Senin, 21 Februari 2011

Jurnal Bantal 21 Februari 2011

Sejak kemarin malam saya mencumbu bantal di sebuah petirahan yang harga sewa semalamnya cukup untuk membeli skuter metik idaman saya. Itu harga sewa vila yang paling kecil. Yang paling mewah? Cukup untuk membeli mobil Jepang sederhana idaman keluarga Indonesia. Perlu saya sebut nama tempatnya? Begini, saya kasih petunjuk saja. Tujuh aksara – yang pertama B, yang terakhir I. Lokasinya di Uluwatu, Bali.

Bagaimana saya bisa dapat berkah mencicipi rasanya jadi orang kaya begini? Ini berkat welas asih sahabat saya, @yayaphan, sang fotografer handal yang sedang mendapat tugas liputan di sini. “Mari-mari,” katanya waktu itu, “saya selundupkan ke sini, sekalian temani saya yang takut tidur sendiri.” Siapa yang hendak menolak?

Dengan kolam renang mini pribadi, tiga pilihan tempat membasuh diri (di bak mandi, pancuran dalam dan luar ruangan) saya yang gemar main air tidak mengeluh sama sekali. Bagaimana bisa mengeluh? Belum lagi ranjangnya.. Oh ranjangnya.. Bulu apa itu isi bantalnya? Kalau ada istilah ‘bagaikan tidur di atas awan’ mungkin begini ini rasanya. Pemandangan yang menjelajah dari atas tebing sampai ke batas cakrawala menerbangkan lamunan seperti layang-layang. Maaf kalau saya berlebihan. Silakan, sebut saja saya kampungan, saya tidak keberatan. Hahaha.

Tapi saya tidak menulis ini untuk mengulas si petirahan kelas atas, yang bahkan bermimpi untuk kembali lagi ke sini saya belum berani (kecuali dibayari lagi). Beberapa kali saya ditinggal sendirian di vila – karena teman saya harus menunaikan tugasnya, membuat banyak pikiran yang berkejaran dalam kepala. Saya akan berbagi beberapa di antaranya.

Yang pertama, sudah berapa banyak pasangan penuh asmara bergelora yang menghabiskan bulan madunya di kamar ini? Di mana saja mereka bercinta, bersebadan di sudut-sudut ruang berdinding batu-kayu di sini? Apa semua keindahan di dunia akan tetap sama dirasa bila kita sedang patah hati? Karena sesungguhnya saya takut sendiri. Menginap di tempat begini, yang pertama terbayang adalah bagaimana rasanya bila kekasih saya bisa ikut menikmati semua ini bersama-sama. Untuk apa kekayaan, kesehatan, dan kebahagiaan dimiliki bila tidak punya orang untuk berbagi? Ngeri. Maaf, paragraf ini tidak dimaksudkan untuk menyindir orang yang memilih untuk selibat. Saya hanya berbagi pendapat.

Yang kedua, kalau uang bisa membeli segalanya (termasuk rasa), sampai manakah batasnya menjadi kaya? Sepertinya tidak ada. Tapi ketika kita sudah bisa memisahkan keinginan dengan kebutuhan, sepertinya menjadi “cukup” saja sudah bahagia. Bersyukur bisa menginginkan yang kita butuhkan tanpa harus membutuhkan yang kita inginkan. Begitu bukan?

Yang ketiga, bagaimanapun empuknya ranjang berbalut seprai terlembut dengan bantal sehalus gulali yang selalu wangi, tempat paling nyaman di dunia ini adalah dalam pelukan orang yang paling kita sayangi. Oh, dan saya menulis ini sambil tersenyum membayangkan dia.

*pipi saya merona diciumi matahari seharian tadi*


Tidak ada komentar: