Selasa, 22 Februari 2011

Jurnal Bantal 22 Februari 2011

Berapa kali kita tergoda untuk kembali pada hangatnya pelukan masa lalu, namun teringat bahwa memang bukan tempatnya lagi kita di situ? Setiap kali terhadang cobaan, pilihannya adalah maju menantang atau mundur mencari nyaman. Adakah pilihan ketiga? Ya ada, tidak berbuat apa-apa dan pasrah saja. Kemudian, nasihat yang paling jamak diterima adalah: “Sabar, semua ada hikmahnya”. Kalau sudah begitu, diskusi berlanjut pada batas sabar itu sendiri. Adakah sesungguhnya batas kesabaran? Bila dibatasi, apakah itu menjadi kebijaksanaan atau bukan? Perlukah kita menempatkan kata “cukup” pada waktu tertentu saat kita terjebak pada situasi menunggu dan atau bahkan terbelenggu? Seorang teman bercerita, begitu saatnya nanti menjadi seorang ibu, barulah merasa sabar itu tidak ada batasnya. Tentu saja dalam hal ini kesabaran pada buah hati. Pada suami? Saya tidak tahu. Jadi kalau masih belum berkeluarga begini, sepertinya saya belum siap untuk menjadi sabar tanpa batas – kalau memang benar hal demikian nyata adanya.

*Tuhan sedang mendidik saya untuk sabar, tapi kadang saya bolos dan malas belajar*

Tidak ada komentar: