Rabu, 06 Oktober 2010

Mari Mandi

B


Saya suka sekali mandi bersama A. Selalu menyenangkan, menyegarkan, tapi juga menghangatkan. Entah itu mandi untuk pemanasan atau mandi karena kewajiban. Entah itu di bawah pancuran shower atau berendam dalam bathtub, masing-masing punya kelebihan.

Saling menyabuni adalah kegiatan yang paling mengikat batin untuk saya. Bahkan melebihi persetubuhan itu sendiri. Menyentuh milimeter demi milimeter permukaan kulit pasangan saya, membersihkannya dari kotoran dan debu duniawi. Merasakan bidang dadanya, keras lengannya, tangguh punggungnya, kencang bokongnya (tempat saya paling suka berlama-lama), jenjang tungkainya, dan gelitik sela-sela jemari kakinya. Mengenali setiap letak tahi lalat dan setiap parut saksi hidupnya.

Begitu pula dia. Menyabuni saya yang sudah tak merasa perlu lagi menutup-nutupi kekurangan badan seperti layaknya perempuan. Saya persilakan ia mengeksplorasi tubuh kekasih hatinya ini. Membiarkan dia bertanya ‘ini punya siapa?’ setiap kali menyentuh tiap-tiap organ tubuh saya dengan tangannya. Tentu saja ‘punya kamu’ jawaban saya selalu, sambil tertawa.

Ya, berdekapan di bawah pancuran air selalu penuh kasih sayang.

Saya pernah memberinya kejutan. Segera sehabis menjemputnya di bandara saat pulang dari dinas luar kota satu bulan, saya membawanya ke sebuah kamar hotel yang sudah saya pesan. Pikir saya waktu itu, pas sekali untuk obat kangen-kangenan dan sayang-sayangan.

Setelah memerawani tiap jengkal kamar dengan keringat kami, menjelang malam saya siapkan bathtub untuk dia berendam dengan air hangat penuh busa. “Serasa di surga,” katanya. Dan dia mengajak saya berendam bersama. Damai sekali rasanya bersandar di dadanya sambil bermain busa dan dibisiki kalimat cinta. Waktu itu dia bilang, “Sayang, tiap saat nanti kita melewati masa sulit dan terpikir untuk berpisah, selalu ingat, kalau kita pernah sedekat ini.”

Ya, saya selalu suka mandi bersama A.

Yang paling saya suka adalah adegan penutupnya. Seks? Bukan. Sebelum itu. Dengan badan basah dia memeluk saya dari belakang, lalu kami yang masih berbalut handuk saling menatap pada pantulan cermin. “Begini terus ya kita,” katanya. Mesra.

Tidak ada komentar: