Selasa, 14 September 2010

Angka Untuk Saya

B


Kemarin saya berulang tahun yang ke-sekian. Tak perlu lah menyebut angka. Karena toh dalam hati saya selalu merasa hanya sedikit lebih tua dari remaja. Lagipula, menanyakan perempuan berapa umurnya sama saja seperti menanyakan berapa berat badannya. Jawaban yang akan kamu dapat belum tentu yang sejujurnya.

Saya memang tidak berharap dapat kado apa-apa dari A, tapi tetap saja ingin diperlakukan istimewa. Tadi malam saat kami bercengkrama tertawa-tawa, tiba-tiba dia berbisik, “Aku kasih kado buat kamu sepuluh permintaan.” “Asiik!” jawab saya spontan.

“Eh tunggu, tunggu..”

“Ngga bisa! Sepuluh! Udah kesebut!”

Mukanya lucu serba salah, merasa terburu-buru menyebut angka teralu besar. “Hahaha,” merasa menang, saya tertawa.

“OK, permintaan pertama!” bibir saya tersenyum lebar sekali saat mengucapkan kalimat ini, “Besok ikut aku ke rumah Mama.”

Mukanya makin lucu. Mama itu ibu saya. Dia bukannya tak suka pada Beliau yang melahirkan saya itu, tapi yah, bisa dibilang Mama bukanlah orang paling mudah yang pernah kautemui. Apalagi kepada pasangan anak-anaknya. Tapi ketika kita merasakan cinta tanpa syarat, hal itu bukanlah hambatan bukan? Dan A sebetulnya punya caranya sendiri menghadapi Mama, terutama di depan saya.

Pernah satu saat A melihat saya yang sedang menggigit permen kenyal rasa mangga dengan asiknya. Sepertinya saya terlihat menikmati sekali, sampai dia meminta satu bungkus yang belum saya buka. “Enak banget kelihatannya,” kata A sambil membuka bungkus permen. “Iya, ini dari Mama,” kata saya di saat yang sama permen itu masuk mulutnya. Dia langsung urung mengunyah permen mangga. “Pantas rasanya pahit,” katanya. Saya tertawa.

Baiklah, lanjut ke permintaan ke-dua. “Siap-siap ya Sayang,” kata saya menggoda. “Apa sih? Aduuh..” mukanya kuatir tapi tetap lucu. “Pijetin aku. Se-lu-ruh-ba-dan.” Saya tahu ini akan jadi permintaan yang menyenangkan untuk saya dan kurang berkenan untuknya. Sepanjang dua tahun kami bersama, semangatnya melemaskan otot-otot saya hanya di minggu pertama. Sisanya? Hanya pijat basa-basi atau pengantar sebelum ronde utama. Jadi malam ini saya minta badan pegal saya dilayani jemari, telapak , genggaman, bahkan siku tangan lelaki sang pujaan hati.

“Yaaah,” dia menghela nafas tapi tetap menurut mengambil body lotion favorit saya yang wangi cokelat. Pijatannya mulai merambah punggung saya. Karena memijat sambil nonton Fashion TV, kadang pijatannya berhenti ketika model kesukaannya tampil di layar televisi. “Heh!” hentak saya setiap gerakan tangannya berhenti. Dia lalu akan mulai memijat lagi sesuai arahan saya. “Ke bawah dikit, yak. Kebanyakan. Atas lagi. Kiri dikit. Nah,” begitu aba-aba si perempuan yang baru tambah usia ini.

“Udah,” serunya sambil menutup kembali botol body lotion. “Eits, kan aku bilang seluruh badan. Tangan belum. Kaki belum,” ujar saya sambil masih tengkurap. Tidak perlu membalik badan untuk tahu raut wajahnya masam. Saya terkekeh dalam hati. Tanpa belas kasihan.

Kali ini pijatannya lumayan, saya sampai terkantuk-kantuk, bahkan sampai pura-pura pulas ketika dia minta balik dilayani. “Hmmh, ngantuk,” kata saya dengan suara berat berbumbu serak, “Sayang tolong matiin dong tivinya, aku mau bobo.”

“Apa Sayang? Matiin tivi?”

“Iya,” kata saya setengah kesal.

“Oke, itu permintaan ke-tiga ya,” serunya dengan penuh nada kemenangan.

“Eh!” saya membuka mata kembali.

“Ngga bisa, udah kesebut!” Mukanya menggemaskan sekali.

Saya terjebak. Sejak itu, sampai detik ini, saya masih hati-hati meminta tolong padanya. Takut dia ingat kado ulang tahun itu dan memotong jatah saya.

Sepertinya kamu sudah bisa menebak siapa yang tadi malam tidur dengan senyum paling lebar. Angka hutangnya berkurang hanya dengan menekan tombol televisi.

Tidak ada komentar: