apa-apa. Bahkan tidak untuk kejelasan hubungan. Ya, kami saling sayang. Tetapi jelas tidak platonik. Semua kesimpulanku hanya hasil proses analisa. Tidak pernah benar-benar keluar dari mulutnya, bagaimana konsepnya akan sosokku. Sebaliknya pun begitu. Dan aku benar-benar tidak pernah mau tahu dengan siapa lagi dia menjalin hubungan seperti ini.

Ah, bodo amat! Aku menelentangkan badan.

Dia membalikkan tubuhnya dan mulai menciumi leherku. Mendesahkan nafasnya di telingaku. Percuma berpura-pura, karena dalam hati kami memang sama-sama mau. Aku memalingkan wajah dan menyambut gamitan bibirnya. Aku selalu suka ciumannya. Lembut, tidak memburu, lidahnya seperti malu-malu. Jemariku menyusuri rambutnya yang ikal, lalu berhenti di tengkuk dan memainkan anak rambutnya di sana. Mulutku sebenarnya masih mengecap getah ganja, mungkin dia merasakannya juga, karena ciumannya tak berhenti. Seperti ingin lagi dan lagi. Tangannya mulai menyelip masuk ke balik baju tidurku. Ketika aku mulai membuka mata, badannya sudah menindihku. Mulutnya sudah mengeksplorasi titik-titik sensitif di puncak dadaku.

Tunggu.

Aku merasa ini tidak benar. Tidak seharusnya. Bukan sewajarnya. Sekali ini aku merasa tidak sebaiknya begini. Rasanya seperti berpegangan di pinggir sungai ketika arus sedang deras-derasnya. Terengah-engah, aku mendorongnya kembali ke posisi semula, lalu merapikan kembali kausku yang tersingkap. “Tunggu,” kataku, “aku.. Ehmm..”

Ah, bangsat! Aku menyumpah dalam hati. Ucapanku terdengar seperti gadis lugu yang terlalu ragu-ragu. Dia tidak menjawab dan kembali memunggungiku.

Beberapa menit aku berusaha menenangkan diri. Kenapa kali ini rasanya salah sekali? Aku tahu, salah adalah adjektiva yang seharusnya tak terhitung besarnya. Seperti dosa. Dosa ya dosa saja. Salah ya salah saja. Tidak ada terlalu salah atau terlalu dosa. Begitu logikaku di kepala.

Ah, bodo amat! Aku memeluknya dari belakang dan mulai menciumi sisi wajahnya.

Dia kembali membalikkan badan dan menyambut juluran lidahku. Di sela-sela ciuman lalu berkata, “Bikin aku keluar.” Terdengar lebih seperti perintah. Dasar arogan! Lelaki angkuh! Tangannya membimbing tanganku membelai belalai di antara dua kakinya. Aku tidak menolak. Apalagi berontak. Menuruti birahi.

Apa yang kubelai sudah terlanjur keras. “Mau keluar di mulut apa di tangan?” tanyaku memastikan. “Di tangan aja,” jawabnya. Aku tidak merasa direndahkan. Kubuka bajuku dan kubuka bajunya, supaya kami makin hangat berhimpitan.

Tidak ada penetrasi, kali ini. Singkat cerita, pergumulan kami selesai dengan klimaksnya di tangan kananku. Kemudian seperti tidak terjadi apa-apa setelah itu. Aku menyeka ceceran maninya dengan kaus tidurku, lalu terlelap tanpa baju. Dia pun tak lama lagi mendengkur dengan pulasnya tanpa merasa perlu menjelaskan apa-apa. Hanya ucapan terima kasih setelah kuseka bersih tadi.

***

Sedikit lewat dari jam empat pagi. Tanpa pertanyaan yang perlu dijawab. Tanpa solusi yang perlu dicari. Aku terbangun dengan rasa bersalah, bukan karena apa yang kembali terjadi di antara kami. Tetapi karena kaus oblong calon suamiku dipakai menyeka ceceran mani tadi.

Senin, 21 Maret 2011

Jurnal Bantal 21 Maret 2011

Puitwit - Kumpulan Puisi Mini di Twitter


Purnama pun meragu, haruskah ia menjemput malam kala Matari masih pongah di singgasana. Sementara senja kian merona, apa daya?

***

Rinai air hujan belum pun reda, derai air mata menggenang jua. Pagi basah hanyutkan resah. Aku ingin kamu, bolehkah?

***

Sesungguhnya kesepian yang paling pilu itu bukan saat sedang sendiri, tapi saat merasa sendirian di tengah keramaian. Sekian dan demikian.

***

Hei penghuni bumi, mengapa susah sekali membumi? Yang terbang matanya silau bintang, sulit pijakkan kakinya pulang.


***

Rumahmu di hatiku, wahai Kelana. Walau kau hanya mampir seminggu untuk kembali berlalu. Ranjang ini menunggu, hangat selalu.

***

Aku jatuh cinta untuk yang kesekian kalinya pada rautan meja. Sampai mengganggu waktu kerja, karena inginnya lagi-lagi meraut saja.

***

Setelah berbagi tawa dengan para malaikat belahan jiwa, aku kembali pulang ke ranjang kosong dan selimut tak bernyawa.

***

Dengan atau tanpamu -- bahagia itu nisbi, namun hampa itu absolut. Aku tidak takut.

***

Selamat tinggal adalah kamu melambai di balik jendela dan aku mengetuk pintu sunyi.

***

Sabtu, 12 Maret 2011

Jurnal Bantal 12 Maret 2011

Mengulum adalah: mengolah dalam mulut – dengan bibir dan lidah, tanpa dikunyah.
Berkelindan diartikan: erat jadi satu, kamu dan aku – bersebadan.
Gelinjang merupakan: lonjakan di atas ranjang – meregang dan melepas tegang.

Satu: Ia mengulum getirnya cemburu waktu berkelindan dengan sang malam, lambat-lambat hingga ruhnya menggelinjang dalam pelukan kelam.

Dua: Matari mengulum awan gulali di sore hari, kala langit jingga berkelindan dengan lautan – beranak ombak yang menggelinjang penuh riang.

*berjimak dengan sajak*

Jumat, 11 Maret 2011

Jurnal Bantal 11 Maret 2011

Curahan hati tentang sahabat lama – coretan puisi.

Puisi pasti sedih kalau cuma disapa dalam galau. Seperti tak bereksplorasi. Ia ingin punya jiwa dengan seribu rasa dalam segala masa. Untukku, puisi yang bagus tidak harus melankolis, ia bisa matematis dan tetap manis. Bukannya anti puisi cinta, tapi aku gemas kadang orang lupa masih ada puisi lucu, puisi penuh nafsu, bahkan puisi marah-marah atau hanya tentang sepatu.

*berpuisi tentang puisi*

Kamis, 10 Maret 2011

Jurnal Bantal 10 Maret 2011

"Bermain kata-kata untuk pekerjaan itu kesenangan. Berkarya untuk diri sendiri itu rekreasi."

"Menulis itu kerja sama kepala dan hati, walaupun kadang-kadang ada yang mau menang sendiri."

"Apa yang dibuat dari hati adalah karya sejati."

"Pujian dan impresi adalah bonus. Tujuan sesungguhnya adalah untuk berkespresi."

"Membaca, seperti menyantap makanan, itu sesuai selera. Saya hanya koki kata-kata yang suka bermain dengan rempah nafsu, masih belajar pula. Akan sangat senang kalau kita belajar dan berkarya bersama."


*main serong dengan kamus, sembunyi-sembunyi dengan tesaurus, bersanding dengan permain kosakata dan membiak terus*

Sabtu, 05 Maret 2011

Jurnal Bantal 5 Maret 2011

Pada ruang dalam dada, namanya bergema -- berkali-kali, lagi dan lagi. Berpantulan di dinding hati. Apa namanya ini?

Dalam rongga kepala, pikiran-pikiran berlompatan tidak karuan.

*tarik nafas panjang*

Jumat, 25 Februari 2011

Jurnal Bantal 25 Februari 2011

Dua hari yang lalu saya masih berpuisi tentang rindu.

Timanglah hatiku hingga kau renta, layaknya ombak yang tak letih membelai pantai. Angkasa dan samudera sahaja berjumpa di cakrawala. Lalu, bilakah kita? Cemburu ini meluap dari wadahnya.

Tetapi hari ini saat pujangga bersajak tentang rindu tak bertepi, saya terhenti di bibir tebing. Sungguhkah rindu tak bertepi? Realita membuka mata saya: bagian tersulit dari menjalani hubungan jarak jauh adalah menyadari bahwa tanpa dia sesungguhnya saya baik-baik saja. Lalu, rindu itu sembunyi di mana?

*mencari*

Selasa, 22 Februari 2011

Jurnal Bantal 22 Februari 2011

Berapa kali kita tergoda untuk kembali pada hangatnya pelukan masa lalu, namun teringat bahwa memang bukan tempatnya lagi kita di situ? Setiap kali terhadang cobaan, pilihannya adalah maju menantang atau mundur mencari nyaman. Adakah pilihan ketiga? Ya ada, tidak berbuat apa-apa dan pasrah saja. Kemudian, nasihat yang paling jamak diterima adalah: “Sabar, semua ada hikmahnya”. Kalau sudah begitu, diskusi berlanjut pada batas sabar itu sendiri. Adakah sesungguhnya batas kesabaran? Bila dibatasi, apakah itu menjadi kebijaksanaan atau bukan? Perlukah kita menempatkan kata “cukup” pada waktu tertentu saat kita terjebak pada situasi menunggu dan atau bahkan terbelenggu? Seorang teman bercerita, begitu saatnya nanti menjadi seorang ibu, barulah merasa sabar itu tidak ada batasnya. Tentu saja dalam hal ini kesabaran pada buah hati. Pada suami? Saya tidak tahu. Jadi kalau masih belum berkeluarga begini, sepertinya saya belum siap untuk menjadi sabar tanpa batas – kalau memang benar hal demikian nyata adanya.

*Tuhan sedang mendidik saya untuk sabar, tapi kadang saya bolos dan malas belajar*

Senin, 21 Februari 2011

Jurnal Bantal 21 Februari 2011

Sejak kemarin malam saya mencumbu bantal di sebuah petirahan yang harga sewa semalamnya cukup untuk membeli skuter metik idaman saya. Itu harga sewa vila yang paling kecil. Yang paling mewah? Cukup untuk membeli mobil Jepang sederhana idaman keluarga Indonesia. Perlu saya sebut nama tempatnya? Begini, saya kasih petunjuk saja. Tujuh aksara – yang pertama B, yang terakhir I. Lokasinya di Uluwatu, Bali.

Bagaimana saya bisa dapat berkah mencicipi rasanya jadi orang kaya begini? Ini berkat welas asih sahabat saya, @yayaphan, sang fotografer handal yang sedang mendapat tugas liputan di sini. “Mari-mari,” katanya waktu itu, “saya selundupkan ke sini, sekalian temani saya yang takut tidur sendiri.” Siapa yang hendak menolak?

Dengan kolam renang mini pribadi, tiga pilihan tempat membasuh diri (di bak mandi, pancuran dalam dan luar ruangan) saya yang gemar main air tidak mengeluh sama sekali. Bagaimana bisa mengeluh? Belum lagi ranjangnya.. Oh ranjangnya.. Bulu apa itu isi bantalnya? Kalau ada istilah ‘bagaikan tidur di atas awan’ mungkin begini ini rasanya. Pemandangan yang menjelajah dari atas tebing sampai ke batas cakrawala menerbangkan lamunan seperti layang-layang. Maaf kalau saya berlebihan. Silakan, sebut saja saya kampungan, saya tidak keberatan. Hahaha.

Tapi saya tidak menulis ini untuk mengulas si petirahan kelas atas, yang bahkan bermimpi untuk kembali lagi ke sini saya belum berani (kecuali dibayari lagi). Beberapa kali saya ditinggal sendirian di vila – karena teman saya harus menunaikan tugasnya, membuat banyak pikiran yang berkejaran dalam kepala. Saya akan berbagi beberapa di antaranya.

Yang pertama, sudah berapa banyak pasangan penuh asmara bergelora yang menghabiskan bulan madunya di kamar ini? Di mana saja mereka bercinta, bersebadan di sudut-sudut ruang berdinding batu-kayu di sini? Apa semua keindahan di dunia akan tetap sama dirasa bila kita sedang patah hati? Karena sesungguhnya saya takut sendiri. Menginap di tempat begini, yang pertama terbayang adalah bagaimana rasanya bila kekasih saya bisa ikut menikmati semua ini bersama-sama. Untuk apa kekayaan, kesehatan, dan kebahagiaan dimiliki bila tidak punya orang untuk berbagi? Ngeri. Maaf, paragraf ini tidak dimaksudkan untuk menyindir orang yang memilih untuk selibat. Saya hanya berbagi pendapat.

Yang kedua, kalau uang bisa membeli segalanya (termasuk rasa), sampai manakah batasnya menjadi kaya? Sepertinya tidak ada. Tapi ketika kita sudah bisa memisahkan keinginan dengan kebutuhan, sepertinya menjadi “cukup” saja sudah bahagia. Bersyukur bisa menginginkan yang kita butuhkan tanpa harus membutuhkan yang kita inginkan. Begitu bukan?

Yang ketiga, bagaimanapun empuknya ranjang berbalut seprai terlembut dengan bantal sehalus gulali yang selalu wangi, tempat paling nyaman di dunia ini adalah dalam pelukan orang yang paling kita sayangi. Oh, dan saya menulis ini sambil tersenyum membayangkan dia.

*pipi saya merona diciumi matahari seharian tadi*


Sabtu, 12 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Tiga Puluh: Untuk Cinta Itu Sendiri)

Cinta,

Demi kamu selalu ada saat-saat pertama, dan karena kamu pula hadir saat-saat terakhir. Dengan kamu sapa pertama tidak ingin dilupakan, dan supaya kamu selamat tinggal terakhir ingin segera tergantikan.
Bukan sebabmu dunia ini berputar, tapi berkatmu putaran itu terasa berharga dan ada asa.
Atas namamu pengorbanan terangkat derajatnya menjadi pengabdian tanpa hitung-hitungan.
Penantian yang menyiksa dan perjumpaan yang buat merana. Perpisahan yang indah dan pertengkaran yang bawa gairah.
Sebegitunya dirimu rumit untuk dimengerti, tapi puisi tentangmu selalu penuh puja-puji dan sarat caci-maki. Tanpamu, lagu-lagu tak bernada, kata-kata kehilangan makna, warna-warna pupus cahaya.
Surat cinta ini untukmu, cinta, yang membuat baris-baris ini ada. Selamat bermalam Minggu dan mengisi sunyi para perindu.

Jumat, 11 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Sembilan: Untuk Penyelamatku)

Sudah lama kita tidak bicara. Benar-benar bicara. Saling bertukar suara. Saling mengisi hampa.

Aku hanya berharap kamu baik-baik saja.

Oh ya, dan aku masih berharap satu hari nanti kamu mengajakku terbang lagi dalam pelukmu yang hangat, tempat yang paling nyaman untuk tangisku beristirahat.

Untukmu, selalu tersimpan terima kasih dalam amplop merah jambu yang terselip pada setiap tiupan kecupku.

Kamis, 10 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Delapan: Untuk Sendiri)

Bukan surat cinta untuk diri sendiri – tapi untuk saat sedang sendiri. Kesendirian yang tidak sepi.

Karena ‘sendiri’ adalah hakiki, dan ‘kesepian’ adalah hal yang berbeda lagi – ia adalah bagaimana kesendirian itu tidak dinikmati. Sebenarnya dalam waktu aku yang sedang satu itu nikmat sekali dapat mencipta karya, mengolah talenta, berkaca, berbicara suka-suka, mengamini karunia.

Jadi seorang diri adalah waktu memperbaiki relasi dengan jiwa dan koneksi dengan sukma. Introspeksi lewat memori lalu bercakap dengan Sang Pencipta yang berdiam dalam hati.

Dan aku masih diberi kesempatan untuk mengucap syukur hari ini. Sendiri. Tanpa tetapi. Indah sekali.

Rabu, 09 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Tujuh: Untuk yang Bersembunyi di Balik Rasa Takut)

Ini kuulurkan tanganku supaya kamu lebih berani. Hidup dalam kekuatiran dan rasa takut berlebihan tidak akan membawamu ke mana-mana. Lalu buat apa kamu hidup kalau diam di tempat saja? Sesungguhnya semua yg dilakukan dengan hati rasanya nikmat sekali. Ayo dengarkan hati dan jadilah pemberani!

Selasa, 08 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Enam: Untuk Siapa yang Merasa)

Ini hanya sekedar catatan pendek saja. Bolehlah kau bilang surat cinta, kalau kau merasa sedemikian rupa.

Andaikan rasa itu bisa ditakar – seberapa besar kita mencinta, dan seberapa dalam kita menyimpan benci, mungkin sudah ada ilmuwan yang mendapatkan nobel dengan menciptakan formula menjalankan hubungan asmara. Bisakah dua sendok makan cemburu dicampur satu galon rindu menghasilkan cinta seluas samudera? Ataukah lima cangkir kecewa diaduk rata dengan sejumput curiga menjadikan benci semalam saja?

Hei, tidak ada rumus untuk membentuk emosi. Tidak ada penggaris yang mengukur dalamnya hati. Rasa tak dapat terdefinisi oleh angka, bila itu maumu. Dan satu lagi, kita tidak bisa memilih bagaimana inginnya merasa pada satu keadaan, tapi kita selalu bisa memilih bagaimana menyikapi perasaan yang kita simpan.

Sekian dan demikian.

Senin, 07 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Lima: Untuk Hatiku yang Pilu)

Hatiku sayang,

Maafkan keteledoranku pagi tadi yang membuatmu tersungkur dengan pilu. Berawal dari rasa ingin tahu melihat video itu, aku tidak tahan membuka tautannya, dan akhirnya kamu harus merasa perihnya melihat manusia kehilangan kemanusiaannya. Tolong sampaikan maafku juga untuk kedua mata, Sayang. Mereka sempat tersedu ketika emosiku ikut membuncah. Tapi terlebih aku kuatirkan kamu, hatiku. Betapa kamu tidak kuat melihat ketertindasan, anarki, dan kebiadaban. Mendengar makian saja kamu terenyuh, apalagi harus menyaksikan ini yang beribu-ribu kali lipat lebih menghantam sukma. Kasihan kamu, hatiku, harus melihat bagaimana Tuhan yang sebetulnya tidak perlu dibela malah jadi alasan untuk menyiksa dan menghilangkan nyawa. Ke mana nurani mereka, aku juga tidak tahu. Entah bagaimana mereka bisa tidak punya hati begitu. Di bawah pengaruh substansi tertentu? Telah dicuci otak? Terhimpit keadaan dan tidak punya pilihan lain? Atau sesungguhnya mereka memang betul-betul bukan manusia? Mari kita berdoa malam ini, hatiku. Bukan hanya untuk korban yang teraniaya, tetapi juga untuk mereka yang semena-mena. Mari berdoa untuk jiwa mereka semua, dan membiarkan Tuhan yang jadi hakimnya.

Hatiku sayang,

Semoga malam ini kamu sudah baik-baik saja setelah kuajak bertamasya dan berkarya. Aku tahu, dibalik permukaanmu yang rentan itu kamu menyimpan kekuatan dan ketangguhan. Masih tersimpan banyak kasih di dalammu yang akan kubagi-bagi untuk sesama makhluk hidup. Semoga benih yang kita tebar itu bisa membuat penghuni bumi yang lain ikut menyebarkan cinta dan ketulusan. Karena dunia ini sudah terlalu gelap akan kedengkian. Mari kita mulai dari diri sendiri, Sayang. Karena setidaknya itulah yang bisa kita lakukan.

Penuh harapan,

Aku.

Minggu, 06 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Empat: Untuk yang Membuatku Menangis)

Air mataku memang sudah kering malam ini. Sudah kubasuh wajahku dan kulenyapkan jejak deraian di pipi. Sepertinya luka di hati ini juga tidak akan pedih lebih lama lagi. Karena aku percaya, kamu yang bekerja sama dengan waktu akan membuatnya pulih dan berseri.

Aku bahagia karena kita bisa selalu berbicara. Berdiskusi, lalu saling mengerti dan menerima. Mustahil memang kalau berharap semua buah pikiran dan pendapat akan sama. Justru perbedaan itu yang membuat kita merasa kaya.

Sudah, sudah, aku sudah tidak menangis lagi. Yang sudah terjadi tidak usah disesali. Friksi kita akan selalu jadi jembatan untuk saling mengenali, dan bahan pelajaran untuk menjadi lebih baik lagi di masa depan nanti. Nah, sekarang kemarilah, genggam tanganku lalu dekap di hati. Tapi jangan terlalu kencang, nanti aku menangis lagi.

Sabtu, 05 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Tiga: Untuk yang Membuat Hatiku Bernyanyi)

Aku kehabisan kata-kata untuk surat cinta buatmu malam ini. Tapi kata orang, sebuah gambar bisa mengungkap seribu kata. Jadi, ini kugambar untukmu. Tentangmu.

Jumat, 04 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Dua: Untuk Cupid)

Sepuluh hari lagi, Cupid. Di tanggal 14 nanti waktu kasih sayang dirayakan dan jadi objek komersial paling menjual, kamu akan dipuja di mana-mana. Sudah siapkah anak-anak panah cintamu itu kauasah? Pastikan bidikanmu masih mantap dan busurmu masih lentur. Akan ada banyak anak manusia yang menagih asmara. Mereka akan mencari merah muda dan memetik bunga-bunga.

Tapi tunggu, akan ada lagi sebagian yan mencemoohmu. Mereka bilang seharusnya cinta dirayakan setiap hari. Entah alasannya karena memang ingin berbeda saja, tidak tahu mau merayakan dengan siapa, atau memang setulusnya begitu yang mereka percaya. Untuk mereka tanggal 14 Februari bukan tanggal yang istimewa.

Tapi jangan berkecil hati, Cupid. Surat cinta ini kukirimkan supaya kamu tetap semangat bekerja. Aku berada di tengah-tengah, di antara dua kubu mereka. Ya, memang kasih sayang harusnya terungkapkan setiap hari. Tetapi kadang terlalu sibuknya manusia tiap hari mencari sesuap nasi, mereka lupa dan tak punya waktu untuk bercinta. Jadi buatku, biarlah Hari Kasih Sayang tetap dirayakan sebagai pengingat akan pentingnya berbagi sesama makhluk-Nya.

Giatlah berlatih memanah, Cupidku, supaya tepat selalu bidikanmu. Sampai sepuluh hari lagi kita masih punya waktu. Sampai hari itu tiba, setiap malam aku masih akan giat menulis surat cinta, puisi penuh rasa, dan prosa sarat romansa.

Kamis, 03 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Satu: Untuk Kamu yang Belum Kembali)

Cepat pulang, Sayang. Karena Opera Van Java tidak sama rasanya kalau kamu tidak ada. Sule tidak selucu waktu aku menontonnya sambil dirangkul kamu!

Rabu, 02 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh: Untuk Kembang Api Malam Ini)

Terima kasih sudah mewarnai langit dengan ledakanmu sesaat tadi, warna-warnimu menyemat bunga pada kelamnya angkasa. Pecahanmu di udara kunikmati dari balkon sendiri saja. Entah siapa lagi, entah di mana, yang menegadah dengan rasa yang sama – berpikir serupa saat percikmu mekar bergema. Sepi jugakah mereka?

Sekejap kamu mengingatkan bahwa sejatinya semua di dunia hanya sementara. Seperti cahayamu yang menyala lalu hilang dan terlupa.

Selamat tahun baru kelinci untuk kamu yang diletuskan untuk merayakannya!

Selasa, 01 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Sembilan Belas: Untuk Bayangan Lelakiku)

Hei.

Sepertinya aku harus menulis surat cinta sendiri untuk kamu, bayangan lelakiku. Karena walaupun dia sedang tidak di sampingku, bahkan ribuan mil jauhnya, kamu selalu mengikutiku. Di kamar mandi waktu aku membasuh diri, di dalam cermin waktu aku berdandan pagi-pagi, di dalam piring waktu aku menyantap nasi, di pelupuk mata waktu aku menjemput mimpi, bahkan di layar komputer waktu aku mengetik ini. Kamu di mana-mana!

Aku sadar aku tidak bisa lepas darimu waktu aku mulai jatuh cinta padanya. Bilang saja aku gila. Mungkin aku memang tergila-gila. Tidak waras, tidak berakal sehat, tidak berlogika. Tapi daripada aku berusaha menghindarimu dan semakin tersiksa, aku telah sampai pada titik ‘menerima’. Rela aku diusik kamu di mana-mana, kalau memang beginilah gejala rindu serindu-rindunya. Toh dia yang di sana mengaku tak bisa lepas dari bayang-bayangku juga. Ketika kami tidak saling membayangkan itulah seharusnya aku mulai curiga. Jadi sekarang kehadiranmu di tiap hembusan nafas kunikmati saja.

Malam ini, kamu menemaniku sambil menyeruput cokelat hangat. Mengingat jejak kecupnya di bibirku yang masih lekat.

Senin, 31 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Delapan Belas: Untuk Sisi Ranjang yang Kosong)

Aku murung, tidak suka tidur sendiri. Tidak ada dia waktu menoleh ke kiri. Tidak ada saling rebut selimut. Tidak ada saling jajah wilayah. Ranjang ini terlalu luas untuk tanpa dia kutiduri.

Wahai sisi ranjang yang kosong, izinkan aku mengendus sisa baunya darimu. Sebentar saja, untuk obati rindu.

Minggu, 30 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Tujuh Belas: Untuk 20-08-2008)

Untuk Rabu, 20 Agustus 2008.

Aku cinta kamu, Rabu yang tidak kelabu. Senja itu pertama kali aku dan dia bertemu. Muka bertatap muka. Aura berjumpa aura. Masing-masih mengucap dalam batin, “Oh, ini dia wujud aslinya”. Setelah setahun bercakap lewat kata-kata yang terketik saja. Belum ada rasa hari itu, tentu saja. Toh aku pun masih ada yang punya.

Betapa ironisnya, Rabu, di tanggal yang dulu terencana sebagai tanggal cantik aku disunting lelaki lain, Sang Esa mempertemukanku dengan dia yang sekarang terbaik untukku. Aku ingat kamu, Rabu. Hari itu aku melihat senyumnya pertama kali. Melihat bibirnya menciptakan suara saat bercerita, dalam perjalanan menemuiku hari itu topi kesayangannya terjatuh dan hilang. Dan aku menandai kamu sebagai hari pertama aku bimbang.

Hari-hari setelah kamu, Rabu, saat aku jauh dari Tanah Air dimulailah proses lahir dan batin menuju keputusan besar dalam hidupku. Pengalaman dan pelajaran baru yang penuh berkat dari-Nya membuka sekat-sekat baru dalam pikiran, menuntunku pada sebuah babak baru. Dan akhirnya aku mengerti, saat kamu datang itu aku memang dipertemukan dengannya untuk mencegahku kembali jatuh ke lubang yang sama lagi, untuk yang ke-sekian kali. Kembali aku amini, tidak ada yang kebetulan. Semua terjadi karena ada alasan.

Sudah lebih dari dua tahun sejak kamu, Rabu. Aku bersyukur sampai sekarang tanggal yang sama masih kurayakan bersama dia. Semoga perjalanan kami bersama akan berlangsung lama. Terus, terus, terus tanpa putus.

Terima kasih, Rabu 20 Agustus 2008. Kamu hari pertama kami bertemu.

Sabtu, 29 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Enam Belas: Untuk Siapa?)

Untuk yang pernah mampir di hati lalu angkat kaki.

Ini bukan surat cinta biasa. Ini surat pernah cinta, karena dulu ada rasa tapi sekarang sudah tidak ada. Bukan juga untuk menggali yang pernah ditimbun, tetapi memupuk yang sekarang ditanam. Kamu, kamu, kamu, dan kamu.. Eh tunggu, aku lupa menghitung surat ini untuk siapa saja. Yah, sebut saja kalian. Kalian setuju kan, masa lalu itu sudah tertimbun dan bibit baru sudah tertanam?

Ini hanya sekedar ucapan terima kasih atas pelajaran yang telah diberikan. Aku mendewasa melewati masa dengan masing-masing kalian. Setiap pelajaran berakhir dengan ujian, dan aku lulus lalu naik tingkat sampai sekarang yang ke-sekian. Kalian bukan kegagalan, bukan pula batu loncatan, tetapi bagian dari hidup sebagai kurikulum pendidikan. Makin lama aku makin mengerti hati dan perasaan. Sekali lagi terima kasih, para mantan.

Surat pernah cinta ini cukup sekian dan demikian. Aku tidak mau pasangan kalian sekarang keburu cemburu.

Dari aku, yang sudah tidak seperti yang dulu.

Jumat, 28 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Lima Belas: Untuk Cokelat Hangat di Sudut Bibirmu)

Hei, kamu.

Tolong sampaikan surat ini untuk setitik cokelat hangat yang tersisa di sudut bibirmu itu. Manisnya membuatku bernafsu. Ingin aku mengecapnya dengan ujung lidahku. Setelah itu, sebenarnya terserah kamu, mau mengejarnya kembali dengan lidahmu di antara liur dalam mulutku, atau membiarkan aku meracik segelas lagi cokelat hangat untuk kutuliskan surat cinta.

Aku yang gemas mengulum bibir sendiri.

Kamis, 27 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Empat Belas: Untuk Pasir di Kakiku)

Kamu mungkin tidak tahu, betapa rindu aku merasamu menyusupi sela-sela jemari kakiku. Sampai tadi kita berjumpa lagi di Pantai Geger. Kamu yang hangat terpanggang mentari menyambut telapakku yang telanjang. Lembut sangat. Kukira tadi pertemuan kita singkat sekali, terpotong hujan yang nyaris tidak berhenti. Tetapi malam ini saat aku beranjak tidur dan cuci kaki, kutemukan sebutirmu terselip di bawah kuku. Oh, ternyata kamu pun berat melepasku. Malam ini aku akan lelap karena ternyata cinta ini tidak bertepuk sebelah tangan.

Rabu, 26 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Tiga Belas: Untuk.. Ah, Lagi-Lagi Kamu)

Hebat!

Lagi-lagi kamu yang mengalirkan energi dari hati dan otakku beriring-iringan. Energi yang menuju ujung jemari membuat ungkapan perasaan menjadi barisan kalimat pernyataan: surat cinta. Diberi makan apa sih kamu waktu kecil sama ibumu, kok bisa hebat begitu? Rasanya ini ya, padamu, seperti kena guna-guna. Walaupun aku tahu kenyataannya tidak begitu, karena bagaimanapun kau mantrai aku, ‘dukun’ Yang Mahaagung itu kupercayai lebih hebat dari dukunmu!

Dia Yang Mahahebat itu yang mempertemukan garis hidup kita di persimpangan jalan. Aku percaya, tidak ada yang kebetulan. Semua terjadi karena ada alasan. Nah, itu yang aku pertanyakan. Untuk apa rasa sehebat ini Dia ciptakan? Bila setiap orang ditiupkan nafas kehidupan untuk suatu tujuan, bagaimana dengan kita? Dua manusia yang saling jatuh hati dipersatukan atas nama cinta. Untuk apa?

Aku mengagumimu untuk setiap karya yang kaucipta. Aku menghormati tiap sumbangsihmu pada sesama. Aku mengherani buah pikiranmu yang tidak biasa. Aku terpesona tubuhmu yang menggoda. Tapi jangan tanyakan alasanku jatuh cinta, aku tidak punya jawabannya.

Jadi sayangku, kalau boleh sedikit kutarik kesimpulan malam ini. Yang kutahu, sejak bertemu kamu, aku ingin menjadi manusia yang lebih baik. Dan kalau senyatanya kamu tidak diciptakan untuk bersanding denganku sampai nafas yang terakhir terhembus dari mulutku, kenanglah ini: aku bersyukur Dia pernah mempertemukan kita dan mengizinkanku mencicipi bahagia – apapun tujuanNya.

Selasa, 25 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Belas: Untuk Kupu-Kupu dalam Perutku)

Wahai Kupu-Kupu,

Terima kasih sudah hadir lagi malam ini, menggelepar-gelepar dalam perutku. Aku suka kamu, dan rasa yang kauciptakan waktu aku terpesona, lalu jatuh cinta malu-malu.

Aku yang kini tersipu-sipu.

Senin, 24 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Sebelas: Untuk Langit)

Untuk: Langit.

Sesungguhnya ini adalah surat pengakuan cinta untukmu, bagaimana kusimpan kekaguman padamu yang elok. Menengadah dan menikmati yang tersaji amatlah seronok.

Merahmu di mekarnya fajar yang mengiring kokok Sang Jago memanggilku untuk mengucap syukur akan datangnya hari baru. Lalu naiknya Mentari menuntun barisan awan yang menggoda imajinasi. Aku berani sumpah, kadang kulihat awan mengikuti bentuknya sejoli yang sedang bercinta. Romantis sekali. Langit yang terindah, aku ikut murung ketika kamu kelabu dan mendung. Ikut sedih ketika kamu menangis, merajuk, dan mengamuk dengan kilat dan guntur. Tapi Bunda Alam dan Ibu Bumi tentu memberi waktumu untuk menurunkan hujan bukan tanpa alasan, bukan? Karena sehabis itu kamu pasti menghiburku dengan mahakarya pelangi. Belum lagi jingganya senja. Sedari kecil yang kupuja lukisan wajahmu yang merona mengantar kawanan burung kembali ke Utara. Bahkan saat kamu menggelap pertanda malam, Langitku sayang. Saat gaunmu bersih, kupuja beludru itu yang berhias pendarnya bulan dan kilaunya gemintang.

Jadi, inilah surat pengakuan cinta untukmu. Siang tadi waktu aku dan lelakiku berbaring di rumput menikmati hamparan biru, kamulah yang sungguhnya mengisi hatiku.

Dari: Perempuan yang ingin terbang menciummu.

Minggu, 23 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Sepuluh: Untuk Buku Tulisku)

Selamat malam, Hitam.

Aku membiarkan jemariku menari-nari sendiri di papan ketik sampil menatapmu dengan penuh renjana. Sesekali mereka berselingkuh menyusuri lembaran-lembaran pagina. Tapi percayalah, aksara yang mereka tekan menjadi barisan puitis ini tulus memaknai surat cinta.

Masa tugasmu menyimpan goresan tintaku sudah hampir sampai di ujung jalan. Tinggal tersisa beberapa carik kertas lagi yang belum kumal menyimpan coretan. Ingatkah, beberapa kali kamu terselamatkan dari tumpahan minuman atau curahan air hujan? Basah sedikit, lekas kukeringkan kemudian. Aku tak akan rela kalau sampai harus kehilangan kamu yang selalu terselip di antara ini-itu yang berantakan dalam tas cokelatku. Kamu terlalu berharga untuk terpisah dari aku.

Menyadari bahwa kebersamaan kita memang terencana hanya untuk sementara membuatku takut. Berlebihan menurutmu? Tidak untukku! Semua tulisan dan gambar yang memenuhi putih mulusmu itu hasil putaran otakku yang kurekam diam-diam supaya tidak hilang. Yang dari sana nantinya akan menjadi olahan buah pikiran dan diterjemahkan dalam bentuk karya yang menantang. Kamu mengerti? Jadi hargamu takkan terbeli.

Sebentar lagi, saat paginamu habis terjamah, kamu akan masuk laci. Lalu akan ada lagi buku tulis baru yang bersamakku selalu ikut kesana-kemari. Sebelum waktu itu datang, inilah karyaku untukmu sebagai penghargaan atas pengabdian: surat cinta yang ditulis dengan penuh kerendahan hati – bahwa tanpa kamu ideku bisa mati. Dan, ya, malam nanti kamu tidur bersamaku lagi.

Sampai nanti, Hitam.

Sabtu, 22 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Sembilan: Untuk Kamu Lagi)

Kamu!

Untuk yang kesekian kali aku tulis surat cinta lagi buatmu. Karena, kamu tahu, ini bukan terasa seperti kewajiban, lebih seperti kebutuhan.

Kamu bilang aku jalang karena selalu tidak jauh dari pikiran ranjang. Karena memang begitulah aku yang membuatmu jatuh cinta dengan pandangan garang. Kamu menikmati surat-suratku seperti layaknya kamu melahap hembusan berahiku. Surat-surat cinta itu, begitu pula yang ini nantinya, seperti biasa berakhir di selipan celana dalammu.

Sayang, aku memang jalang dan tertembak pelurumu sang pemburu. Tidak bisa dijelaskan bagaimana tangkapan untuk makan malam ini dengan penuh rela disantap sang penangkap. Mungkin cinta mati? Menyerahkan seluruh raga dan hati disayat-sayat belati? Seumur-umur baru sekali ini aku merasa punya belas kasih sejati.

Kamu yang pertama, Sayang. Yang utama jadi inspirasiku kala menulis sambil mengangkang. Di benakku kamu selalu telentang telanjang. Dan sesungguhnya saat kamu menelan syahwat bulat-bulat, aku pun terpikat. Ketika tautan badan membuat simpulnya sendiri, aku merasa hangat. Ketika nafas kita saling berkejaran cepat, aku menghirup peluh yang lekat.

Nah ini, sekarang kaugoda dulu fantasimu dengan suratku lagi. Lalu sebelum tidur nanti, balaslah dengan kata-kata bergelora tentang surga di antara kaki. Tidak perlu kautulis, cukup kau berbisik. Lebih orgasmik.

Salam,

Si Jalang.

Jumat, 21 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Delapan: Untuk Setangkup Roti)

Teruntuk setangkup roti
(yang sebentar lagi akan kunikmati)
Di depan mata tersaji

Aku suka sekali kamu, roti. Jauh lebih suka daripada nasi. Kadang memang kalau ada yang minta pasti kubagi, walau dengan berat hati. Mau disajikan berbagai rupa, akan kusantap kamu dengan penuh sukacita. Dengan selai kacang dan butiran cokelat, dengan margarin asin dan keju lembaran, dengan selai cokelat dan pisang, dengan saus salad dan telur dadar, dengan susu kental manis dan keju parut, dibakar, dipanggang, digoreng, oh, bisa kuteruskan sampai besok pagi!

Maaf ya roti, aku sudah tidak tahan lagi. Besok kucoba lagi, semoga bisa menulis surat cinta untukmu sampai selesai. Tapi sekarang..

Nyam nyam nyam nyam

Kamis, 20 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Tujuh: Untuk Biyu)

Hai Biyu!

Sumpah, aku kangen sekali sama kamu! Kapan terakhir kita ketemu? November tahun lalu? Ah, sudah lama sekali. Kenangan tentang kamu selama lima tahun kebersamaan kita masih lekat sekali di kepalaku.

Semoga keadaanmu baik-baik saja. Terbayang sekarang tubuhmu yang sudah dimandikan, cat birumu berkilauan, olimu yang sudah diganti, larimu yang mulus kencang, kulitmu yang sudah disemir, kabinmu yang wangi. Biyu, sudah dibawa kemana saja kamu oleh pemilik barumu? Terakhir dia kasih kabar, kamu sempat dibawa keliling Jawa. Wah, bangganya aku mendengar ceritanya itu. Kamu memang hebat! Waktu dulu sama aku, paling jauh kita ke pantai indah Bayah di Banten, ya? Enam jam aku tak lepas di balik kemudimu dari Jakarta.

Terlalu banyak memori bersamamu yang sebenarnya ingin kusimpan dalam kotak perhiasan, lalu kuhias pita-pita. Akan kubuka sekali-sekali saat aku rindu dan ingin mengenang hari-hari kita. Sesungguhnya, kamu pernah jadi bagian berharga sepanjang masa penuh perubahan dalam hidupku. Keputusan untuk melepasmu pun akhirnya kuambil dengan penuh pertimbangan, karena akhirnya aku harus kembali melakukan langkah besar dalam perjalananku di dunia. Ya, aku mohon maaf karena tidak bisa mengajakmu ikut aku pindah ke pulau yang menakjubkan ini.

Biyu, perpisahan kita untuk kebaikan, bukan? Kamu tahu, sampai kapanpun posisimu di hatiku tidak akan tergantikan. Sudah saatnya aku melangkah dengan pilihan-pilihan baru yang kutemukan di setiap persimpangan, yang artinya, mungkin harus merelakan satu-dua kenangan agar bisa maju ke depan. Waktuku bersamamu sudah sampai di ujung jalan. Kamu dan pemilik barumu akan menjalin persahabatan, yang kuharap seindah yang pernah kita rayakan.

Baik-baik ya, Sayang. Jangan rewel sama sahabat barumu. Kali lain aku tulis surat lagi. Semoga saat itu kamu masih ingat aku yang dulu suka habiskan waktu berjam-jam di bengkel hanya untuk kamu.

Tiup kecup,

Aku.

Rabu, 19 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Enam: Untuk Anakku Kelak)

19 Januari 2011, untuk dibaca 19 Januari 2031.

Hei, Nak.

Surat ini Ibu tulis saat engkau belum terlahir, belum pun dibikin. Jadi jauh, jauh sebelum engkau kenal aksara dan mahir membaca. Dan lebih jauh, jauh lagi sebelum surat ini sampai ke tanganmu sekarang ini. Saat menyusun kata-kata penuh cinta ini, Ibu belum mengenalmu, bahkan mungkin belum ketemu ayahmu. Mana tahu? Walaupun Ibu berharap yang di sisi Ibu sekarang ini yang akan menanam benihmu kelak.

Surat ini Ibu tulis untukmu, anak (tunggal/sulung)ku. Kamu coret saja kata yang tidak perlu dalam kurung itu ya, karena waktu menulis, Ibu sungguh belum tahu. Ibu berharap bisa menjadi orang tua yang baik bersama ayahmu. Semoga saat kaubaca kalimat barusan, engkau akan mengangguk dan berkata, “Iya, Bu. Engkau baik.” Atau kalau Ibu boleh bermimpi lebih tinggi, engkau akan tersenyum dan berujar, “Iya, Bu. Engkau yang terbaik.” Dan, ya, semoga saat kau baca paragraf ini, Ibu masih bersamamu di dunia dan masih bertenaga untuk memelukmu dan membuatmu bahagia.

Surat ini Ibu tulis supaya bagaimanapun nantinya wujud Ibumu ini, kamu bisa mengingat bahwa orang tua itu dulunya pun pernah muda. Dan apapun yang Ibu pelajari saat masih belia ini akan jadi pijakan untuk nantinya menurunkan pelajaran padamu di umur yang sama. Semoga pelajaran hidup Ibu bisa menjadi cermin untukmu berkaca. Sabar saja kalau Ibumu ini jadi orang tua yang cerewet. Namanya juga orang tua. Cerewet itu tanda cinta.

Surat ini Ibu tulis tidak akan panjang, Nak. Hanya sekedarnya untuk membuatmu ingat akan Ibu, di manapun kamu berada. Jangan lupa untuk bersyukur dengan kehidupan, apapun yang tersaji di hadapanmu sekarang. Karena kebahagiaan itu bukan dinanti, tapi diciptakan. Dan rasa syukur adalah awal untuk menciptakan kebahagiaan. Ingat, doa Ibu untukmu selalu. Mulai dari ditulisnya surat ini, sampai nanti waktu Ibu dipanggil Sang Pencipta kembali.

Salam dari 20 tahun lalu,

Ibu.

Selasa, 18 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Lima: Untuk Otak dan Hatiku)

Hei kalian.

Semoga ketika membaca surat ini, kalian sudah berbaikan. Selalu kan, kalau sudah masalah cinta pasti berseteru. Yang satu mau begini, yang lain mau begitu. Bikin aku panas dingin tidak menentu.

Inilah kenapa surat cinta ini untuk kalian berdua, bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Supaya dibaca berdampingan, atau sebelah-sebelahan.

Begini ya, singkat saja. Aku mau bilang aku cinta kalian, sebagai pasangan yang bekerja berbarengan. Kadang, otak, aku pilih logika dan realita. Dan kadang, hati, aku pilih perasaan dan asmara. Manapun pilihanku di satu waktu adalah tanggung jawabku, menentukan langkah sebagai individu untuk masa depan sendiri maupun berdua bersama dia yang nantinya akan jadi pendamping hidupku yang kuharap untuk selama-lamanya. Jadi kalian jangan saling menyalahkan kalau satu dua kali aku tersandung karena salah menentukan pilihan. Karena itupun buatku jadi bahan pelajaran supaya (semoga) lebih baik ke depan.

Otak, teruslah mengkalkulasi untung rugi dan menimbang keadaan. Lihatlah permasalahan dari dua sisi, dan jadilah sejujurnya juri. Lalu bukalah mataku untuk melihat kenyataan.

Hati, teruslah menggali sedalamnya perasaan dan siapkanlah sebanyaknya persediaan maaf. Besarkanlah dirimu supaya tak akan habis dibagi-bagi. Lalu lapangkanlah dadaku untuk terus memberi kasih sayang.

Sekian.

Aku sayang kalian (sebagai rekanan).

Senin, 17 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Empat: Untuk Mendiang Ayah)

Halo Ayah.

Baru berkata sapa saja tangisku sudah mau tumpah. Masih perlukah menanyakan kabarmu, Ayah? Yang kuyakini engkau sekarang berada di tempat terbaik. Karena orang-orang baik, sepertimu, ketika sudah menyeberang ke alam sana pasti akan diberikan tempat yang selayaknya.

Kabarku baik, Ayah – seandainya engkau bertanya. Tempo hari waktu aku berkunjung ke tempat jasadmu ditanamkan, aku sempat berdoa. Kutitipkan salam untukmu pada Tuhan. Kubilang, kabarku baik, tak banyak berubah. Seperti biasa aku bercerita. Tentang hari-hariku, tentang Ibu, tentang teman-temanku, lalu tentang dia yang setia di sisiku. Semoga itu pesan tersampaikan, dan engkau mendengarkan.

Sesungguhnya apa yang tak pernah kuungkapkan, Ayah, adalah hari-hari pertama engkau meninggalkan kami. Bagaimana kakakku yang tangguh terisak di pelukku. Bagaimana Ibu kangen padamu. Bagaimana aku berjalan timpang tanpa gandengan tanganmu. Bagaimana kami membereskan harta bendamu yang terasa ikut kehilangan nyawa bersama dengan kepergianmu. Lukisan terakhirmu yang tak akan pernah terselesaikan. Dawai gitarmu yang tak lagi didentingkan. Surat cintamu yang tak sempat tersampaikan.

Tapi kami bertahan, Ayah. Kami meneruskan kehidupan. Dan aku, aku meneruskan impian. Aku meneruskan semua yang pernah kauajarkan. Bagaimana hidup saling mengasihi. Bagaimana menghargai karya seni. Bagaimana memuja Ilahi.

Surat cintaku yang singkat ini kutulis karena malam ini aku ingin mengenangmu sejenak, Ayah. Karena sungguh kusadari engkau yang telah membuat hidupku indah. Dan kalau engkau bisa, aku ingin malam ini engkau ikut mengenang kebersamaan kita yang terasa amatlah singkat, yang sesaat sebelum nafasmu berhenti kemudian berakhir dengan kalimat: “Aku sayang sekali padamu, Ayah. Tapi aku yakin Tuhan lebih sayang lagi padamu.”

Penuh cinta,

Aku.

Minggu, 16 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Tiga: Untuk Selimut Baru)

Selimut tersayang,

Kamu benar-benar luar biasa! Baru kemarin kita berjumpa kali pertama, hari ini kamu sudah buat aku ingin selalu bersama. Selain karena kamar yang memang dingin, halusmu bikin aku selalu ingin. Ingin bermanja, ingin berlama-lama, ingin di pelukmu saja.

Kamu kotak-kotak biru, serasi dengan alas tidurku. Aku langsung jatuh cinta saat melihatmu di rak toko serba ada itu. Di antara lembaran-lembaran selimut lainnya, tatapku hanya terpaku padamu. Tidak bisa tidak, kamu harus ikut aku pulang. Demikianlah sehingga begini, Sayang.

Sekarang kamu jadi teman tidur setiaku. Ingat ya, hanya boleh menemani tidurku! Awas kalau kamu selingkuh rengkuh-rengkuh lain tubuh! Aku yakin kita berjodoh karena malam pertama kita buat aku mimpi sambil senyum. Manis dikulum. Jadi jangan ragukan rasaku, karena tulus aku akan menjagamu.

Selimut tercinta, jangan bilang ini ucapan kosong belaka. Sungguh ini cinta, tapi cinta dengan logika. Tiada selimut lain yang bisa gantikan posisimu di ranjang . Kecuali lelaki, memang. Karena selain menghangatkan, dia juga bisa pegang-pegang. Maaf, pegang tangan kamu memang tak bisa, kan?

Kecup sayang!

Sabtu, 15 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua: Untuk Angin Malam Ini)

Selamat malam, Angin.

Sore tadi dari balkon aku menikmati siulmu yang terjepit di antara dinding-dinding kayu. Merdu. Bernyanyi untuk siapakah kamu dengan nada-nada sendu begitu? Jangan merintih bila kamu merasa tersisih. Orang lain boleh jatuh cinta pada hujan, atau merindukan cerah baskara, atau menaruh hati pada awan berarak. Tetapi aku, aku yang selalu setia menunggu engkau berdesau menyapa dedaunan galau. Aku yang menantimu berbisik di antara batang-batang bambu yang gemerisik. Aku yang menggilai tiupanmu untuk suara ombak yang mengantarku lelap. Jangan bersedih, Sayang. Rambutku yang tergerai ini sesungguhnya menunggu kaubelai-belai. Jadi malam ini aku akan menemuimu di pantai. Kuharap kamu ada di sana menyambutku dengan sepoi.

Penuh rindu,

Aku.

Jumat, 14 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Satu: Untuk Kamu)

Bagaimana caranya menulis surat cinta untuk kamu yang sejatinya telah menjadi bagian dari aku? Kamu, lelaki yang suatu hari membuat luapan kata-kata siap sigap rapi berbaris menjadi bait-bait ungkapan rasa penuh bunga, dan di hari lain memusnahkan kosakata yang seumur hidup pernah terekam di kepala.

Bagaimana caranya menulis surat cinta untuk kamu yang sesungguhnya telah menyatu melalui setiap pori kulitku? Kamu, yang tergambar dalam setiap pejaman mata, terdengar dalam setiap bacaan puisi, terhirup dalam setiap percik minyak wangi.

“Ya, begini,” jawabmu yang sedari tadi memelukku sembari membaca tulisan ini.

Sabtu, 08 Januari 2011

Nasihat-Buat-Sahabat

Tidak pernah ada yang bisa menjamin hasilnya kesabaran.
Namun ingin berontak melawan waktu pun tidak mungkin, bukan?

Tunggu saja, sahabat.
Nanti datang sang saat.
Dia akan datang menjemput dengan kuda sembrani.
Kamu akan jadi gadis yang menawan dengan rok mini.
Kilatan lampu kamera akan menyorot senyummu nan merekah.
Langkahmu akan beralaskan karpet merah.

Tidak pernah ada yang bisa menjamin hasilnya kesetiaan.
Namun membelah hati jadi dua pun bukan penyelesaian, bukan?

Kamis, 06 Januari 2011

Putri Salju



Z


Saya mengaku, ingin pacaran dengan Putri Salju. Pacaran dengan putri dalam dongeng? Ya, dari kartun "Snow White and the Seven Dwarfs" produksi Disney tahun 1937, bukan dari versi asli tulisan Grimm bersaudara di tahun 1812.

Anda tahu? Putri Salju versi aslinya itu bodoh. Entah bodoh atau terlalu polos. Dia sempat tertipu Sang Ratu yang dua kali mencoba membunuhnya sebelum akhirnya berhasil di percobaan ketiga dengan apel merahnya. Yang pertama, Sang Ratu – yang dalam versi dongeng asli ternyata ibu kandungnya, bukan ibu tiri – menyamar jadi pedagang baju yang lalu memakaikan korset untuk Putri Salju terlalu kencang sampai sekarat. Tapi Sang Putri berhasil diselamatkan para kurcaci. Yang ke-dua, Sang Ratu menyamar lagi jadi penjual sisir yang menawarkan untuk menyisiri rambut Putri Salju dengan sisir yang (tentu saja) beracun. Putri cantik itu tertipu lagi, dan untungnya terselamatkan lagi oleh tujuh kurcaci. Hei, keledai saja tidak jatuh di lubang yang sama dua kali, kan? Putri Salju baru benar-benar mati suri di percobaan pembunuhan ke-tiga dengan apel merah.

Anda tentu tahu, kalau kita sedang jatuh cinta, kita ingin cari tahu sebanyak mungkin tentang objek perasaan itu. Jadi saya bertanya terus pada Bapak Google dan Ibu Wiki. Kalau saja cerita Putri Salju versi asli itu dipakai Disney seutuhnya untuk dijadikan kartun, mungkin sekarang ini kita akan tumbuh dewasa dengan preferensi seksual yang jauh lebih melantur dan kinky. Bayangkan, dalam cerita asli, Sang Pangeran memohon pada para kurcaci untuk memboyong mayat Putri Salju bersama peti kacanya ke istananya. Setiap hari, Sang Pangeran enggan meninggalkan badan putri tak bernyawa itu dan menghabiskan waktu seharian untuk menatap kecantikannya. Silakan Anda menilai, ini romantis atau ‘sakit’. Belum selesai sampai di situ, (untungnya) dalam versi ini Sang Pangeran tidak membangunkan Putri Salju dengan mencium bibir merahnya. Mencium bibir mayat, atau yang setidaknya dianggap mayat karena tidak ada yang tahu dia akan bangun lagi, bukan cerita yang saya ingin terekam dalam otak saat masih kecil. Sang Putri sejatinya terbangun dari mati suri ketika salah seorang pelayan Sang Pangeran, yang kesal karena setiap hari disuruh menggotong peti kaca kemana-mana, memukul punggung Putri Salju yang diposisikan berdiri. Pukulan itu menyebabkan potongan apel beracun melompat keluar dari mulut cantiknya, dan Sang Putri hidup lagi.

Ya, Anda mungkin akan setuju, versi asli cerita Putri Salju mungkin lebih cocok dibuat film oleh Tim Burton, atau bahkan Guillermo del Toro. Dan kalau begitu mungkin saya tidak akan sejatuh cinta ini dengan Putri Salju.

Menonton Disney’s Snow White and the Seven Dwarfs di umur yang ke-33 memberikan saya persepsi yang berbeda dari ketika saya masih bocah ingusan yang suka main kelereng. Di umur yang sekarang, hormon seksual saya sudah matang layaknya manusia dewasa. Sudah bisa membedakan mana perempuan cantik, mana yang biasa-biasa saja. Yah, kita bicara faktanya saja, ada perempuan yang memang tidak cantik. Saya sebut biasa-biasa saja karena tidak mau dibilang tidak berperasaan.

Putri Salju ala Disney bisa jadi kekasih dan bahkan istri yang sempurna untuk saya. Lihat, kulitnya putih mulus dengan pipi merona merah muda. Hidungnya yang kecil, bibirnya yang mungil, keningnya yang licin, dan dagunya yang runcing. Tidak akan bosan saya menatapnya setiap hari. Setiap bangun tidur walaupun belum gosok gigi pasti saya cium.

Suaranya walaupun cukup melengking tapi merdu sekali. Tidak apa-apa kalau dia mau di rumah saja seharian. Saya lelah pulang kerja mencari nafkah disambut suara merdunya saja sudah cukup bahagia. Tidak perlu lah menjadi orang kaya.

Lalu, lihat liukan tubuhnya. Anggun sekali. Dia bisa menari sambil menyapu, mencuci baju, merapikan meja makan, mengganti seprai tempat tidur kami. Tempat tidur itu pasti selalu berantakan karena setiap saat saya bisa, saya akan menidurinya. Menidurinya pasti lembut sekali. Tidak tega saya bermain kasar dengan perempuan yang selayaknya seorang putri. Tapi saya sudah bisa membayangkan berbagai posisi yang bisa kami coba dengan tubuh lenturnya itu.

Penasaran sekali saya ingin lihat gundukan dibalik gaun panjangnya. Dengan kulit sebening itu, pasti puncak bukitnya merah jambu. Kulitnya pasti wangi sekali. Kakinya tentu jenjang. Betis yang bernas dan paha yang tak bercela dengan biji kacang yang manis di antaranya. Meremas bokongnya yang penuh atau menyandarkan kepala di atas perutnya pasti terasa seperti surga.

Dia perempuan yang akan membuat saya tunduk. Saya berjanji tidak akan egois lagi seperti perlakuan saya pada mantan-mantan sebelum dia. Putri Salju akan melayani saya. Menyuapi saya dengan jari lentiknya, menyabuni badan saya waktu kami mandi bersama. Dia akan jadi istri yang sempurnya. Anggap saja saya gila karena jatuh cinta pada putri yang tidak nyata. Tidak apa-apa. Ini delusi saya.

Oh iya, maaf. Sudah cerita panjang lebar begini saya dari tadi belum memperkenalkan diri. Kenalkan, saya Z. Saya perempuan yang jatuh cinta pada Putri Salju yang keibuan.

Rabu, 05 Januari 2011

Satu Puisi Satu Hari: #100 Sekian dan Demikian

Sampai adalah mencapai tujuan.
Perjalanan naik turun kiri kanan. Maju. Menepi saat kelelahan.
Akhiran yang tak berkesimpulan. Awalan petualangan.

Terima kasih, penumpang dalam gelap
yang berkata, memaki, maupun cuma senyap.
Sudah mengikut dari merayap, berlari, lalu kini bersayap.

Kembali akan berangkat, ini ancang-ancang.
Jauh pandangan ke depan memandang.
Perjalanan naik turun kiri kanan. Maju. Mencoba untuk terbang.