Senin, 31 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Delapan Belas: Untuk Sisi Ranjang yang Kosong)

Aku murung, tidak suka tidur sendiri. Tidak ada dia waktu menoleh ke kiri. Tidak ada saling rebut selimut. Tidak ada saling jajah wilayah. Ranjang ini terlalu luas untuk tanpa dia kutiduri.

Wahai sisi ranjang yang kosong, izinkan aku mengendus sisa baunya darimu. Sebentar saja, untuk obati rindu.

Minggu, 30 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Tujuh Belas: Untuk 20-08-2008)

Untuk Rabu, 20 Agustus 2008.

Aku cinta kamu, Rabu yang tidak kelabu. Senja itu pertama kali aku dan dia bertemu. Muka bertatap muka. Aura berjumpa aura. Masing-masih mengucap dalam batin, “Oh, ini dia wujud aslinya”. Setelah setahun bercakap lewat kata-kata yang terketik saja. Belum ada rasa hari itu, tentu saja. Toh aku pun masih ada yang punya.

Betapa ironisnya, Rabu, di tanggal yang dulu terencana sebagai tanggal cantik aku disunting lelaki lain, Sang Esa mempertemukanku dengan dia yang sekarang terbaik untukku. Aku ingat kamu, Rabu. Hari itu aku melihat senyumnya pertama kali. Melihat bibirnya menciptakan suara saat bercerita, dalam perjalanan menemuiku hari itu topi kesayangannya terjatuh dan hilang. Dan aku menandai kamu sebagai hari pertama aku bimbang.

Hari-hari setelah kamu, Rabu, saat aku jauh dari Tanah Air dimulailah proses lahir dan batin menuju keputusan besar dalam hidupku. Pengalaman dan pelajaran baru yang penuh berkat dari-Nya membuka sekat-sekat baru dalam pikiran, menuntunku pada sebuah babak baru. Dan akhirnya aku mengerti, saat kamu datang itu aku memang dipertemukan dengannya untuk mencegahku kembali jatuh ke lubang yang sama lagi, untuk yang ke-sekian kali. Kembali aku amini, tidak ada yang kebetulan. Semua terjadi karena ada alasan.

Sudah lebih dari dua tahun sejak kamu, Rabu. Aku bersyukur sampai sekarang tanggal yang sama masih kurayakan bersama dia. Semoga perjalanan kami bersama akan berlangsung lama. Terus, terus, terus tanpa putus.

Terima kasih, Rabu 20 Agustus 2008. Kamu hari pertama kami bertemu.

Sabtu, 29 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Enam Belas: Untuk Siapa?)

Untuk yang pernah mampir di hati lalu angkat kaki.

Ini bukan surat cinta biasa. Ini surat pernah cinta, karena dulu ada rasa tapi sekarang sudah tidak ada. Bukan juga untuk menggali yang pernah ditimbun, tetapi memupuk yang sekarang ditanam. Kamu, kamu, kamu, dan kamu.. Eh tunggu, aku lupa menghitung surat ini untuk siapa saja. Yah, sebut saja kalian. Kalian setuju kan, masa lalu itu sudah tertimbun dan bibit baru sudah tertanam?

Ini hanya sekedar ucapan terima kasih atas pelajaran yang telah diberikan. Aku mendewasa melewati masa dengan masing-masing kalian. Setiap pelajaran berakhir dengan ujian, dan aku lulus lalu naik tingkat sampai sekarang yang ke-sekian. Kalian bukan kegagalan, bukan pula batu loncatan, tetapi bagian dari hidup sebagai kurikulum pendidikan. Makin lama aku makin mengerti hati dan perasaan. Sekali lagi terima kasih, para mantan.

Surat pernah cinta ini cukup sekian dan demikian. Aku tidak mau pasangan kalian sekarang keburu cemburu.

Dari aku, yang sudah tidak seperti yang dulu.

Jumat, 28 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Lima Belas: Untuk Cokelat Hangat di Sudut Bibirmu)

Hei, kamu.

Tolong sampaikan surat ini untuk setitik cokelat hangat yang tersisa di sudut bibirmu itu. Manisnya membuatku bernafsu. Ingin aku mengecapnya dengan ujung lidahku. Setelah itu, sebenarnya terserah kamu, mau mengejarnya kembali dengan lidahmu di antara liur dalam mulutku, atau membiarkan aku meracik segelas lagi cokelat hangat untuk kutuliskan surat cinta.

Aku yang gemas mengulum bibir sendiri.

Kamis, 27 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Empat Belas: Untuk Pasir di Kakiku)

Kamu mungkin tidak tahu, betapa rindu aku merasamu menyusupi sela-sela jemari kakiku. Sampai tadi kita berjumpa lagi di Pantai Geger. Kamu yang hangat terpanggang mentari menyambut telapakku yang telanjang. Lembut sangat. Kukira tadi pertemuan kita singkat sekali, terpotong hujan yang nyaris tidak berhenti. Tetapi malam ini saat aku beranjak tidur dan cuci kaki, kutemukan sebutirmu terselip di bawah kuku. Oh, ternyata kamu pun berat melepasku. Malam ini aku akan lelap karena ternyata cinta ini tidak bertepuk sebelah tangan.

Rabu, 26 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Tiga Belas: Untuk.. Ah, Lagi-Lagi Kamu)

Hebat!

Lagi-lagi kamu yang mengalirkan energi dari hati dan otakku beriring-iringan. Energi yang menuju ujung jemari membuat ungkapan perasaan menjadi barisan kalimat pernyataan: surat cinta. Diberi makan apa sih kamu waktu kecil sama ibumu, kok bisa hebat begitu? Rasanya ini ya, padamu, seperti kena guna-guna. Walaupun aku tahu kenyataannya tidak begitu, karena bagaimanapun kau mantrai aku, ‘dukun’ Yang Mahaagung itu kupercayai lebih hebat dari dukunmu!

Dia Yang Mahahebat itu yang mempertemukan garis hidup kita di persimpangan jalan. Aku percaya, tidak ada yang kebetulan. Semua terjadi karena ada alasan. Nah, itu yang aku pertanyakan. Untuk apa rasa sehebat ini Dia ciptakan? Bila setiap orang ditiupkan nafas kehidupan untuk suatu tujuan, bagaimana dengan kita? Dua manusia yang saling jatuh hati dipersatukan atas nama cinta. Untuk apa?

Aku mengagumimu untuk setiap karya yang kaucipta. Aku menghormati tiap sumbangsihmu pada sesama. Aku mengherani buah pikiranmu yang tidak biasa. Aku terpesona tubuhmu yang menggoda. Tapi jangan tanyakan alasanku jatuh cinta, aku tidak punya jawabannya.

Jadi sayangku, kalau boleh sedikit kutarik kesimpulan malam ini. Yang kutahu, sejak bertemu kamu, aku ingin menjadi manusia yang lebih baik. Dan kalau senyatanya kamu tidak diciptakan untuk bersanding denganku sampai nafas yang terakhir terhembus dari mulutku, kenanglah ini: aku bersyukur Dia pernah mempertemukan kita dan mengizinkanku mencicipi bahagia – apapun tujuanNya.

Selasa, 25 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua Belas: Untuk Kupu-Kupu dalam Perutku)

Wahai Kupu-Kupu,

Terima kasih sudah hadir lagi malam ini, menggelepar-gelepar dalam perutku. Aku suka kamu, dan rasa yang kauciptakan waktu aku terpesona, lalu jatuh cinta malu-malu.

Aku yang kini tersipu-sipu.

Senin, 24 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Sebelas: Untuk Langit)

Untuk: Langit.

Sesungguhnya ini adalah surat pengakuan cinta untukmu, bagaimana kusimpan kekaguman padamu yang elok. Menengadah dan menikmati yang tersaji amatlah seronok.

Merahmu di mekarnya fajar yang mengiring kokok Sang Jago memanggilku untuk mengucap syukur akan datangnya hari baru. Lalu naiknya Mentari menuntun barisan awan yang menggoda imajinasi. Aku berani sumpah, kadang kulihat awan mengikuti bentuknya sejoli yang sedang bercinta. Romantis sekali. Langit yang terindah, aku ikut murung ketika kamu kelabu dan mendung. Ikut sedih ketika kamu menangis, merajuk, dan mengamuk dengan kilat dan guntur. Tapi Bunda Alam dan Ibu Bumi tentu memberi waktumu untuk menurunkan hujan bukan tanpa alasan, bukan? Karena sehabis itu kamu pasti menghiburku dengan mahakarya pelangi. Belum lagi jingganya senja. Sedari kecil yang kupuja lukisan wajahmu yang merona mengantar kawanan burung kembali ke Utara. Bahkan saat kamu menggelap pertanda malam, Langitku sayang. Saat gaunmu bersih, kupuja beludru itu yang berhias pendarnya bulan dan kilaunya gemintang.

Jadi, inilah surat pengakuan cinta untukmu. Siang tadi waktu aku dan lelakiku berbaring di rumput menikmati hamparan biru, kamulah yang sungguhnya mengisi hatiku.

Dari: Perempuan yang ingin terbang menciummu.

Minggu, 23 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Sepuluh: Untuk Buku Tulisku)

Selamat malam, Hitam.

Aku membiarkan jemariku menari-nari sendiri di papan ketik sampil menatapmu dengan penuh renjana. Sesekali mereka berselingkuh menyusuri lembaran-lembaran pagina. Tapi percayalah, aksara yang mereka tekan menjadi barisan puitis ini tulus memaknai surat cinta.

Masa tugasmu menyimpan goresan tintaku sudah hampir sampai di ujung jalan. Tinggal tersisa beberapa carik kertas lagi yang belum kumal menyimpan coretan. Ingatkah, beberapa kali kamu terselamatkan dari tumpahan minuman atau curahan air hujan? Basah sedikit, lekas kukeringkan kemudian. Aku tak akan rela kalau sampai harus kehilangan kamu yang selalu terselip di antara ini-itu yang berantakan dalam tas cokelatku. Kamu terlalu berharga untuk terpisah dari aku.

Menyadari bahwa kebersamaan kita memang terencana hanya untuk sementara membuatku takut. Berlebihan menurutmu? Tidak untukku! Semua tulisan dan gambar yang memenuhi putih mulusmu itu hasil putaran otakku yang kurekam diam-diam supaya tidak hilang. Yang dari sana nantinya akan menjadi olahan buah pikiran dan diterjemahkan dalam bentuk karya yang menantang. Kamu mengerti? Jadi hargamu takkan terbeli.

Sebentar lagi, saat paginamu habis terjamah, kamu akan masuk laci. Lalu akan ada lagi buku tulis baru yang bersamakku selalu ikut kesana-kemari. Sebelum waktu itu datang, inilah karyaku untukmu sebagai penghargaan atas pengabdian: surat cinta yang ditulis dengan penuh kerendahan hati – bahwa tanpa kamu ideku bisa mati. Dan, ya, malam nanti kamu tidur bersamaku lagi.

Sampai nanti, Hitam.

Sabtu, 22 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Sembilan: Untuk Kamu Lagi)

Kamu!

Untuk yang kesekian kali aku tulis surat cinta lagi buatmu. Karena, kamu tahu, ini bukan terasa seperti kewajiban, lebih seperti kebutuhan.

Kamu bilang aku jalang karena selalu tidak jauh dari pikiran ranjang. Karena memang begitulah aku yang membuatmu jatuh cinta dengan pandangan garang. Kamu menikmati surat-suratku seperti layaknya kamu melahap hembusan berahiku. Surat-surat cinta itu, begitu pula yang ini nantinya, seperti biasa berakhir di selipan celana dalammu.

Sayang, aku memang jalang dan tertembak pelurumu sang pemburu. Tidak bisa dijelaskan bagaimana tangkapan untuk makan malam ini dengan penuh rela disantap sang penangkap. Mungkin cinta mati? Menyerahkan seluruh raga dan hati disayat-sayat belati? Seumur-umur baru sekali ini aku merasa punya belas kasih sejati.

Kamu yang pertama, Sayang. Yang utama jadi inspirasiku kala menulis sambil mengangkang. Di benakku kamu selalu telentang telanjang. Dan sesungguhnya saat kamu menelan syahwat bulat-bulat, aku pun terpikat. Ketika tautan badan membuat simpulnya sendiri, aku merasa hangat. Ketika nafas kita saling berkejaran cepat, aku menghirup peluh yang lekat.

Nah ini, sekarang kaugoda dulu fantasimu dengan suratku lagi. Lalu sebelum tidur nanti, balaslah dengan kata-kata bergelora tentang surga di antara kaki. Tidak perlu kautulis, cukup kau berbisik. Lebih orgasmik.

Salam,

Si Jalang.

Jumat, 21 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Delapan: Untuk Setangkup Roti)

Teruntuk setangkup roti
(yang sebentar lagi akan kunikmati)
Di depan mata tersaji

Aku suka sekali kamu, roti. Jauh lebih suka daripada nasi. Kadang memang kalau ada yang minta pasti kubagi, walau dengan berat hati. Mau disajikan berbagai rupa, akan kusantap kamu dengan penuh sukacita. Dengan selai kacang dan butiran cokelat, dengan margarin asin dan keju lembaran, dengan selai cokelat dan pisang, dengan saus salad dan telur dadar, dengan susu kental manis dan keju parut, dibakar, dipanggang, digoreng, oh, bisa kuteruskan sampai besok pagi!

Maaf ya roti, aku sudah tidak tahan lagi. Besok kucoba lagi, semoga bisa menulis surat cinta untukmu sampai selesai. Tapi sekarang..

Nyam nyam nyam nyam

Kamis, 20 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Tujuh: Untuk Biyu)

Hai Biyu!

Sumpah, aku kangen sekali sama kamu! Kapan terakhir kita ketemu? November tahun lalu? Ah, sudah lama sekali. Kenangan tentang kamu selama lima tahun kebersamaan kita masih lekat sekali di kepalaku.

Semoga keadaanmu baik-baik saja. Terbayang sekarang tubuhmu yang sudah dimandikan, cat birumu berkilauan, olimu yang sudah diganti, larimu yang mulus kencang, kulitmu yang sudah disemir, kabinmu yang wangi. Biyu, sudah dibawa kemana saja kamu oleh pemilik barumu? Terakhir dia kasih kabar, kamu sempat dibawa keliling Jawa. Wah, bangganya aku mendengar ceritanya itu. Kamu memang hebat! Waktu dulu sama aku, paling jauh kita ke pantai indah Bayah di Banten, ya? Enam jam aku tak lepas di balik kemudimu dari Jakarta.

Terlalu banyak memori bersamamu yang sebenarnya ingin kusimpan dalam kotak perhiasan, lalu kuhias pita-pita. Akan kubuka sekali-sekali saat aku rindu dan ingin mengenang hari-hari kita. Sesungguhnya, kamu pernah jadi bagian berharga sepanjang masa penuh perubahan dalam hidupku. Keputusan untuk melepasmu pun akhirnya kuambil dengan penuh pertimbangan, karena akhirnya aku harus kembali melakukan langkah besar dalam perjalananku di dunia. Ya, aku mohon maaf karena tidak bisa mengajakmu ikut aku pindah ke pulau yang menakjubkan ini.

Biyu, perpisahan kita untuk kebaikan, bukan? Kamu tahu, sampai kapanpun posisimu di hatiku tidak akan tergantikan. Sudah saatnya aku melangkah dengan pilihan-pilihan baru yang kutemukan di setiap persimpangan, yang artinya, mungkin harus merelakan satu-dua kenangan agar bisa maju ke depan. Waktuku bersamamu sudah sampai di ujung jalan. Kamu dan pemilik barumu akan menjalin persahabatan, yang kuharap seindah yang pernah kita rayakan.

Baik-baik ya, Sayang. Jangan rewel sama sahabat barumu. Kali lain aku tulis surat lagi. Semoga saat itu kamu masih ingat aku yang dulu suka habiskan waktu berjam-jam di bengkel hanya untuk kamu.

Tiup kecup,

Aku.

Rabu, 19 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Enam: Untuk Anakku Kelak)

19 Januari 2011, untuk dibaca 19 Januari 2031.

Hei, Nak.

Surat ini Ibu tulis saat engkau belum terlahir, belum pun dibikin. Jadi jauh, jauh sebelum engkau kenal aksara dan mahir membaca. Dan lebih jauh, jauh lagi sebelum surat ini sampai ke tanganmu sekarang ini. Saat menyusun kata-kata penuh cinta ini, Ibu belum mengenalmu, bahkan mungkin belum ketemu ayahmu. Mana tahu? Walaupun Ibu berharap yang di sisi Ibu sekarang ini yang akan menanam benihmu kelak.

Surat ini Ibu tulis untukmu, anak (tunggal/sulung)ku. Kamu coret saja kata yang tidak perlu dalam kurung itu ya, karena waktu menulis, Ibu sungguh belum tahu. Ibu berharap bisa menjadi orang tua yang baik bersama ayahmu. Semoga saat kaubaca kalimat barusan, engkau akan mengangguk dan berkata, “Iya, Bu. Engkau baik.” Atau kalau Ibu boleh bermimpi lebih tinggi, engkau akan tersenyum dan berujar, “Iya, Bu. Engkau yang terbaik.” Dan, ya, semoga saat kau baca paragraf ini, Ibu masih bersamamu di dunia dan masih bertenaga untuk memelukmu dan membuatmu bahagia.

Surat ini Ibu tulis supaya bagaimanapun nantinya wujud Ibumu ini, kamu bisa mengingat bahwa orang tua itu dulunya pun pernah muda. Dan apapun yang Ibu pelajari saat masih belia ini akan jadi pijakan untuk nantinya menurunkan pelajaran padamu di umur yang sama. Semoga pelajaran hidup Ibu bisa menjadi cermin untukmu berkaca. Sabar saja kalau Ibumu ini jadi orang tua yang cerewet. Namanya juga orang tua. Cerewet itu tanda cinta.

Surat ini Ibu tulis tidak akan panjang, Nak. Hanya sekedarnya untuk membuatmu ingat akan Ibu, di manapun kamu berada. Jangan lupa untuk bersyukur dengan kehidupan, apapun yang tersaji di hadapanmu sekarang. Karena kebahagiaan itu bukan dinanti, tapi diciptakan. Dan rasa syukur adalah awal untuk menciptakan kebahagiaan. Ingat, doa Ibu untukmu selalu. Mulai dari ditulisnya surat ini, sampai nanti waktu Ibu dipanggil Sang Pencipta kembali.

Salam dari 20 tahun lalu,

Ibu.

Selasa, 18 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Lima: Untuk Otak dan Hatiku)

Hei kalian.

Semoga ketika membaca surat ini, kalian sudah berbaikan. Selalu kan, kalau sudah masalah cinta pasti berseteru. Yang satu mau begini, yang lain mau begitu. Bikin aku panas dingin tidak menentu.

Inilah kenapa surat cinta ini untuk kalian berdua, bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Supaya dibaca berdampingan, atau sebelah-sebelahan.

Begini ya, singkat saja. Aku mau bilang aku cinta kalian, sebagai pasangan yang bekerja berbarengan. Kadang, otak, aku pilih logika dan realita. Dan kadang, hati, aku pilih perasaan dan asmara. Manapun pilihanku di satu waktu adalah tanggung jawabku, menentukan langkah sebagai individu untuk masa depan sendiri maupun berdua bersama dia yang nantinya akan jadi pendamping hidupku yang kuharap untuk selama-lamanya. Jadi kalian jangan saling menyalahkan kalau satu dua kali aku tersandung karena salah menentukan pilihan. Karena itupun buatku jadi bahan pelajaran supaya (semoga) lebih baik ke depan.

Otak, teruslah mengkalkulasi untung rugi dan menimbang keadaan. Lihatlah permasalahan dari dua sisi, dan jadilah sejujurnya juri. Lalu bukalah mataku untuk melihat kenyataan.

Hati, teruslah menggali sedalamnya perasaan dan siapkanlah sebanyaknya persediaan maaf. Besarkanlah dirimu supaya tak akan habis dibagi-bagi. Lalu lapangkanlah dadaku untuk terus memberi kasih sayang.

Sekian.

Aku sayang kalian (sebagai rekanan).

Senin, 17 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Empat: Untuk Mendiang Ayah)

Halo Ayah.

Baru berkata sapa saja tangisku sudah mau tumpah. Masih perlukah menanyakan kabarmu, Ayah? Yang kuyakini engkau sekarang berada di tempat terbaik. Karena orang-orang baik, sepertimu, ketika sudah menyeberang ke alam sana pasti akan diberikan tempat yang selayaknya.

Kabarku baik, Ayah – seandainya engkau bertanya. Tempo hari waktu aku berkunjung ke tempat jasadmu ditanamkan, aku sempat berdoa. Kutitipkan salam untukmu pada Tuhan. Kubilang, kabarku baik, tak banyak berubah. Seperti biasa aku bercerita. Tentang hari-hariku, tentang Ibu, tentang teman-temanku, lalu tentang dia yang setia di sisiku. Semoga itu pesan tersampaikan, dan engkau mendengarkan.

Sesungguhnya apa yang tak pernah kuungkapkan, Ayah, adalah hari-hari pertama engkau meninggalkan kami. Bagaimana kakakku yang tangguh terisak di pelukku. Bagaimana Ibu kangen padamu. Bagaimana aku berjalan timpang tanpa gandengan tanganmu. Bagaimana kami membereskan harta bendamu yang terasa ikut kehilangan nyawa bersama dengan kepergianmu. Lukisan terakhirmu yang tak akan pernah terselesaikan. Dawai gitarmu yang tak lagi didentingkan. Surat cintamu yang tak sempat tersampaikan.

Tapi kami bertahan, Ayah. Kami meneruskan kehidupan. Dan aku, aku meneruskan impian. Aku meneruskan semua yang pernah kauajarkan. Bagaimana hidup saling mengasihi. Bagaimana menghargai karya seni. Bagaimana memuja Ilahi.

Surat cintaku yang singkat ini kutulis karena malam ini aku ingin mengenangmu sejenak, Ayah. Karena sungguh kusadari engkau yang telah membuat hidupku indah. Dan kalau engkau bisa, aku ingin malam ini engkau ikut mengenang kebersamaan kita yang terasa amatlah singkat, yang sesaat sebelum nafasmu berhenti kemudian berakhir dengan kalimat: “Aku sayang sekali padamu, Ayah. Tapi aku yakin Tuhan lebih sayang lagi padamu.”

Penuh cinta,

Aku.

Minggu, 16 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Tiga: Untuk Selimut Baru)

Selimut tersayang,

Kamu benar-benar luar biasa! Baru kemarin kita berjumpa kali pertama, hari ini kamu sudah buat aku ingin selalu bersama. Selain karena kamar yang memang dingin, halusmu bikin aku selalu ingin. Ingin bermanja, ingin berlama-lama, ingin di pelukmu saja.

Kamu kotak-kotak biru, serasi dengan alas tidurku. Aku langsung jatuh cinta saat melihatmu di rak toko serba ada itu. Di antara lembaran-lembaran selimut lainnya, tatapku hanya terpaku padamu. Tidak bisa tidak, kamu harus ikut aku pulang. Demikianlah sehingga begini, Sayang.

Sekarang kamu jadi teman tidur setiaku. Ingat ya, hanya boleh menemani tidurku! Awas kalau kamu selingkuh rengkuh-rengkuh lain tubuh! Aku yakin kita berjodoh karena malam pertama kita buat aku mimpi sambil senyum. Manis dikulum. Jadi jangan ragukan rasaku, karena tulus aku akan menjagamu.

Selimut tercinta, jangan bilang ini ucapan kosong belaka. Sungguh ini cinta, tapi cinta dengan logika. Tiada selimut lain yang bisa gantikan posisimu di ranjang . Kecuali lelaki, memang. Karena selain menghangatkan, dia juga bisa pegang-pegang. Maaf, pegang tangan kamu memang tak bisa, kan?

Kecup sayang!

Sabtu, 15 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Dua: Untuk Angin Malam Ini)

Selamat malam, Angin.

Sore tadi dari balkon aku menikmati siulmu yang terjepit di antara dinding-dinding kayu. Merdu. Bernyanyi untuk siapakah kamu dengan nada-nada sendu begitu? Jangan merintih bila kamu merasa tersisih. Orang lain boleh jatuh cinta pada hujan, atau merindukan cerah baskara, atau menaruh hati pada awan berarak. Tetapi aku, aku yang selalu setia menunggu engkau berdesau menyapa dedaunan galau. Aku yang menantimu berbisik di antara batang-batang bambu yang gemerisik. Aku yang menggilai tiupanmu untuk suara ombak yang mengantarku lelap. Jangan bersedih, Sayang. Rambutku yang tergerai ini sesungguhnya menunggu kaubelai-belai. Jadi malam ini aku akan menemuimu di pantai. Kuharap kamu ada di sana menyambutku dengan sepoi.

Penuh rindu,

Aku.

Jumat, 14 Januari 2011

#30HariMenulisSuratCinta (Hari Satu: Untuk Kamu)

Bagaimana caranya menulis surat cinta untuk kamu yang sejatinya telah menjadi bagian dari aku? Kamu, lelaki yang suatu hari membuat luapan kata-kata siap sigap rapi berbaris menjadi bait-bait ungkapan rasa penuh bunga, dan di hari lain memusnahkan kosakata yang seumur hidup pernah terekam di kepala.

Bagaimana caranya menulis surat cinta untuk kamu yang sesungguhnya telah menyatu melalui setiap pori kulitku? Kamu, yang tergambar dalam setiap pejaman mata, terdengar dalam setiap bacaan puisi, terhirup dalam setiap percik minyak wangi.

“Ya, begini,” jawabmu yang sedari tadi memelukku sembari membaca tulisan ini.

Sabtu, 08 Januari 2011

Nasihat-Buat-Sahabat

Tidak pernah ada yang bisa menjamin hasilnya kesabaran.
Namun ingin berontak melawan waktu pun tidak mungkin, bukan?

Tunggu saja, sahabat.
Nanti datang sang saat.
Dia akan datang menjemput dengan kuda sembrani.
Kamu akan jadi gadis yang menawan dengan rok mini.
Kilatan lampu kamera akan menyorot senyummu nan merekah.
Langkahmu akan beralaskan karpet merah.

Tidak pernah ada yang bisa menjamin hasilnya kesetiaan.
Namun membelah hati jadi dua pun bukan penyelesaian, bukan?

Kamis, 06 Januari 2011

Putri Salju



Z


Saya mengaku, ingin pacaran dengan Putri Salju. Pacaran dengan putri dalam dongeng? Ya, dari kartun "Snow White and the Seven Dwarfs" produksi Disney tahun 1937, bukan dari versi asli tulisan Grimm bersaudara di tahun 1812.

Anda tahu? Putri Salju versi aslinya itu bodoh. Entah bodoh atau terlalu polos. Dia sempat tertipu Sang Ratu yang dua kali mencoba membunuhnya sebelum akhirnya berhasil di percobaan ketiga dengan apel merahnya. Yang pertama, Sang Ratu – yang dalam versi dongeng asli ternyata ibu kandungnya, bukan ibu tiri – menyamar jadi pedagang baju yang lalu memakaikan korset untuk Putri Salju terlalu kencang sampai sekarat. Tapi Sang Putri berhasil diselamatkan para kurcaci. Yang ke-dua, Sang Ratu menyamar lagi jadi penjual sisir yang menawarkan untuk menyisiri rambut Putri Salju dengan sisir yang (tentu saja) beracun. Putri cantik itu tertipu lagi, dan untungnya terselamatkan lagi oleh tujuh kurcaci. Hei, keledai saja tidak jatuh di lubang yang sama dua kali, kan? Putri Salju baru benar-benar mati suri di percobaan pembunuhan ke-tiga dengan apel merah.

Anda tentu tahu, kalau kita sedang jatuh cinta, kita ingin cari tahu sebanyak mungkin tentang objek perasaan itu. Jadi saya bertanya terus pada Bapak Google dan Ibu Wiki. Kalau saja cerita Putri Salju versi asli itu dipakai Disney seutuhnya untuk dijadikan kartun, mungkin sekarang ini kita akan tumbuh dewasa dengan preferensi seksual yang jauh lebih melantur dan kinky. Bayangkan, dalam cerita asli, Sang Pangeran memohon pada para kurcaci untuk memboyong mayat Putri Salju bersama peti kacanya ke istananya. Setiap hari, Sang Pangeran enggan meninggalkan badan putri tak bernyawa itu dan menghabiskan waktu seharian untuk menatap kecantikannya. Silakan Anda menilai, ini romantis atau ‘sakit’. Belum selesai sampai di situ, (untungnya) dalam versi ini Sang Pangeran tidak membangunkan Putri Salju dengan mencium bibir merahnya. Mencium bibir mayat, atau yang setidaknya dianggap mayat karena tidak ada yang tahu dia akan bangun lagi, bukan cerita yang saya ingin terekam dalam otak saat masih kecil. Sang Putri sejatinya terbangun dari mati suri ketika salah seorang pelayan Sang Pangeran, yang kesal karena setiap hari disuruh menggotong peti kaca kemana-mana, memukul punggung Putri Salju yang diposisikan berdiri. Pukulan itu menyebabkan potongan apel beracun melompat keluar dari mulut cantiknya, dan Sang Putri hidup lagi.

Ya, Anda mungkin akan setuju, versi asli cerita Putri Salju mungkin lebih cocok dibuat film oleh Tim Burton, atau bahkan Guillermo del Toro. Dan kalau begitu mungkin saya tidak akan sejatuh cinta ini dengan Putri Salju.

Menonton Disney’s Snow White and the Seven Dwarfs di umur yang ke-33 memberikan saya persepsi yang berbeda dari ketika saya masih bocah ingusan yang suka main kelereng. Di umur yang sekarang, hormon seksual saya sudah matang layaknya manusia dewasa. Sudah bisa membedakan mana perempuan cantik, mana yang biasa-biasa saja. Yah, kita bicara faktanya saja, ada perempuan yang memang tidak cantik. Saya sebut biasa-biasa saja karena tidak mau dibilang tidak berperasaan.

Putri Salju ala Disney bisa jadi kekasih dan bahkan istri yang sempurna untuk saya. Lihat, kulitnya putih mulus dengan pipi merona merah muda. Hidungnya yang kecil, bibirnya yang mungil, keningnya yang licin, dan dagunya yang runcing. Tidak akan bosan saya menatapnya setiap hari. Setiap bangun tidur walaupun belum gosok gigi pasti saya cium.

Suaranya walaupun cukup melengking tapi merdu sekali. Tidak apa-apa kalau dia mau di rumah saja seharian. Saya lelah pulang kerja mencari nafkah disambut suara merdunya saja sudah cukup bahagia. Tidak perlu lah menjadi orang kaya.

Lalu, lihat liukan tubuhnya. Anggun sekali. Dia bisa menari sambil menyapu, mencuci baju, merapikan meja makan, mengganti seprai tempat tidur kami. Tempat tidur itu pasti selalu berantakan karena setiap saat saya bisa, saya akan menidurinya. Menidurinya pasti lembut sekali. Tidak tega saya bermain kasar dengan perempuan yang selayaknya seorang putri. Tapi saya sudah bisa membayangkan berbagai posisi yang bisa kami coba dengan tubuh lenturnya itu.

Penasaran sekali saya ingin lihat gundukan dibalik gaun panjangnya. Dengan kulit sebening itu, pasti puncak bukitnya merah jambu. Kulitnya pasti wangi sekali. Kakinya tentu jenjang. Betis yang bernas dan paha yang tak bercela dengan biji kacang yang manis di antaranya. Meremas bokongnya yang penuh atau menyandarkan kepala di atas perutnya pasti terasa seperti surga.

Dia perempuan yang akan membuat saya tunduk. Saya berjanji tidak akan egois lagi seperti perlakuan saya pada mantan-mantan sebelum dia. Putri Salju akan melayani saya. Menyuapi saya dengan jari lentiknya, menyabuni badan saya waktu kami mandi bersama. Dia akan jadi istri yang sempurnya. Anggap saja saya gila karena jatuh cinta pada putri yang tidak nyata. Tidak apa-apa. Ini delusi saya.

Oh iya, maaf. Sudah cerita panjang lebar begini saya dari tadi belum memperkenalkan diri. Kenalkan, saya Z. Saya perempuan yang jatuh cinta pada Putri Salju yang keibuan.

Rabu, 05 Januari 2011

Satu Puisi Satu Hari: #100 Sekian dan Demikian

Sampai adalah mencapai tujuan.
Perjalanan naik turun kiri kanan. Maju. Menepi saat kelelahan.
Akhiran yang tak berkesimpulan. Awalan petualangan.

Terima kasih, penumpang dalam gelap
yang berkata, memaki, maupun cuma senyap.
Sudah mengikut dari merayap, berlari, lalu kini bersayap.

Kembali akan berangkat, ini ancang-ancang.
Jauh pandangan ke depan memandang.
Perjalanan naik turun kiri kanan. Maju. Mencoba untuk terbang.

Satu Puisi Satu Hari: #99 Dua Puluh Delapan

Aku akan selalu berada di sana.
Di antara lamunanmu dan realitas.
Ilusif namun teraba.
Di mana waktu tak berbatas.

Selamat menjadi dua puluh delapan.
Kamu, bunga tidur yang di pelukan.

Senin, 03 Januari 2011

Satu Puisi Satu Hari: #98 Makan

Kegemarannya melahap gairah yang sedang melonjak. Suka, dia, mengunyah keinginan yang ditahan-tahan.

Perlahan, lelaki. Pelan-pelan habisakan santapan.
Kulum saja dulu daging lembut sebelum kautelan.
Mari, kusuapi dengan tangan.

Satu Puisi Satu Hari: #97 Tinggi

Kadang saya memang terlalu tinggi hingga merasa terlalu rendah untuk menata kata-kata. Cuma kuat satu bait dicipta.

Minggu, 02 Januari 2011

Satu Puisi Satu Hari: #96 Merancap

Sirami lagi otak kotorku dengan peluhmu, supaya imajinasiku subur selagi memuaskan hasratmu.

Terbayang tertusuk lubang yang menuntun pada liang, panjang mendobrak sampai ujung menabrak berkali-kali-kali-kali-lagi-lagi-lagi.

Jarak antara dua manusia direkatkan air liur dan cairan dari liangku sang betina. Eternit saksinya. Dalam mimpimu, pria.

Selamat tidur.