Sabtu, 10 September 2011

21Pertanyaan: Pertanyaan No.3

Pertanyaan no.3

“Kapankah cukup itu sudah cukup?”

Sabar dan ikhlas berada di puncak daftar mata pelajaran hidup di mana saya paling sering dapat nilai merah. Tak lulus, malah. Wajar, karena tak cuma sekali-dua saya bolos dari kelas. Kalau begini, kapan bisa naik ke tingkat sabar tanpa batas?

Nah, seharusnya sabar itu berbatas atau tidak? Kalau kata ‘seharusnya’ terdengar terlalu keras, saya lembutkan jadi ‘sebaiknya’. Sebaiknya sabar itu berbatas atau tidak, menurutmu? Mungkinkah batasnya sabar adalah kebijaksanaan? Maksudnya, kalau sabar terus-menerus dizalimi orang lain, apakah bijaksana membiarkan kezaliman dibiarkan terjadi atas diri sendiri begitu saja?

Ini membawa kita pada kata “maaf”. Memaafkan, tepatnya. Orang yang penyabar biasanya pemaaf. Orang pemaaf biasanya pemberi kesempatan kedua, ketiga, dan seterusnya. Nah, itu dia. Seterusnya apa ada batasnya? Kapankah waktunya berkata, “Cukup, saya sudah tidak bisa memberikan kesempatan lagi.”? Mungkin memang sebaiknya memaafkan itu dibedakan dari pemberian kesempatan berikutnya. “Ya, saya maafkan, tapi maaf, tidak lagi dapat memberi kesempatan,” begitu?

Bagaimana dengan kasus lain, seperti misalnya sudah mencoba berkali-kali tetapi tetap gagal terus? Kapankah akhirnya kita menyadari kalau memang tidak bisa ya tidak bisa saja. Cukuplah sudah mencoba. Tidak usah keras kepala. Keras di bagian tubuh lain saja, yang lebih menggugah selera (OH!).

Seorang teman yang saya berikan pertanyaan ini menjawab, “Tidak akan pernah ada kata ‘cukup’.” Saya hanya berdoa, semoga dalamnya hati yang tak terukur dan luasnya semesta yang tak terkira masih membuka sejuta kemungkinan bahwa keadaan (apapun itu) akan menjadi lebih baik, kalau kata ‘cukup’ memang tidak pernah akan terucap. Silakan bertanya pada Sang Dosen ketika kamu duduk di kelas kesabaran dan keikhlasan: “Kapankah cukup itu sudah cukup?”.

Tidak ada komentar: