Rabu, 30 Maret 2011

Jam Empat Pagi

C

Aku masih menggigil kedinginan waktu mengetik pesan singkat untuknya. “Aku kedinginan, nih. Sampe gemeteran.” Lalu kutekan tombol enter di ponsel cerdasku, disusul tombol power di remote AC.

Dalam hitungan detik, panggilan telepon darinya berdering masuk.
“Halo?”
“Kamu nggak apa-apa?”
“Giting. Kedinginan.”
“Aku ke sana ya?”
“Hmm.” Nada dehamku mengiyakan. Sedikit ragu.
“Tanggung juga aku mau pulang, udah jam setengah tiga begini. Aku numpang tidur di tempatmu ya?”
“Hm-m.” Sedikit lebih pasti.
“Nanti jam sembilanan juga aku udah harus cabut.”
“Iya.” Paling pasti. Sambungan lalu mati.

Dalam selimut, menunggu dia mengetuk pintu, aku menilai ulang penampilanku. Keadaan rambut yang agak kusut, hidung sedikit kilap berminyak, sisa maskara di bawah mata, kaus tidur nan gombrong – bukan lingerie, perut kencang penuh terisi nasi goreng sosis babi, dan.. ah, sebenarnya aku tidak terlalu peduli. Biar saja dia lihat bentukku yang seperti ini. Tak perlu lah aku bersolek lagi. Toh aku tidak merasa perlu dinilainya menarik lagi.

Dia? Siapa dia? Aku selalu kesulitan menjelaskannya. Teman? Ya, kami sering bertukar cerita, bahkan yang paling pribadi. Teman, tapi mesra? Ah, basi! Tapi kadang-kadang kami memang mesra. Sekali-sekali. Tidak sering. Jarang. Ya, kadang-kadang. Teman tidur? Dulu, pernah. Satu-dua kali. Eh, atau tiga ya? Aku lupa. Dulu itu, beberapa tahun lalu, waktu kami masih sama-sama (mengaku) lugu. Yang pasti sejak dulu tidak pernah ada ucapan bahwa kami ini ‘sepasang’. Ya, kautafsirkan sajalah sendiri bagaimana hubungan kami ini.

Beberapa minggu ini kami mulai dekat lagi. Aku bahkan tidak ingat kapan babak drama ini dimulai kembali. Selalu begini. Mungkin lebih seperti komedi. Karena begitulah biasanya kami, saling menghibur diri lalu hanyut lagi. Tidak tanpa sengaja, karena memang suka. Hanyut itu membiarkan diri lepas kendali. Sekali-sekali memang perlu, harus diakui.

Kurang lebih setengah jam, aku dikejutkan suara ketukan. Sudah tiba dia? Ah, bahkan suara mobilnya masuk halaman pun tadi tidak kedengaran.

Berusaha sesantai mungkin aku beranjak membukakan pintu. Sedikit melirik ke cermin di meja rias yang kulewati, lalu sekejap teringat bahwa aku (seharusnya) tidak peduli.

“Hey,” sapaku saat pandangan kami beradu di ambang pintu.

“Masih kedinginan?” tanyanya. Tanpa kecupan. Tanpa pelukan.

“Dikit.” Bahkan tidak ada basa-basi ‘dari mana?’ atau ‘kok jam segini baru selesai kerja?’ di jam tiga pagi.

Dia membawa masuk tas selempang komputer jinjingnya dan sebuah tas gym berisi baju. Aku sudah tahu, memang tas itu selalu dibawanya ke mana-mana. Dia selalu siap bermalam di mana saja. Sering di ruang kantornya, karena tuntutan pekerjaan yang selalu bersisa.

Aku menyamankan diri kembali di dalam selimut, sambil menunggunya berganti baju dan membersihkan diri di kamar mandi. Potongan-potongan kejadian masa lalu berkejaran dalam kepalaku, ingatan dari pertama kali kita bertemu lima tahun yang lalu sampai detik tadi aku membuka pintu. Untuk yang kesekian kalinya, seperti yang biasa kulakukan setiap kami menghanyutkan diri, aku berkontemplasi: hubungan ini tidak akan mengarah ke mana-mana. Di sinilah selalu batas terjauhnya – berbagi hangat di atas ranjang, dengan atau tanpa selimut.

“Makasih ya aku boleh numpang,” katanya sambil merebahkan diri di sampingku.

“Iya.”

“Aku langsung tidur, ya.”

Sesungguhnya aku tidak mengerti, kalimat itu pertanyaan atau pernyataan. Kubalas saja, “Aku matiin lampu, ya.”

Klik. Lalu remang. Hanya cahaya sedikit menerobos tirai jendela dari lampu di lorong luar kamar. Kami saling memunggungi.

Aku bisa merasakannya gelisah. Aku bisa mendengar suara gesekan seprai dengan kakinya yang berganti-ganti posisi. Oh, sebenarnya aku pun resah. Detak jantungku berakselerasi.

Dia? Kenapa dia? Aku selalu kesulitan menjelaskannya. Teman yang baik? Ya, dia tidak pernah membocorkan rahasia. Memberi masukan bila diminta. Teman-temanku pun mengaguminya. Dia cerdas dan berwawasan luas. Arsitek yang paham seni. Pekerja keras yang arogan. Penampilannya tidak buruk, tapi tidak juga terlalu tampan. Mapan, cukup terkenal di pergaulan Jakarta Selatan. Musuh feminis yang sebenarnya dalam hati kesepian.

Lalu aku? Kenapa aku? Aku sudah berhenti mencari jawabannya – kenapa aku yang dipilihnya untuk berdiri di wilayah abu-abu. Toh, aku pun menaruhnya di wilayah yang kurang lebih berona sama di pojok hatiku. Kalau mau dibandingkan dengan pacar-pacar resminya, sejujurnya aku selalu merasa lebih baik. Mungkin tidak lebih cantik. Tetapi aku lebih bisa membuat obrolan kami menarik. Menandinginya dalam diskusi, melayaninya berargumen, menghiburnya dengan lelucon yang lucu tidak lucu selalu membuat kita tertawa bersama. Dan yang paling kusuka, kami selalu saling menggoda. Tidak ada pura-pura. Jujur, nafsu ya nafsu saja.

Lalu kami? Bagaimana dengan kami? Memang, aku tidak pernah bertanya dan menuntut apa-apa. Bahkan tidak untuk kejelasan hubungan. Ya, kami saling sayang. Tetapi jelas tidak platonik. Semua kesimpulanku hanya hasil proses analisa. Tidak pernah benar-benar keluar dari mulutnya, bagaimana konsepnya akan sosokku. Sebaliknya pun begitu. Dan aku benar-benar tidak pernah mau tahu dengan siapa lagi dia menjalin hubungan seperti ini.

Ah, bodo amat! Aku menelentangkan badan.

Dia membalikkan tubuhnya dan mulai menciumi leherku. Mendesahkan nafasnya di telingaku. Percuma berpura-pura, karena dalam hati kami memang sama-sama mau. Aku memalingkan wajah dan menyambut gamitan bibirnya. Aku selalu suka ciumannya. Lembut, tidak memburu, lidahnya seperti malu-malu. Jemariku menyusuri rambutnya yang ikal, lalu berhenti di tengkuk dan memainkan anak rambutnya di sana. Mulutku sebenarnya masih mengecap getah ganja, mungkin dia merasakannya juga, karena ciumannya tak berhenti. Seperti ingin lagi dan lagi. Tangannya mulai menyelip masuk ke balik baju tidurku. Ketika aku mulai membuka mata, badannya sudah menindihku. Mulutnya sudah mengeksplorasi titik-titik sensitif di puncak dadaku.

Tunggu.

Aku merasa ini tidak benar. Tidak seharusnya. Bukan sewajarnya. Sekali ini aku merasa tidak sebaiknya begini. Rasanya seperti berpegangan di pinggir sungai ketika arus sedang deras-derasnya. Terengah-engah, aku mendorongnya kembali ke posisi semula, lalu merapikan kembali kausku yang tersingkap. “Tunggu,” kataku, “aku.. Ehmm..”

Ah, bangsat! Aku menyumpah dalam hati. Ucapanku terdengar seperti gadis lugu yang terlalu ragu-ragu. Dia tidak menjawab dan kembali memunggungiku.

Beberapa menit aku berusaha menenangkan diri. Kenapa kali ini rasanya salah sekali? Aku tahu, salah adalah adjektiva yang seharusnya tak terhitung besarnya. Seperti dosa. Dosa ya dosa saja. Salah ya salah saja. Tidak ada terlalu salah atau terlalu dosa. Begitu logikaku di kepala.

Ah, bodo amat! Aku memeluknya dari belakang dan mulai menciumi sisi wajahnya.

Dia kembali membalikkan badan dan menyambut juluran lidahku. Di sela-sela ciuman lalu berkata, “Bikin aku keluar.” Terdengar lebih seperti perintah. Dasar arogan! Lelaki angkuh! Tangannya membimbing tanganku membelai belalai di antara dua kakinya. Aku tidak menolak. Apalagi berontak. Menuruti birahi.

Apa yang kubelai sudah terlanjur keras. “Mau keluar di mulut apa di tangan?” tanyaku memastikan. “Di tangan aja,” jawabnya. Aku tidak merasa direndahkan. Kubuka bajuku dan kubuka bajunya, supaya kami makin hangat berhimpitan.

Tidak ada penetrasi, kali ini. Singkat cerita, pergumulan kami selesai dengan klimaksnya di tangan kananku. Kemudian seperti tidak terjadi apa-apa setelah itu. Aku menyeka ceceran maninya dengan kaus tidurku, lalu terlelap tanpa baju. Dia pun tak lama lagi mendengkur dengan pulasnya tanpa merasa perlu menjelaskan apa-apa. Hanya ucapan terima kasih setelah kuseka bersih tadi.

***

Sedikit lewat dari jam empat pagi. Tanpa pertanyaan yang perlu dijawab. Tanpa solusi yang perlu dicari. Aku terbangun dengan rasa bersalah, bukan karena apa yang kembali terjadi di antara kami. Tetapi karena kaus oblong calon suamiku dipakai menyeka ceceran mani tadi.

Senin, 21 Maret 2011

Jurnal Bantal 21 Maret 2011

Puitwit - Kumpulan Puisi Mini di Twitter


Purnama pun meragu, haruskah ia menjemput malam kala Matari masih pongah di singgasana. Sementara senja kian merona, apa daya?

***

Rinai air hujan belum pun reda, derai air mata menggenang jua. Pagi basah hanyutkan resah. Aku ingin kamu, bolehkah?

***

Sesungguhnya kesepian yang paling pilu itu bukan saat sedang sendiri, tapi saat merasa sendirian di tengah keramaian. Sekian dan demikian.

***

Hei penghuni bumi, mengapa susah sekali membumi? Yang terbang matanya silau bintang, sulit pijakkan kakinya pulang.


***

Rumahmu di hatiku, wahai Kelana. Walau kau hanya mampir seminggu untuk kembali berlalu. Ranjang ini menunggu, hangat selalu.

***

Aku jatuh cinta untuk yang kesekian kalinya pada rautan meja. Sampai mengganggu waktu kerja, karena inginnya lagi-lagi meraut saja.

***

Setelah berbagi tawa dengan para malaikat belahan jiwa, aku kembali pulang ke ranjang kosong dan selimut tak bernyawa.

***

Dengan atau tanpamu -- bahagia itu nisbi, namun hampa itu absolut. Aku tidak takut.

***

Selamat tinggal adalah kamu melambai di balik jendela dan aku mengetuk pintu sunyi.

***

Sabtu, 12 Maret 2011

Jurnal Bantal 12 Maret 2011

Mengulum adalah: mengolah dalam mulut – dengan bibir dan lidah, tanpa dikunyah.
Berkelindan diartikan: erat jadi satu, kamu dan aku – bersebadan.
Gelinjang merupakan: lonjakan di atas ranjang – meregang dan melepas tegang.

Satu: Ia mengulum getirnya cemburu waktu berkelindan dengan sang malam, lambat-lambat hingga ruhnya menggelinjang dalam pelukan kelam.

Dua: Matari mengulum awan gulali di sore hari, kala langit jingga berkelindan dengan lautan – beranak ombak yang menggelinjang penuh riang.

*berjimak dengan sajak*

Jumat, 11 Maret 2011

Jurnal Bantal 11 Maret 2011

Curahan hati tentang sahabat lama – coretan puisi.

Puisi pasti sedih kalau cuma disapa dalam galau. Seperti tak bereksplorasi. Ia ingin punya jiwa dengan seribu rasa dalam segala masa. Untukku, puisi yang bagus tidak harus melankolis, ia bisa matematis dan tetap manis. Bukannya anti puisi cinta, tapi aku gemas kadang orang lupa masih ada puisi lucu, puisi penuh nafsu, bahkan puisi marah-marah atau hanya tentang sepatu.

*berpuisi tentang puisi*

Kamis, 10 Maret 2011

Jurnal Bantal 10 Maret 2011

"Bermain kata-kata untuk pekerjaan itu kesenangan. Berkarya untuk diri sendiri itu rekreasi."

"Menulis itu kerja sama kepala dan hati, walaupun kadang-kadang ada yang mau menang sendiri."

"Apa yang dibuat dari hati adalah karya sejati."

"Pujian dan impresi adalah bonus. Tujuan sesungguhnya adalah untuk berkespresi."

"Membaca, seperti menyantap makanan, itu sesuai selera. Saya hanya koki kata-kata yang suka bermain dengan rempah nafsu, masih belajar pula. Akan sangat senang kalau kita belajar dan berkarya bersama."


*main serong dengan kamus, sembunyi-sembunyi dengan tesaurus, bersanding dengan permain kosakata dan membiak terus*

Sabtu, 05 Maret 2011

Jurnal Bantal 5 Maret 2011

Pada ruang dalam dada, namanya bergema -- berkali-kali, lagi dan lagi. Berpantulan di dinding hati. Apa namanya ini?

Dalam rongga kepala, pikiran-pikiran berlompatan tidak karuan.

*tarik nafas panjang*