Senin, 16 Mei 2011

Terbang Pulang

P

Buatku, bandara adalah sarang melodrama, di mana air mata pertemuan dan perpisahan membaur dalam satu bangunan. Di terminal kedatangan: bertebaran peluk sambutan dan kecup selamat datang. Di terminal keberangkatan: bergayutan senyum pelepasan dan salam sampai jumpa lagi -- berat hati karena yang pergi kadang tak pernah kembali. Di situlah aku terakhir melepas gandenganmu.

Tidak banyak yang kubawa dalam perjalanan ini. Hanya sebuah tas punggung berisi pakaian kotor. Karena kamu tahu, aku akan pulang kembali, bukan pergi bervakansi. Sementaraku di kota ini sudah sampai di ujungnya, sekedar menyapa kawan-kawan lama dan keluarga. Dan kamu, yang mengisi hati lebih berat dari isi bagasi.

Sekarang di sini, ruang tunggu menjadi saksi berlidah kelu, yang mendengar dan menyaksikan. Bangku-bangku yang berderet kaku disinggahi hangat badan-badan calon penumpang yang menanti untuk terbang. Kesempatan terakhir untuk mengungkap kasih sayang lewat telepon genggam sebelum (harusnya) dimatikan nanti di dalam perut pesawat. Jadi kukirim pesan untukmu begini: “Wangimu masih lekat di hidungku. Keringatmu masih terasa di ujung lidah.” Lalu telepon kumatikan, tidak ingin membaca balasan yang menguras emosi.

Di depanku baru duduk seorang lelaki berkemeja. Tentengannya hanya dua, sebuah tas komputer jinjing dan kantong plastik berisi roti yang aku yakin baru dibelinya tadi di terminal ini. Disobeknya bungkus roti dengan cabikan gigi. Sepertinya lapar sekali. Kunyahnya tergesa, ingin segera ditelannya gumpalan roti campur liur lewat kerongkongan. Lewati rongga perut dan membungkam cecacing yang mulai meronta. Kiranya hendak bertemu siapa dia di kota tujuan? Adakah yang menjemputnya dan menyambut dengan pelukan?

Cekikik sekelompok gadis berkulit pucat susu membubarkan fantasiku. Terdengar dari percakapan dan pakaian siap berlibur, mereka mencari rona di muka. Ya, gadis-gadis, gelapkanlah kulit kalian yang transparan. Carilah hiburan dan tabunglah pengalaman. Berwarnalah sedikit. Biarkan pipi-pipi licin kalian merah diciumi matahari. Lalu, sampai di pulau nanti, carilah lelaki. Tapi jangan berharap mereka akan cinta mati, paling hanya sampai akhir minggu usai – lalu lupa lagi.

Lihat kan, semua orang bertujuan. Mereka berencana, menyiapkan perjalanan, lalu menentukan waktu untuk lepas landas. Si lelaki berkemeja, gadis-gadis pucat, bahkan sekelompok ekspatriat dengan logat lekat di sebelah sana, juga keluarga muda dengan bayinya, dan manusia-manusia lain di ruang pengap ini. TAPI MENGAPA AKU PERGI SENDIRI? Kamu selalu hanya akan jadi tempat persinggahan, tidak pernah ikut pulang! Bahkan menentukan arah bersamaku pun sepertinya enggan. Kamu akan selalu di Utara, aku di Selatan. Kutub yang berseberangan namun tarik-tarikan.

Sebelum aku menginjak halaman rumahku nanti, semoga keseratus milyar sel syaraf otakku ini sudah tak lagi mendengungkan namamu. Supaya saat anakku menyambut kepulanganku dengan tangan-tangan kecilnya, ia tetap tak curiga. Supaya ia tetap percaya, suamiku adalah ayahnya. Supaya ia tidak mengenal kamu yang menanam benihnya.

****

Tidak ada komentar: