Senin, 31 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #18 Lelaki

Usah kauminta belaian dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Tanpa ucapmu, lidahku suah mulai menggerayangi.
Siapa hendak menolak disuguhi ciptaan rupawan seperti ini?
Usah kautanya waktu yang sudah kita lewati.
Aku mau menikmatimu tanpa melihat arloji.
Hanya ingin mengecap sedap, pelan-pelan, pelan sekali.
Hampir seperti stagnasi.
Tanpa ejakulasi.

1Puisi1Hari: #17 Ganda, Ternyata

Tidak ada yang lebih menyiksa dibanding raga gelepar mencari udara.
Ternyata.
Sesak menagih akan O2, paru-paru memompa hampa.
Terasa dingin saat darah mengucur dari dada.
Genangan merah menjalar di ubin, di tembok, dan sela-sela.
Pada kilau pisau dia berkaca.
Oh, begini rasanya.
Ternyata.
Meninggalkan sakit dan menagih cinta pada Sang Pencipta,
aku membunuh pribadiku yang ke-dua.

Rabu, 26 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #16 Epilog

Sepersekian sekon adalah jeda yang terpanjang, ketika pergi adalah penantian untuk waktunya pulang kembali.

1Puisi1Hari: #15 Monolog

Aku melempar makian pada hempasan kutang yang kuyup peluh di lantai kamar
-- berbagi teriknya jam tiga sore dengan tirai jendela yang kian menguning.

Menunggal tidak pernah terasa segerah ini
-- ketika matari bukan lagi mengulum senyum, tapi tanpa santun pamerkan gigi.

1Puisi1Hari: #14 Prolog

Rentangan tangan adalah rumah terindah, ketika pulang adalah kembali pada teduhnya pelukan.

1Puisi1Hari: #13 Mati Rasa

Aku bisa merasakan hati yang membusuk pelan-pelan
Baunya menyuduk-nyuduk liang pernafasan

Hei, kalau ini benar rasa yang sudah mati
kenapa dia bangkit lagi dari pekuburan?

Aku bisa merasakan dengki yang merangkak ke permukaan
Bukan hantu, dia mayat hidup yang minta makan

Jumat, 21 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #12 Tidur Sendiri

Dengan siapa kamu tidur malam ini?
Masihkah sisi ranjang sebelah kiri angkuh dingin tidak terisi?
Detak detik jam dinding menghitung sepi yang terlewat tanpa kecupan di dahi.
Tidak ada lagi “selamat istirahat, aku cinta kamu sampai mati”.

Nyanyian serangga malam jadi pengantar hingga terlelap di batas pagi.
Sunyi adalah hati yang terjaga dengan rindu ingin berbagi.

Sesungguhnya, Sang Esa mendengar doa kita yang tidur sendiri.
Ada saatnya nanti, dia yang dimimpikan bersama kita membangun mimpi.

1Puisi1Hari: #11 Pesan Instan

Musuh kita bukanlah hanya kerasnya kepala
Tetapi tentara kata yang berbaris lewati jembatan media;
Unjuk kekuatan lewat layar berukuran senti saja –
Bersenjata antena penjaja sinyal berjanji surga –
Yang nyatanya: kadang tiba di medan perang, kadang tertunda.

Ini serupa argumen salah paham karena pesan instan tak juga diterima.
Sabar, ya.

Rabu, 19 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #10 Ngilu

"Pikir-pikir lagi kalau kau hendak main serong dengan si mulut manis itu!
Olehku, batangmu akan dimutilasi lantas digantung di atas pintu!"

Selasa, 18 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #9 KRIIING!



Selamat, pagiku!
Embunmu berbaris di sela-sela kaca jendela,
di balik dedaun pun, mereka.
Dititiskan udara saat bulan masih berjaga.
Semangat, pagiku!
Cerahmu memantul di cermin-cermin perawan,
di pipi kanak-kanak, mereka.
Dipancarkan matari untuk semua jiwa.
Pagi, pagiku!
Salam ini untukmu, yang acap dicaci penggerutu.
Tidak suka dering beker, mereka,
inginnya lelap sahaja.

Senin, 17 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #8 Bila Kita

Bahagia menjadi sedikit kurang sederhana
Tapi saya tidak menolak bila ada kali ke-dua
Menyeruput gelato di kios berhias neon dekat alun-alun waktu purnama
Sambil menapaki jalan-jalan berbatu di kota kecil di Italia

Mungkin bila bulan madu kita?

1Puisi1Hari: #7 Kawin Paksa

Miris
Cincin di jari manis meringis
Ia dipinang oleh rasa bersalah
Dengan dendam ia menikah

Malu
Kepalkan tangan sembunyi-sembunyi
Meski didendangkan bidadari
Keputusan telah terketuk palu

Percayalah. Semua akan indah.
Pada waktunya. Tidak terpaksa.


1Puisi1Hari: #6 Vakansi

Aku ingin rekreasi menuju lekuk-lekuk tubuhnya.
Telusuri gunung dan lembah kulit hangatnya.
Mereguk segar mata air dalam senyum tulusnya.
Mengulum bulat-bulat manis buah tak terpetik.
Bermanja-manja dalam rasa bagai terculik.
Vakasi, melarikan diri dari realita tak terusik.

*seperti diperkosa, padahal rela*

Jumat, 14 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #5 Ini Hanya Masalah Waktu

maafkan, sayang
masa laluku tidak ternilai
tak akan terbeli bila kautawar

tapi ini, ambillah masa depanku
yang untukmu sebenarnya sudah laku
sekalipun tidak kujual

di etalase terpajang wajah anak-anak kita
menunggu dibayar dengan tunai
mata uang yang berlaku: kepingan hati

1Puisi1Hari: #4 Empat

Sungguhnya jarak ini tak bersekat
Hembus nafas membelai wajah, hangat
Mata beradu tatap, lekat
Detak jantung terdengar lamat-lamat

Mohon jawabannya, Sahabat
Bila dia semakin dekat,
kenapa gelombang rindu semakin hebat?

Rabu, 12 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #3 Sudah Lupa

Sampai berjumpa lagi, lelaki pembunuh rasa.
Kamu, akan kusimpan bagai sketsa kemarin sore.
Dia, akan kujelang seperti kabut esok pagi,
dan malam kami akan berhias kunang-kunang.

Aku, melupakanmu di atas ranjang berkelambu.

Selasa, 11 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #2 Misuh

Peluh jatuh, butirannya penuh-penuh.
Sementara perut bergemuruh.
Badai apa yang sedang kauramu, cecacing?
Belum puas lihat aku mondar-mandir jamban teraduh-aduh?
Misuh – diare belum jua sembuh.


(foto oleh @adelpasha)

Senin, 10 Oktober 2011

1Puisi1Hari: #1 Hidung

Bulu mata palsu lambaikan salam tanpa malu.
Ketika Hidung Belang mencari nirwana
yang terselip di antara kaki betina.

Gincu serona ungu jadi tanda lunasnya nafsu.
Ketika kumis tipis belai bibir Pelacur
yang malam ini tak jadi menganggur.

Selesai di ronde pertama – tiada pemenang maupun pecundang.
Ingat anak-istri, Hidung Belang lalu pulang.
Dan Pelacur kembali menjalang.


Cat kuku merah jambu jadi saksi bisu.
Ketika lubang hidung diperkosa kelingking
yang merampas paksa upil kering.