Jumat, 13 September 2013

Takut


Malam ini perempuan tua itu datang lagi. Seperti malam-malam sebelumnya, jam dinding di atas pintu kamarku menunjukkan waktu sekitar tengah malam. Rambut si nenek yang kelabu dimakan usia,  dibiarkan terurai menjuntai sampai ke punggungnya. Dari jarak sekitar dua meter antara ranjang tempatku berbaring dengan bangku di pojok ruangan tempatnya terduduk, aku bisa mencium wanginya – manis sari melati. Aroma yang terasa akrab, mengingatkanku pada wanginya Ibu. Dengan penerangan kamar yang seadanya ini, samar-samar kulihat ada lelah bergayut di kedua kantung matanya. Guratan-guratan di dahi seperti merekam kesedihan di masa lalu.

Setiap kali masuk kamar ini, yang dilakukannya hanya termenung menatap ke arahku. Kadang sorot matanya terasa jauh, menerawang seperti tertidur tanpa memejam. Kadang ia tersenyum, seperti berharap kubalas dengan senyumku juga. “Siapa kamu?” begitu aku selalu ingin bertanya, setiap aku terjaga dan melihat nenek itu sudah ada duduk di sana. Tapi tidak ada suara yang bisa keluar dari mulutku, dan ia pun tidak pernah mengajakku bicara. 

Entah sudah berapa kali seperti ini. Terasa seperti mimpi buruk yang berulang dan berulang lagi. Pada malam-malam saat perempuan tua itu duduk di sudut kamarku, aku merasa dingin yang menusuk sampai ke ulu hati. Dingin yang membuat sepi terasa beribu-ribu kali lebih menyiksa, dan hening terdengar berlipat-lipat kali lebih menusuk telinga. Malam terasa mati tanpa suara apa-apa.

Sesungguhnya, walaupun aku merasa ngeri, tidak ada paras mengancam yang terpancar dari wajah pasinya. Tidak ada kesan yang ditimbulkannya ingin mengganggu ketenangan tidurku, sehingga aku pun segan berteriak atau berlari keluar kamar. Begitupun saat pertama kali aku menyadari kehadirannya di bangku pojok itu. Jadi malam ini, ketika untuk kesekian kali dingin membangunkan tidurku dan kembali ia hadir dalam temaram kamar, aku diam saja. Terbaring kaku menatap langit-langit sambil sesekali melirik bangku di sudut itu. Berharap pada lirikan ke-sekian ia sudah menghilang. Entah sampai berapa lama, sampai akhirnya mataku terpejam lagi dengan sendirinya. Aku bahkan sudah tidak perduli lagi, hantukah ia, atau hanya hasil imajinasiku saja.

***

Pagi ini rasanya aku ingin tidak sekolah lagi. Tidak ada semangat sama sekali untuk duduk di dalam kelas, mencatat, mengerjakan latihan, membuat prakarya, atau bahkan untuk sekedar bertemu dan bercanda dengan teman-temanku. Buat apa? Aku rasa tidak akan berguna. Aku tidak merasa punya masa depan untuk menerapkan ilmu dan mewujudkan harapan. Setidaknya tidak lagi. Dulu aku masih merasa setidaknya hidup ini ada warna-warni. Tapi sekarang ronanya sama seperti seragam yang kupakai ini, putih abu-abu. Untuk menggambarkan hari-hariku hitam putih pun, aku tak mampu. Abu-abu, bukan hitam, karena hitam terlalu berani. Sedangkan aku sekarang ini sama sekali tidak bernyali. Bahkan genggaman tangan Rio yang kurasakan penuh kasih sebelum masuk kelas tidak mampu menambah tangguhnya hati.

“Ini,” bisik Rio sambil menyelipkan sesuatu dalam kepalan tanganku, “Mbak Ira yang ngasih. Katanya kalau kamu minum ini, masalah kita selesai.” Aku tak berkedip menatap kedua mata sayunya. Aku percaya padanya, pada kita, sejak setahun lalu berseragam putih biru kita berjanji untuk selalu bersama, sampai sekarang benihnya bernyawa di dalam perutku.

Hari ini, kurang tiga hari sebelum umurku menyapa tahunnya yang ke-enam belas, aku menggenggam dua butir pil biru dari Rio dan menyadari bahwa percaya saja tidak cukup.

***

Malam ini si nenek datang lagi. Tapi tidak seperti malam-malam sebelumnya, kali ini aku melihat matanya terpejam, lelap dengan dengkuran halus. Untuk pertama kalinya di kepalaku muncul tanya: apakah hantu butuh tidur juga?

Belum selesai otakku memproses jawaban, seketika pintu kamar terbuka. Kaget luar biasa, aku terbangun, terduduk di atas ranjang. Di sana, di ambang pintu, berdiri sosok lelaki gagah dengan wajahnya yang bercahaya. “Ayah?” tanyaku sambil memicingkan mata saking silaunya. Lelaki itu tersenyum. Bukan, bukan Ayah. Wajahnya memancarkan kerinduan yang sangat, tetapi ia bukan Ayah. Lalu, kenapa aku merasakan keinginan kuat untuk menghampiri dan memeluknya? Ia mengulurkan tangan. “Mari pulang, sudah waktunya,” ajaknya halus. Dan untuk pertama kalinya aku merasa punya nyali. Ternyata begini rasanya tidak merasa takut. Bukan berani. Hanya tanpa kuatir.

***

Aku teringat pil biru yang kuminum sebelum tidur dan ternyata memastikan aku tak pernah terbangun lagi. Begitu berlarut-larut aku dalam mimpi, sampai tidak menyadari Ibu yang kusayangi sudah menua, menunggui ranjangku sesungguhnya kosong di bangku pojok kamar tidurku. 

Jumat, 11 Januari 2013

IBA


Namanya Iba. Ia terlahir dari rahim ibunya yang penuh belas kasih, tepat tiga puluh delapan minggu setelah dibuahi ayahnya yang sedang pulang dari melaut. Iba tak pernah kenal ayahnya yang tak pernah kembali setelah menghamili ibunya. “Ayahmu ditelan samudera,” jawab sang ibu penuh cinta, setiap kali Iba bertanya. Tapi yang terakhir kali, Ibu tak lagi bisa menjawab. Bibirnya biru dan beku. Kata orang, Ibu pergi menyusul Ayah. “Ditelan samudera?” tanya Iba pada tetangga yang menemukan jasad Ibu gantung diri di kamar mandi. “Ditelan sepi,” jawab yang terucap. Iba baru tujuh tahun waktu itu, belum mengerti rasanya ditinggal mati.

Umur tujuh belas tahun, ia baru mengerti rasanya ditinggal pergi. Kekasih pertamanya lebih memilih perjaka pilihan sang orang tua. Lebih memilih karena lebih gagah, lebih kaya, dan lebih segala-galanya. Iba baru mengerti rasanya sepi. Keheningan di mana denyut darah di telinga sendiri terdengar bagai gada yang berdebam. Kesendirian yang mengiris hati dengan pisau bermata kecewa. Dan hatinya pun tak pernah lagi utuh.

Hari ini ulang tahunnya yang ke dua puluh tujuh. Dia pikir dia sudah bersahabat dengan kekosongan. Tetapi jiwanya ternyata selalu menunggu untuk diisi. Entah oleh cinta lagi, atau apapun penawar benci. Hari ini Iba mencari kado untuk dirinya sendiri.

Dia ingin membeli, tapi Toko Merah di ujung jalan tidak menjual obat sepi. Mereka hanya sedia penangkal rindu, dan vaksin anti cemburu. Sudah begitu, yang berhutang dilarang. Harus bayar lunas, dengan sepenuh hati. Tanpa hati yang utuh, Iba balik badan, mencari lagi. Toko Kuning yang baru seminggu buka, tawarkan pengharapan, impian masa depan, dan asa untuk sembuh. Mereka bagikan cuma-cuma selama masa promosi, asal bersumpah akan kembali lagi. Iba urungkan niat, sebab belum tentu esok hari ia masih nafas dengan semangat. Oh, lihat! Toko Hijau di gang buntu menjual bibit untuk menanam maaf, atau tumbuhkan lupa. Bayar dengan apa saja diterima. Tukar guling dengan jari tengahnya, Iba pulang membawa benih mati rasa.

Umur dua puluh tujuh tahun, ia baru mengerti rasanya mati. Jantungnya berhenti.