Jumat, 11 Januari 2013

IBA


Namanya Iba. Ia terlahir dari rahim ibunya yang penuh belas kasih, tepat tiga puluh delapan minggu setelah dibuahi ayahnya yang sedang pulang dari melaut. Iba tak pernah kenal ayahnya yang tak pernah kembali setelah menghamili ibunya. “Ayahmu ditelan samudera,” jawab sang ibu penuh cinta, setiap kali Iba bertanya. Tapi yang terakhir kali, Ibu tak lagi bisa menjawab. Bibirnya biru dan beku. Kata orang, Ibu pergi menyusul Ayah. “Ditelan samudera?” tanya Iba pada tetangga yang menemukan jasad Ibu gantung diri di kamar mandi. “Ditelan sepi,” jawab yang terucap. Iba baru tujuh tahun waktu itu, belum mengerti rasanya ditinggal mati.

Umur tujuh belas tahun, ia baru mengerti rasanya ditinggal pergi. Kekasih pertamanya lebih memilih perjaka pilihan sang orang tua. Lebih memilih karena lebih gagah, lebih kaya, dan lebih segala-galanya. Iba baru mengerti rasanya sepi. Keheningan di mana denyut darah di telinga sendiri terdengar bagai gada yang berdebam. Kesendirian yang mengiris hati dengan pisau bermata kecewa. Dan hatinya pun tak pernah lagi utuh.

Hari ini ulang tahunnya yang ke dua puluh tujuh. Dia pikir dia sudah bersahabat dengan kekosongan. Tetapi jiwanya ternyata selalu menunggu untuk diisi. Entah oleh cinta lagi, atau apapun penawar benci. Hari ini Iba mencari kado untuk dirinya sendiri.

Dia ingin membeli, tapi Toko Merah di ujung jalan tidak menjual obat sepi. Mereka hanya sedia penangkal rindu, dan vaksin anti cemburu. Sudah begitu, yang berhutang dilarang. Harus bayar lunas, dengan sepenuh hati. Tanpa hati yang utuh, Iba balik badan, mencari lagi. Toko Kuning yang baru seminggu buka, tawarkan pengharapan, impian masa depan, dan asa untuk sembuh. Mereka bagikan cuma-cuma selama masa promosi, asal bersumpah akan kembali lagi. Iba urungkan niat, sebab belum tentu esok hari ia masih nafas dengan semangat. Oh, lihat! Toko Hijau di gang buntu menjual bibit untuk menanam maaf, atau tumbuhkan lupa. Bayar dengan apa saja diterima. Tukar guling dengan jari tengahnya, Iba pulang membawa benih mati rasa.

Umur dua puluh tujuh tahun, ia baru mengerti rasanya mati. Jantungnya berhenti.