Malam ini perempuan tua itu datang lagi. Seperti malam-malam
sebelumnya, jam dinding di atas pintu kamarku menunjukkan waktu sekitar tengah
malam. Rambut si nenek yang kelabu dimakan usia, dibiarkan terurai menjuntai sampai ke punggungnya. Dari jarak
sekitar dua meter antara ranjang tempatku berbaring dengan bangku di pojok
ruangan tempatnya terduduk, aku bisa mencium wanginya – manis sari melati.
Aroma yang terasa akrab, mengingatkanku pada wanginya Ibu. Dengan penerangan
kamar yang seadanya ini, samar-samar kulihat ada lelah bergayut di kedua
kantung matanya. Guratan-guratan di dahi seperti merekam kesedihan di masa
lalu.
Setiap kali masuk kamar ini, yang dilakukannya hanya termenung menatap
ke arahku. Kadang sorot matanya terasa jauh, menerawang seperti tertidur tanpa
memejam. Kadang ia tersenyum, seperti berharap kubalas dengan senyumku juga.
“Siapa kamu?” begitu aku selalu ingin bertanya, setiap aku terjaga dan melihat nenek
itu sudah ada duduk di sana. Tapi tidak ada suara yang bisa keluar dari
mulutku, dan ia pun tidak pernah mengajakku bicara.
Entah sudah berapa kali seperti ini. Terasa seperti mimpi buruk yang
berulang dan berulang lagi. Pada malam-malam saat perempuan tua itu duduk di
sudut kamarku, aku merasa dingin yang menusuk sampai ke ulu hati. Dingin yang
membuat sepi terasa beribu-ribu kali lebih menyiksa, dan hening terdengar
berlipat-lipat kali lebih menusuk telinga. Malam terasa mati tanpa suara
apa-apa.
Sesungguhnya, walaupun aku merasa ngeri, tidak ada paras mengancam
yang terpancar dari wajah pasinya. Tidak ada kesan yang ditimbulkannya ingin
mengganggu ketenangan tidurku, sehingga aku pun segan berteriak atau berlari
keluar kamar. Begitupun saat pertama kali aku menyadari kehadirannya di bangku
pojok itu. Jadi malam ini, ketika untuk kesekian kali dingin membangunkan
tidurku dan kembali ia hadir dalam temaram kamar, aku diam saja. Terbaring kaku
menatap langit-langit sambil sesekali melirik bangku di sudut itu. Berharap
pada lirikan ke-sekian ia sudah menghilang. Entah sampai berapa lama, sampai
akhirnya mataku terpejam lagi dengan sendirinya. Aku bahkan sudah tidak perduli
lagi, hantukah ia, atau hanya hasil imajinasiku saja.
***
Pagi ini rasanya aku ingin tidak sekolah lagi. Tidak ada semangat sama
sekali untuk duduk di dalam kelas, mencatat, mengerjakan latihan, membuat
prakarya, atau bahkan untuk sekedar bertemu dan bercanda dengan teman-temanku.
Buat apa? Aku rasa tidak akan berguna. Aku tidak merasa punya masa depan untuk
menerapkan ilmu dan mewujudkan harapan. Setidaknya tidak lagi. Dulu aku masih
merasa setidaknya hidup ini ada warna-warni. Tapi sekarang ronanya sama seperti
seragam yang kupakai ini, putih abu-abu. Untuk menggambarkan hari-hariku hitam
putih pun, aku tak mampu. Abu-abu, bukan hitam, karena hitam terlalu berani.
Sedangkan aku sekarang ini sama sekali tidak bernyali. Bahkan genggaman tangan
Rio yang kurasakan penuh kasih sebelum masuk kelas tidak mampu menambah
tangguhnya hati.
“Ini,” bisik Rio sambil menyelipkan sesuatu dalam kepalan tanganku,
“Mbak Ira yang ngasih. Katanya kalau kamu minum ini, masalah kita selesai.” Aku
tak berkedip menatap kedua mata sayunya. Aku percaya padanya, pada kita, sejak
setahun lalu berseragam putih biru kita berjanji untuk selalu bersama, sampai
sekarang benihnya bernyawa di dalam perutku.
Hari ini, kurang tiga hari sebelum umurku menyapa tahunnya yang
ke-enam belas, aku menggenggam dua butir pil biru dari Rio dan menyadari bahwa
percaya saja tidak cukup.
***
Malam ini si nenek datang lagi. Tapi tidak seperti malam-malam sebelumnya,
kali ini aku melihat matanya terpejam, lelap dengan dengkuran halus. Untuk
pertama kalinya di kepalaku muncul tanya: apakah hantu butuh tidur juga?
Belum selesai otakku memproses jawaban, seketika pintu kamar terbuka.
Kaget luar biasa, aku terbangun, terduduk di atas ranjang. Di sana, di ambang
pintu, berdiri sosok lelaki gagah dengan wajahnya yang bercahaya. “Ayah?”
tanyaku sambil memicingkan mata saking silaunya. Lelaki itu tersenyum. Bukan,
bukan Ayah. Wajahnya memancarkan kerinduan yang sangat, tetapi ia bukan Ayah.
Lalu, kenapa aku merasakan keinginan kuat untuk menghampiri dan memeluknya? Ia
mengulurkan tangan. “Mari pulang, sudah waktunya,” ajaknya halus. Dan untuk
pertama kalinya aku merasa punya nyali. Ternyata begini rasanya tidak merasa takut.
Bukan berani. Hanya tanpa kuatir.
***
Aku teringat pil biru yang kuminum sebelum tidur dan ternyata
memastikan aku tak pernah terbangun lagi. Begitu berlarut-larut aku dalam
mimpi, sampai tidak menyadari Ibu yang kusayangi sudah menua, menunggui ranjangku
sesungguhnya kosong di bangku pojok kamar tidurku.
2 komentar:
Nice one. Mungkin kalau udah nggak terbata-bata, bakalan bisa lebih mencekam. But still, nice one indeed!
Terima kasih, Bayik. Gini deh rasanya kayak udah lama gak olahraga, badannya kaku lagi :)
Posting Komentar