Rabu, 25 Mei 2011

Malu

Rajah di dua lenganmu menyambut pinggul si pemalu.
Terlucuti gaun dan terlepas kaitnya pengampu susu.
Cawatnya basah tersentuh jari tengahmu.
Detik itu ia milikmu. Ia dan jurang di antara dua tungkainya itu.

****

Lelaki, bangunlah lebih lekas dari burungmu.
“Kuluman kemarin masih terasa di puncak bukitku.”
Salahkan cermin di langit-langit yang jadi candu.
Karena itu, ia bukan lagi malu-malu.

****

“Hari ini kamu milikku. Kamu dan kelaminmu.”

Senin, 23 Mei 2011

Cemburu

Ia memandang ke seberang. Jauh, jauh ke seberang. Menyeberangi lautan. Melewati garis cakrawala dan batas pandangan. Bukan ke masa depan, tetapi pada masa lalunya yang terbentang di lain daratan.

Ia cemburu.

Pada redup bulan dititipkannya kedipan sebelah mata. Berharap yang di sana masih tergoda, saat menatap langit yang sama. Tapi ia tahu, yang dirindu sedang kagumi bola mata yang berbeda – menyusuri molek tubuh yang menantang berahinya.

Ia merasa lebih kecil dibanding butir kotoran yang terselip di bawah kukunya. Lebih tidak berdaya dibanding layangan putus tanpa benangnya. Lebih hancur dibanding serangga yang terinjak alas kakinya. Hatinya membiru. Tidak. Mengungu. Lebam dihantam haru.

“Pantaslah malam kembali tak berbintang, kerumun awan menghadang. Hujan membayang. Sepi menggenang,” batinnya.

“Sayang, kasih sayang menjadi debu terbakar hasrat yang terlalu menggebu. Mengapa harus cemburu bila ia memang bukan milikmu?” bisik angin.

Ia berlindung dalam selimut tanpa nyawa. Hangatnya maya.


****


Senin, 16 Mei 2011

Terbang Pulang

P

Buatku, bandara adalah sarang melodrama, di mana air mata pertemuan dan perpisahan membaur dalam satu bangunan. Di terminal kedatangan: bertebaran peluk sambutan dan kecup selamat datang. Di terminal keberangkatan: bergayutan senyum pelepasan dan salam sampai jumpa lagi -- berat hati karena yang pergi kadang tak pernah kembali. Di situlah aku terakhir melepas gandenganmu.

Tidak banyak yang kubawa dalam perjalanan ini. Hanya sebuah tas punggung berisi pakaian kotor. Karena kamu tahu, aku akan pulang kembali, bukan pergi bervakansi. Sementaraku di kota ini sudah sampai di ujungnya, sekedar menyapa kawan-kawan lama dan keluarga. Dan kamu, yang mengisi hati lebih berat dari isi bagasi.

Sekarang di sini, ruang tunggu menjadi saksi berlidah kelu, yang mendengar dan menyaksikan. Bangku-bangku yang berderet kaku disinggahi hangat badan-badan calon penumpang yang menanti untuk terbang. Kesempatan terakhir untuk mengungkap kasih sayang lewat telepon genggam sebelum (harusnya) dimatikan nanti di dalam perut pesawat. Jadi kukirim pesan untukmu begini: “Wangimu masih lekat di hidungku. Keringatmu masih terasa di ujung lidah.” Lalu telepon kumatikan, tidak ingin membaca balasan yang menguras emosi.

Di depanku baru duduk seorang lelaki berkemeja. Tentengannya hanya dua, sebuah tas komputer jinjing dan kantong plastik berisi roti yang aku yakin baru dibelinya tadi di terminal ini. Disobeknya bungkus roti dengan cabikan gigi. Sepertinya lapar sekali. Kunyahnya tergesa, ingin segera ditelannya gumpalan roti campur liur lewat kerongkongan. Lewati rongga perut dan membungkam cecacing yang mulai meronta. Kiranya hendak bertemu siapa dia di kota tujuan? Adakah yang menjemputnya dan menyambut dengan pelukan?

Cekikik sekelompok gadis berkulit pucat susu membubarkan fantasiku. Terdengar dari percakapan dan pakaian siap berlibur, mereka mencari rona di muka. Ya, gadis-gadis, gelapkanlah kulit kalian yang transparan. Carilah hiburan dan tabunglah pengalaman. Berwarnalah sedikit. Biarkan pipi-pipi licin kalian merah diciumi matahari. Lalu, sampai di pulau nanti, carilah lelaki. Tapi jangan berharap mereka akan cinta mati, paling hanya sampai akhir minggu usai – lalu lupa lagi.

Lihat kan, semua orang bertujuan. Mereka berencana, menyiapkan perjalanan, lalu menentukan waktu untuk lepas landas. Si lelaki berkemeja, gadis-gadis pucat, bahkan sekelompok ekspatriat dengan logat lekat di sebelah sana, juga keluarga muda dengan bayinya, dan manusia-manusia lain di ruang pengap ini. TAPI MENGAPA AKU PERGI SENDIRI? Kamu selalu hanya akan jadi tempat persinggahan, tidak pernah ikut pulang! Bahkan menentukan arah bersamaku pun sepertinya enggan. Kamu akan selalu di Utara, aku di Selatan. Kutub yang berseberangan namun tarik-tarikan.

Sebelum aku menginjak halaman rumahku nanti, semoga keseratus milyar sel syaraf otakku ini sudah tak lagi mendengungkan namamu. Supaya saat anakku menyambut kepulanganku dengan tangan-tangan kecilnya, ia tetap tak curiga. Supaya ia tetap percaya, suamiku adalah ayahnya. Supaya ia tidak mengenal kamu yang menanam benihnya.

****

Minggu, 15 Mei 2011

-- Adalah.

Pagi adalah kemewahan -- arak-arakan awan dan matari yang mengajak berkawan.

Malam adalah kesederhanaan -- kerlipan gemintang dan bulan yang menyayang.

Mimpi adalah harta -- rentetan harapan dan manisnya angan-angan.

Jujur adalah wajahmu selagi tidur.

****

Selasa, 10 Mei 2011

Selamat Pagi


Selalu ada selamat pagi terselip di antara geligi yang belum pun kau gosok sedari malam.
Lalu kecupmu itu, yang kugandrungi, mendarat lekat di dahi.

Tanya tetap menggantung di atas setiap tatap -- acap menguap dalam diam.
Tidak ada tenggat yang harus ditepati, sekarang maupun nanti.

Sayang, mimpi yang kita nikmati subuh tadi hanya berakhir jadi tahi mata yang hitam.
Matari yang mengetuk jendela mengeringkannya hingga terseka di pipi.

Pulanglah, bila setengah hati masih dipendam.
Namun tetap tinggal, bila atap yang kausebut rumah sungguh di sini.


****

Senin, 09 Mei 2011

Jakarta dan Bali

Liur apa yang kautinggalkan saat mengulum lidahku tadi?
Mengapa racunnya meresap sampai ke hati, buatku merindu ciummu lagi?
Getarannya masih terasa sampai ujung jemari.
Hei, Lelaki! Mari kembali!
Bibirku meranum, menagih janji.

****

Minggu, 08 Mei 2011

Jurnal Bantal 8 Mei 2011

Kumpulan Doa untuk Semua


Hari baik untuk semua! Untuk yang jatuh cinta dan tergila-gila, untuk yang patah hati dan tersakiti. Lihat, kita masih berbagi cahaya matahari!

***

Selamat pagi untuk semua. Untuk yang dibohongi dan dicibir, untuk yang memaafkan dan tertawa paling akhir.

Selamat Rabu untuk semua. Untuk yang merasa, mengaku, sudah, dan tidak akan pernah berubah -- mari sapa hari yang baru.

Selamat pagi untuk semua! Untuk yang masih bisa tertawa, untuk yang belum berhenti menangis, dan untuk yang senyum-senyum sendiri.

Selamat pagi untuk semua! Untuk yg tersiksa rindu dan ingin bertemu, untuk yg mulai bosan dan mau berpisah, untuk yg di persimpangan dan tak tahu jalan.

Selamat pagi untuk semua. Untuk yang bermuka dua, untuk yang berstandar ganda, untuk yang bergunung kembar.

Selamat tidur untuk semua. Untuk yang setia dan yang mendua. Untuk yang rela berbagi dan egois sendiri. Untuk yang mendendam dan memaafkan.

Selamat malam untuk semua. Untuk yang mengingkari dan menepati. Untuk yang melupakan dan mengenang. Untuk yang terlelap dan terjaga.

Selamat siang untuk semua. Untuk yang tidur malam dan bangun pagi, untuk yang tidur pagi dan bangun siang, untuk yang baru sarapan dan sudah makan siang.

Selamat pagi untuk semua. Untuk yang terlambat dan terlalu cepat. Untuk yang menunggu dan ditunggu. Untuk yang mengejar dan dikejar.

Selamat istirahat untuk semua. Untuk yang sadar dan yang mabuk. Untuk yang lamban dan yang buru-buru. Untuk yang besar dan yang kecil.

Selamat pagi untuk semua. Untuk yang belum tidur dan sedang mimpi. Untuk yang sudah pergi dan belum berangkat. Untuk yang hangat dan basi.

Selamat pagi untuk semua. Untuk yang kepagian dan kesiangan. Untuk yang masih rindu dan sudah bosan. Untuk yang kekenyangan dan kelaparan.

Selamat pagi untuk semua. Untuk yang baru kenalan dan sudah berkawan. Untuk yang masih pacar dan sudah mantan. Untuk nasi dan ketan.

Selamat pagi untuk semua. Utk yang lancar dan yang mampet. Untuk yang santai dan yang kebelet. Untuk yang "cuma temen" dan yang "lagi deket".

***

Selamat pagi untuk semua. Untuk yang pergi dan yang pulang. Untuk yang sendiri dan yang sepasang. Untuk yang dulu dan yang sekarang.

Sabtu, 07 Mei 2011

Jurnal Bantal 7 Mei 2011

Sekian.

Kita punya dua mata dan satu mulut. Artinya boleh banyak melihat, tapi yang dicium tetap cuma satu.

Kita punya dua lengan dan sepuluh jari. Artinya yang dirangkul bisa dua, tapi yang dicolek bisa banyak.

Kita punya dua lubang hidung dan satu dubur, agar bisa menarik nafas lebih sering dari membuang angin.

Kita punya dua lubang hidung dan sepuluh jari tangan supaya tidak bosan-bosan mengupil -- bisa ganti-ganti jari sesuka hati.

Kita punya satu mulut dan dua telinga supaya lebih banyak mendengar dibanding bicara. Faktanya mulut perempuan ada dua.

Kita punya satu mulut dan dua telinga supaya lebih banyak mendengar dibanding bicara. Faktanya lelaki punya microphone sendiri.

Kita punya satu hati supaya bisa mendua. Kalau punya dua hati bisa mengempat – kebanyakan.

Kita punya otak di atas mulut supaya berpikir dulu sebelum bicara. Faktanya ada orang yang otaknya di dengkul.

Sekian dan demikian.