Jumat, 25 Februari 2011

Jurnal Bantal 25 Februari 2011

Dua hari yang lalu saya masih berpuisi tentang rindu.

Timanglah hatiku hingga kau renta, layaknya ombak yang tak letih membelai pantai. Angkasa dan samudera sahaja berjumpa di cakrawala. Lalu, bilakah kita? Cemburu ini meluap dari wadahnya.

Tetapi hari ini saat pujangga bersajak tentang rindu tak bertepi, saya terhenti di bibir tebing. Sungguhkah rindu tak bertepi? Realita membuka mata saya: bagian tersulit dari menjalani hubungan jarak jauh adalah menyadari bahwa tanpa dia sesungguhnya saya baik-baik saja. Lalu, rindu itu sembunyi di mana?

*mencari*

Selasa, 22 Februari 2011

Jurnal Bantal 22 Februari 2011

Berapa kali kita tergoda untuk kembali pada hangatnya pelukan masa lalu, namun teringat bahwa memang bukan tempatnya lagi kita di situ? Setiap kali terhadang cobaan, pilihannya adalah maju menantang atau mundur mencari nyaman. Adakah pilihan ketiga? Ya ada, tidak berbuat apa-apa dan pasrah saja. Kemudian, nasihat yang paling jamak diterima adalah: “Sabar, semua ada hikmahnya”. Kalau sudah begitu, diskusi berlanjut pada batas sabar itu sendiri. Adakah sesungguhnya batas kesabaran? Bila dibatasi, apakah itu menjadi kebijaksanaan atau bukan? Perlukah kita menempatkan kata “cukup” pada waktu tertentu saat kita terjebak pada situasi menunggu dan atau bahkan terbelenggu? Seorang teman bercerita, begitu saatnya nanti menjadi seorang ibu, barulah merasa sabar itu tidak ada batasnya. Tentu saja dalam hal ini kesabaran pada buah hati. Pada suami? Saya tidak tahu. Jadi kalau masih belum berkeluarga begini, sepertinya saya belum siap untuk menjadi sabar tanpa batas – kalau memang benar hal demikian nyata adanya.

*Tuhan sedang mendidik saya untuk sabar, tapi kadang saya bolos dan malas belajar*

Senin, 21 Februari 2011

Jurnal Bantal 21 Februari 2011

Sejak kemarin malam saya mencumbu bantal di sebuah petirahan yang harga sewa semalamnya cukup untuk membeli skuter metik idaman saya. Itu harga sewa vila yang paling kecil. Yang paling mewah? Cukup untuk membeli mobil Jepang sederhana idaman keluarga Indonesia. Perlu saya sebut nama tempatnya? Begini, saya kasih petunjuk saja. Tujuh aksara – yang pertama B, yang terakhir I. Lokasinya di Uluwatu, Bali.

Bagaimana saya bisa dapat berkah mencicipi rasanya jadi orang kaya begini? Ini berkat welas asih sahabat saya, @yayaphan, sang fotografer handal yang sedang mendapat tugas liputan di sini. “Mari-mari,” katanya waktu itu, “saya selundupkan ke sini, sekalian temani saya yang takut tidur sendiri.” Siapa yang hendak menolak?

Dengan kolam renang mini pribadi, tiga pilihan tempat membasuh diri (di bak mandi, pancuran dalam dan luar ruangan) saya yang gemar main air tidak mengeluh sama sekali. Bagaimana bisa mengeluh? Belum lagi ranjangnya.. Oh ranjangnya.. Bulu apa itu isi bantalnya? Kalau ada istilah ‘bagaikan tidur di atas awan’ mungkin begini ini rasanya. Pemandangan yang menjelajah dari atas tebing sampai ke batas cakrawala menerbangkan lamunan seperti layang-layang. Maaf kalau saya berlebihan. Silakan, sebut saja saya kampungan, saya tidak keberatan. Hahaha.

Tapi saya tidak menulis ini untuk mengulas si petirahan kelas atas, yang bahkan bermimpi untuk kembali lagi ke sini saya belum berani (kecuali dibayari lagi). Beberapa kali saya ditinggal sendirian di vila – karena teman saya harus menunaikan tugasnya, membuat banyak pikiran yang berkejaran dalam kepala. Saya akan berbagi beberapa di antaranya.

Yang pertama, sudah berapa banyak pasangan penuh asmara bergelora yang menghabiskan bulan madunya di kamar ini? Di mana saja mereka bercinta, bersebadan di sudut-sudut ruang berdinding batu-kayu di sini? Apa semua keindahan di dunia akan tetap sama dirasa bila kita sedang patah hati? Karena sesungguhnya saya takut sendiri. Menginap di tempat begini, yang pertama terbayang adalah bagaimana rasanya bila kekasih saya bisa ikut menikmati semua ini bersama-sama. Untuk apa kekayaan, kesehatan, dan kebahagiaan dimiliki bila tidak punya orang untuk berbagi? Ngeri. Maaf, paragraf ini tidak dimaksudkan untuk menyindir orang yang memilih untuk selibat. Saya hanya berbagi pendapat.

Yang kedua, kalau uang bisa membeli segalanya (termasuk rasa), sampai manakah batasnya menjadi kaya? Sepertinya tidak ada. Tapi ketika kita sudah bisa memisahkan keinginan dengan kebutuhan, sepertinya menjadi “cukup” saja sudah bahagia. Bersyukur bisa menginginkan yang kita butuhkan tanpa harus membutuhkan yang kita inginkan. Begitu bukan?

Yang ketiga, bagaimanapun empuknya ranjang berbalut seprai terlembut dengan bantal sehalus gulali yang selalu wangi, tempat paling nyaman di dunia ini adalah dalam pelukan orang yang paling kita sayangi. Oh, dan saya menulis ini sambil tersenyum membayangkan dia.

*pipi saya merona diciumi matahari seharian tadi*


Sabtu, 12 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Tiga Puluh: Untuk Cinta Itu Sendiri)

Cinta,

Demi kamu selalu ada saat-saat pertama, dan karena kamu pula hadir saat-saat terakhir. Dengan kamu sapa pertama tidak ingin dilupakan, dan supaya kamu selamat tinggal terakhir ingin segera tergantikan.
Bukan sebabmu dunia ini berputar, tapi berkatmu putaran itu terasa berharga dan ada asa.
Atas namamu pengorbanan terangkat derajatnya menjadi pengabdian tanpa hitung-hitungan.
Penantian yang menyiksa dan perjumpaan yang buat merana. Perpisahan yang indah dan pertengkaran yang bawa gairah.
Sebegitunya dirimu rumit untuk dimengerti, tapi puisi tentangmu selalu penuh puja-puji dan sarat caci-maki. Tanpamu, lagu-lagu tak bernada, kata-kata kehilangan makna, warna-warna pupus cahaya.
Surat cinta ini untukmu, cinta, yang membuat baris-baris ini ada. Selamat bermalam Minggu dan mengisi sunyi para perindu.

Jumat, 11 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Sembilan: Untuk Penyelamatku)

Sudah lama kita tidak bicara. Benar-benar bicara. Saling bertukar suara. Saling mengisi hampa.

Aku hanya berharap kamu baik-baik saja.

Oh ya, dan aku masih berharap satu hari nanti kamu mengajakku terbang lagi dalam pelukmu yang hangat, tempat yang paling nyaman untuk tangisku beristirahat.

Untukmu, selalu tersimpan terima kasih dalam amplop merah jambu yang terselip pada setiap tiupan kecupku.

Kamis, 10 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Delapan: Untuk Sendiri)

Bukan surat cinta untuk diri sendiri – tapi untuk saat sedang sendiri. Kesendirian yang tidak sepi.

Karena ‘sendiri’ adalah hakiki, dan ‘kesepian’ adalah hal yang berbeda lagi – ia adalah bagaimana kesendirian itu tidak dinikmati. Sebenarnya dalam waktu aku yang sedang satu itu nikmat sekali dapat mencipta karya, mengolah talenta, berkaca, berbicara suka-suka, mengamini karunia.

Jadi seorang diri adalah waktu memperbaiki relasi dengan jiwa dan koneksi dengan sukma. Introspeksi lewat memori lalu bercakap dengan Sang Pencipta yang berdiam dalam hati.

Dan aku masih diberi kesempatan untuk mengucap syukur hari ini. Sendiri. Tanpa tetapi. Indah sekali.

Rabu, 09 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Tujuh: Untuk yang Bersembunyi di Balik Rasa Takut)

Ini kuulurkan tanganku supaya kamu lebih berani. Hidup dalam kekuatiran dan rasa takut berlebihan tidak akan membawamu ke mana-mana. Lalu buat apa kamu hidup kalau diam di tempat saja? Sesungguhnya semua yg dilakukan dengan hati rasanya nikmat sekali. Ayo dengarkan hati dan jadilah pemberani!

Selasa, 08 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Enam: Untuk Siapa yang Merasa)

Ini hanya sekedar catatan pendek saja. Bolehlah kau bilang surat cinta, kalau kau merasa sedemikian rupa.

Andaikan rasa itu bisa ditakar – seberapa besar kita mencinta, dan seberapa dalam kita menyimpan benci, mungkin sudah ada ilmuwan yang mendapatkan nobel dengan menciptakan formula menjalankan hubungan asmara. Bisakah dua sendok makan cemburu dicampur satu galon rindu menghasilkan cinta seluas samudera? Ataukah lima cangkir kecewa diaduk rata dengan sejumput curiga menjadikan benci semalam saja?

Hei, tidak ada rumus untuk membentuk emosi. Tidak ada penggaris yang mengukur dalamnya hati. Rasa tak dapat terdefinisi oleh angka, bila itu maumu. Dan satu lagi, kita tidak bisa memilih bagaimana inginnya merasa pada satu keadaan, tapi kita selalu bisa memilih bagaimana menyikapi perasaan yang kita simpan.

Sekian dan demikian.

Senin, 07 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Lima: Untuk Hatiku yang Pilu)

Hatiku sayang,

Maafkan keteledoranku pagi tadi yang membuatmu tersungkur dengan pilu. Berawal dari rasa ingin tahu melihat video itu, aku tidak tahan membuka tautannya, dan akhirnya kamu harus merasa perihnya melihat manusia kehilangan kemanusiaannya. Tolong sampaikan maafku juga untuk kedua mata, Sayang. Mereka sempat tersedu ketika emosiku ikut membuncah. Tapi terlebih aku kuatirkan kamu, hatiku. Betapa kamu tidak kuat melihat ketertindasan, anarki, dan kebiadaban. Mendengar makian saja kamu terenyuh, apalagi harus menyaksikan ini yang beribu-ribu kali lipat lebih menghantam sukma. Kasihan kamu, hatiku, harus melihat bagaimana Tuhan yang sebetulnya tidak perlu dibela malah jadi alasan untuk menyiksa dan menghilangkan nyawa. Ke mana nurani mereka, aku juga tidak tahu. Entah bagaimana mereka bisa tidak punya hati begitu. Di bawah pengaruh substansi tertentu? Telah dicuci otak? Terhimpit keadaan dan tidak punya pilihan lain? Atau sesungguhnya mereka memang betul-betul bukan manusia? Mari kita berdoa malam ini, hatiku. Bukan hanya untuk korban yang teraniaya, tetapi juga untuk mereka yang semena-mena. Mari berdoa untuk jiwa mereka semua, dan membiarkan Tuhan yang jadi hakimnya.

Hatiku sayang,

Semoga malam ini kamu sudah baik-baik saja setelah kuajak bertamasya dan berkarya. Aku tahu, dibalik permukaanmu yang rentan itu kamu menyimpan kekuatan dan ketangguhan. Masih tersimpan banyak kasih di dalammu yang akan kubagi-bagi untuk sesama makhluk hidup. Semoga benih yang kita tebar itu bisa membuat penghuni bumi yang lain ikut menyebarkan cinta dan ketulusan. Karena dunia ini sudah terlalu gelap akan kedengkian. Mari kita mulai dari diri sendiri, Sayang. Karena setidaknya itulah yang bisa kita lakukan.

Penuh harapan,

Aku.

Minggu, 06 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Empat: Untuk yang Membuatku Menangis)

Air mataku memang sudah kering malam ini. Sudah kubasuh wajahku dan kulenyapkan jejak deraian di pipi. Sepertinya luka di hati ini juga tidak akan pedih lebih lama lagi. Karena aku percaya, kamu yang bekerja sama dengan waktu akan membuatnya pulih dan berseri.

Aku bahagia karena kita bisa selalu berbicara. Berdiskusi, lalu saling mengerti dan menerima. Mustahil memang kalau berharap semua buah pikiran dan pendapat akan sama. Justru perbedaan itu yang membuat kita merasa kaya.

Sudah, sudah, aku sudah tidak menangis lagi. Yang sudah terjadi tidak usah disesali. Friksi kita akan selalu jadi jembatan untuk saling mengenali, dan bahan pelajaran untuk menjadi lebih baik lagi di masa depan nanti. Nah, sekarang kemarilah, genggam tanganku lalu dekap di hati. Tapi jangan terlalu kencang, nanti aku menangis lagi.

Sabtu, 05 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Tiga: Untuk yang Membuat Hatiku Bernyanyi)

Aku kehabisan kata-kata untuk surat cinta buatmu malam ini. Tapi kata orang, sebuah gambar bisa mengungkap seribu kata. Jadi, ini kugambar untukmu. Tentangmu.

Jumat, 04 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Dua: Untuk Cupid)

Sepuluh hari lagi, Cupid. Di tanggal 14 nanti waktu kasih sayang dirayakan dan jadi objek komersial paling menjual, kamu akan dipuja di mana-mana. Sudah siapkah anak-anak panah cintamu itu kauasah? Pastikan bidikanmu masih mantap dan busurmu masih lentur. Akan ada banyak anak manusia yang menagih asmara. Mereka akan mencari merah muda dan memetik bunga-bunga.

Tapi tunggu, akan ada lagi sebagian yan mencemoohmu. Mereka bilang seharusnya cinta dirayakan setiap hari. Entah alasannya karena memang ingin berbeda saja, tidak tahu mau merayakan dengan siapa, atau memang setulusnya begitu yang mereka percaya. Untuk mereka tanggal 14 Februari bukan tanggal yang istimewa.

Tapi jangan berkecil hati, Cupid. Surat cinta ini kukirimkan supaya kamu tetap semangat bekerja. Aku berada di tengah-tengah, di antara dua kubu mereka. Ya, memang kasih sayang harusnya terungkapkan setiap hari. Tetapi kadang terlalu sibuknya manusia tiap hari mencari sesuap nasi, mereka lupa dan tak punya waktu untuk bercinta. Jadi buatku, biarlah Hari Kasih Sayang tetap dirayakan sebagai pengingat akan pentingnya berbagi sesama makhluk-Nya.

Giatlah berlatih memanah, Cupidku, supaya tepat selalu bidikanmu. Sampai sepuluh hari lagi kita masih punya waktu. Sampai hari itu tiba, setiap malam aku masih akan giat menulis surat cinta, puisi penuh rasa, dan prosa sarat romansa.

Kamis, 03 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh Satu: Untuk Kamu yang Belum Kembali)

Cepat pulang, Sayang. Karena Opera Van Java tidak sama rasanya kalau kamu tidak ada. Sule tidak selucu waktu aku menontonnya sambil dirangkul kamu!

Rabu, 02 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Puluh: Untuk Kembang Api Malam Ini)

Terima kasih sudah mewarnai langit dengan ledakanmu sesaat tadi, warna-warnimu menyemat bunga pada kelamnya angkasa. Pecahanmu di udara kunikmati dari balkon sendiri saja. Entah siapa lagi, entah di mana, yang menegadah dengan rasa yang sama – berpikir serupa saat percikmu mekar bergema. Sepi jugakah mereka?

Sekejap kamu mengingatkan bahwa sejatinya semua di dunia hanya sementara. Seperti cahayamu yang menyala lalu hilang dan terlupa.

Selamat tahun baru kelinci untuk kamu yang diletuskan untuk merayakannya!

Selasa, 01 Februari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Sembilan Belas: Untuk Bayangan Lelakiku)

Hei.

Sepertinya aku harus menulis surat cinta sendiri untuk kamu, bayangan lelakiku. Karena walaupun dia sedang tidak di sampingku, bahkan ribuan mil jauhnya, kamu selalu mengikutiku. Di kamar mandi waktu aku membasuh diri, di dalam cermin waktu aku berdandan pagi-pagi, di dalam piring waktu aku menyantap nasi, di pelupuk mata waktu aku menjemput mimpi, bahkan di layar komputer waktu aku mengetik ini. Kamu di mana-mana!

Aku sadar aku tidak bisa lepas darimu waktu aku mulai jatuh cinta padanya. Bilang saja aku gila. Mungkin aku memang tergila-gila. Tidak waras, tidak berakal sehat, tidak berlogika. Tapi daripada aku berusaha menghindarimu dan semakin tersiksa, aku telah sampai pada titik ‘menerima’. Rela aku diusik kamu di mana-mana, kalau memang beginilah gejala rindu serindu-rindunya. Toh dia yang di sana mengaku tak bisa lepas dari bayang-bayangku juga. Ketika kami tidak saling membayangkan itulah seharusnya aku mulai curiga. Jadi sekarang kehadiranmu di tiap hembusan nafas kunikmati saja.

Malam ini, kamu menemaniku sambil menyeruput cokelat hangat. Mengingat jejak kecupnya di bibirku yang masih lekat.